Latest News

Showing posts with label Gereja (Ekklesiologi). Show all posts
Showing posts with label Gereja (Ekklesiologi). Show all posts

Friday, March 12, 2010

Peranan Uskup Roma Dalam Persekutuan Gereja Sepanjang Milenium Pertama

Kami menerjemahkan sebuah draft dari Komisi dialog teologis antara Gereja Katolik dan Ortodoks mengenai peranan Uskup Roma dalam persekutuan Gereja sepanjang milenium pertama. Draft ini bukan pernyataan resmi, dan di kalangan Ortodoks juga terdapat beberapa reaksi negatif terhadap draft ini, sementara di kalangan Katolik, menurut pengetahuan kami, sambutannya cukup positif.

Komisi Koordinasi Gabungan Untuk Dialog Teologis Antara Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks
Aghios Nikolaos, Creta Yunani, 27 September- 4 Oktober 2008

Pendahuluan
1. Dalam dokumen Ravenna, �Konsekuensi Eklesiologis Dan Kanonik Dari Kodrat Sakramental Gereja- Persekutuan Gerejani, Konsiliaritas Dan Otoritas�, Katolik dan Ortodoks mengakui hubungan tak terpisahkan antara konsiliaritas dan primat pada setiap tingkat kehidupan Gereja: �Primat dan konsiliaritas saling bergantung satu sama lain. Itulah sebabnya mengapa primat pada berbagai tingkatan kehidupan Gereja, lokal, regional, dan universal, harus dipertimbangkan dalam konteks konsiliaritas, dan konsiliaritas juga dipertimbangkan dalam konteks primat (dokumen Ravenna, n. 43). Mereka juga mengakui bahwa �dalam tatanan kanonik (taxis) yang dihayati oleh Gereja awali�, yang �diakui oleh semua pada masa Gereja yang tidak terbagi�. �Roma, sebagai Gereja yang menurut ungkapan St. Ignatius Antiokhia, �memimpin dalam cinta kasih� (Surat kepada Roma, prolog), menempati urutan pertama dalam taxis, dan karenanya Uskup Roma menjadi protos di antara para Patriarkh� (nn. 40,41). Dokumen tersebut mengacu kepada peranan aktif dan hak prerogative Uskup Roma sebagai �protos di antara Patriarkh�, �protos di antara para Uskup dari Tahta-tahta Utama� (nn. 41,42,44), dan menyimpulkan bahwa �peranan Uskup Roma dalam persekutuan seluruh Gereja-gereja� harus dipelajari secara lebih mendalam�. �Apakah fungsi khusus dari Uskup �Tahta Pertama� dalam suatu eklesiologi koinonia?� (n. 45)

2. Maka topik dalam dialog teologis tahap selanjutnya adalah: �Peranan Uskup Roma Dalam Persekutuan Gereja Milenium Pertama�. Tujuannya adalah untuk memahami peranan Uskup Roma secara lebih mendalam pada masa dimana Gereja Timur dan Barat berada dalam persekutuan, sementara ada sejumlah perbedaan di antara keduanya, dan untuk menjawab pertanyaan di atas.

3. Teks yang sekarang ini akan membahas topik tersebut dengan memperhatikan empat hal berikut:
- Gereja Roma, prima sedes;
- Uskup Roma sebagai pengganti Petrus;
- Peranan Uskup Roma pada masa krisis persekutuan gerejani;
- Pengaruh faktor-faktor non-teologis.

Gereja Roma, �prima sedes�
4. Katolik dan Ortodoks sepakat bahwa, sejak masa apostolik, Gereja Roma telah diakui sebagai yang pertama di antara Gereja-gereja lokal, baik di Timur maupun di Barat. Tulisan para bapa apostolik dengan jelas memberikan kesaksian akan fakta ini. Roma, ibu kota kekaisaran, dengan cepat memperoleh kemasyhuran dalam Gereja awali sebagai tempat kemartiran Santo Petrus dan Paulus (cf. Wahyu 11: 3-12). Roma menempati tempat yang unik di antara Gereja-gereja lokal dan menjalankan suatu pengaruh yang unik pula. Pada akhir abad pertama, dengan menyerukan teladan para martir, Petrus dan Paulus, Gereja Roma menulis surat panjang kepada Gereja Korintus, yang telah menolak penatua-penatuanya (1Klemens 1,44), dan mendorong agar kesatuan dan keselarasan (homonoia) dipulihkan. Surat yang ditulis oleh Klemens, yang selanjutnya dikenal sebagai Uskup Roma (cf. Irenaeus, Adv.Haer 3,3,2), walaupun bentuk kepemimpinan Klemens di Roma pada masa itu tidaklah jelas.

5. Tak lama sesudah itu, dalam perjalanannya untuk dimartir di Roma, Ignatius dari Antiokhia menulis kepada Gereja Roma dengan penuh penghargaan, sebagai yang �layak bagi Allah, layak dihormati, layak disebut yang terberkati, layak akan keberhasilan, layak akan kemurnian�. Ia menyebutnya sebagai �yang memimpin di wilayah orang Romawi� dan juga sebagai �yang memimpin dalam cinta kasih� (�prokathemene tes agapes�; Roma, Salam). Ungkapan ini ditafsirkan dengan berbagai cara, tetapi ungkapan ini tampak menunjukkan bahwa Roma memiliki peranan sebagai senior dan pemimpin regional, dan juga pembedaan yang mendasar dalam Kekristenan, yaitu iman dan cinta kasih. Ignatius juga berbicara mengenai Petrus dan Paulus, yang berkhotbah kepada orang Romawi (Roma, 4).

6. Irenaeus menekankan bahwa Gereja Roma merupakan acuan pasti bagi pengajaran apostolik. Dengan Gereja ini, yang didirikan oleh Petrus dan Paulus, merupakan hal yang perlu bahwa setiap Gereja setuju dengannya (convenire), �propter potentiorem principalitatem�, suatu ungkapan yang secara berbeda-beda dapat dipahami sebagai �karena asal-usulnya yang lebih kuat� atau �karena otoritasnya yang lebih besar� (Adv. Haer., 3,3,2). Tertullianus juga memuji Gereja Roma �yang atasnya Rasul (Petrus dan Paulus) mencurahkan seluruh ajaran mereka bersama-sama dengan mencurahkan darahnya�. Roma merupakan yang paling utama di antara Gereja-gereja Apostolik dan tidak satupun dari banyak bidaah yang pergi ke sana mencari pengakuan pernah diterima (cf. De Praescrip. 36). Maka, Gereja Roma merupakan suatu titik acuan baik bagi �pedoman iman� dan juga dalam mencari penyelesaian damai bagi kesulitan-kesulitan di dalam atau antar Gereja-gereja tertentu.

7. Kadang-kadang Uskup Roma terlibat dalam ketidaksetujuan dengan Uskup-uskup lain. Anicetus dari Roma dan Polikarpus dari Smyrna gagal untuk menyepakati tanggal Paskah pada tahun 154 AD namun tetap memelihara persekutuan Ekaristis. Empat puluh tahun kemudian, Uskup Viktor dari Roma memerintahkan sinode-sinode untuk menyelesaikan masalah ini- suatu contoh awali mengenai sinodalitas dan juga para Paus yang mendorong sinode-sinode- dan mengekskomunikasi Polikrates dari Efesus dan Uskup-Uskup Asia saat sinode mereka menolak mengadopsi posisi Roma. Viktor kemudian dikecam oleh Irenaeus karena sikap kerasnya dan tampak kemudian ia mencabut hukumannya dan persekutuan dipertahankan. Pada pertengahan abad ke 3, muncul sebuah konflik besar mengenai apakah mereka yang dibaptis oleh kaum bidaah harus dibaptis kembali saat mereka masuk Gereja. Dengan mengacu kepada tradisi lokal, Cyprianus dari Karthago dan para Uskup Afrika Utara, didukung oleh sinode-sinode Timur di sekeliling Uskup Firmilianus dari Kaisarea, mempertahankan pendapat bahwa mereka harus dibaptis kembali, sementara itu Uskup Stephanus dari Roma, dengan mengacu kepada tradisi Roma dan karenanya kepada Petrus dan Paulus (Cyprianus, Ep. 75,6,2), mengatakan bahwa mereka tidak boleh dibaptis kembali. Persekutuan antara Stephanus dan Cyprianus kemudian merenggang namun tidak putus secara formal. Jadi, abad-abad pertama menunjukkan kepada kita bahwa kadang-kadang pandangan dan keputusan Uskup Roma ditentang oleh para Uskup lain. Masa-masa itu juga menunjukkan suburnya kehidupan sinodal Gereja awali. Misalnya, pada masa itu ada banyak Sinode Afrika, dan surat-menyurat yang sering antara Cyprianus dan Stephanus, terutama dengan pendahulunya yaitu Kornelius, menampakkan semangat kerekanan yang tinggi (cf. Cyprianus, Ep. 55,6,1-2).

8. Semua Gereja-gereja Timur dan Barat percaya bahwa Roma menempati tempat pertama (i.e primat) di antara Gereja-gereja. Primat ini berasal dari sejumlah faktor: pendirian Gereja oleh Petrus dan Paulus dan cita rasa kehadiran mereka yang hidup di sana; kemartiran dari dua Rasul paling utama (koryphes) di kota itu dan lokasi kuburan (tropaia) mereka di kota itu; serta kenyataan bahwa Roma adalah ibukota Kekaisaran dan pusat komunikasi.

9. Abad-abad pertama menunjukkan hubungan mendasar dan tak terpisahkan antara primat Tahta Roma dan primat Uskupnya; setiap Uskup mewakili, mempribadikan, dan mengungkapkan Tahtanya (cf. Ignatius dari Antiokia, Smyrnaeans 8; Cyprianus, Ep. 66,8). Maka, adalah tidak mungkin berbicara mengenai primat seorang Uskup tanpa mengacu kepada Tahtanya. Sejak paruh abad kedua, diajarkan bahwa kelanjutan Tradisi Apostolik ditandai dan diungkapkan dengan pergantian Uskup di Tahta-Tahta yang didirikan oleh Para Rasul. Baik Timur dan Barat memelihara pandangan bahwa keutamaan Tahta mendahului keutamaan Uskup dan merupakan sumber dari keutamaan Uskup.

10. Cyprianus percaya bahwa kesatuan episkopat (jabatan Uskup) dan Gereja disimbolisasikan dalam pribadi Petrus, yang kepadanya primat diberikan, dan dalam tahtanya, dan bahwa semua Uskup bersama-sama ambil bagian dalam tugas ini (�in solidium�; De Unit. Ecc., 4-5). Maka, Tahta Petrus dapat ditemukan di semua Tahta, tetapi teristimewa di Roma. Mereka yang datang ke Roma, datang �kepada Tahta Petrus, kepada Gereja asali, kepada sumber asli dari kesatuan episkopat� (Ep. 59,14,1).

11. Primat Tahta Roma diungkapkan dalam berbagai konsep: Cathedra Petri, Sedes Apostolica, Prima Sedes. Bagaimanapun juga, perkataan Paus Gelasius: �Tahta Pertama tidak diadili oleh siapapun� (�Prima Sedes a nemine iudicatur; Cf. Ep. 4, PL 58, 28B; Ep. 13, PL 59, 64A), yang kemudian diterapkan dalam konteks gerejani dan menjadi pertentangan antara Timur dan Barat, pada awalnya hanya berarti bahwa Paus tidak dapat diadili oleh Kaisar.

12. Tradisi Timur dan Barat mengakui suatu �kehormatan� (timi) tertentu dari yang pertama di antara Tahta-tahta Patriarkal, yang jelas tidak murni hanya kehormatan belaka (Konsili Nicaea, kan. 6; Konsili Konstantinopel, kan. 3; dan Konsili Kalsedon, kan. 28). Kehormatan ini memuat juga suatu �otoritas� (exousia; cf. Dokumen Ravenna, n.12), yang bagaimanapun juga �tanpa dominasi, tanpa tekanan fisik dan moral� (Dokumen Ravenna, n. 14). Walaupun dalam milenium pertama Konsili-konsili Oikumene dipanggil oleh Kaisar, tidak ada Konsili yang dapat diakui sebagai Oikumene jika tidak mendapatkan persetujuan Paus, baik yang diberikan sebelumnya maupun sesudahnya. Hal ini dapat dipandang sebagai penerapan prinip yang dinyatakan dalam Kanon Apostolik 34 pada tingkatan universal kehidupan Gereja: �Para Uskup dari tiap provinsi (ethnos) harus mengakui satu yang menjadi yang pertama (protos) di antara mereka, dan menganggapnya sebagai kepala (kephale) mereka, dan tidak melakukan apapun yang penting tanpa persetujuannya (gnome); setiap Uskup hanya dapat melakukan sesuatu yang berhubungan dengan Keuskupannya (paroikia) dan wilayahnya. Tetapi yang pertama (protos) tidak dapat melakukan apapun tanpa persetujuan yang lainnya. Dengan cara ini keselarasan (homonoia) akan bertahan, dan Allah akan dipuji melalui Tuhan dalam Roh Kudus� (cf. Dokumen Ravenna, n.24). Pada tiap tingkatan kehidupan Gereja primat dan konsiliaritas saling bergantung satu sama lain.

13. Kaisar Yustinianus (527-565) membakukan urutan limat Tahta utama, Roma, Konstantinopel, Alexandria, Antiokhia, Yerusalem, dalam hukum Kekaisaran (Novellae 131, 2; cf 109 praef; 123, 3), dan dengan demikian membentuk apa yang dikenal sebagai Pentarkhi. Uskup Roma dipandang sebagai yang pertama dalam tatanan (taxis), namun tanpa menyebutkan tradisi Petrine.

14. Pada masa Paus Gregorius I (590-604), berlangsung suatu perselisihan yang telah dimulai sejak masa Paus Pelagius II (579-590), mengenai gelar �Patriarkh Oikumene� bagi Patriarkh Konstantinople. Pemahaman yang berbeda di Timur dan Barat memicu perselisihan ini. Gregorius memandang bahwa dalam gelar ini ada suatu gagasan yang tidak dapat ditoleransi dan suatu pelanggaran hak-hak kanonik dari Tahta-tahta lain di Timur, sementara di Timur gelar ini dipahami bahwa gelar ini merupakan ungkapan hak-hak utama kepatriarkhan. Kemudian, Roma menerima gelar ini. Gregorius sendiri mengatakan bahwa ia sendiri menolak gelar �Paus Universal�, dan ia merasa dirinya dihormati saat setiap Uskup menerima kehormatan yang sepatutnya bagi mereka (�kehormatanku adalah kehormatan saudara-saudaraku�, Ep. 8, 29). Ia menyebut dirinya sendiri sebagai �hamba dari hamba-hamba Allah (servus servorum Dei).

15. Pemahkotaan Karolus Agung pada tahun 800 oleh Paus Leo III menandai suatu era baru dalam sejarah klaim-klaim kepausan. Satu faktor yang menuntun kepada perbedaan Timur dan Barat adalah kemunculan Dekretal Palsu (c. 850), yang bertujuan memperkuat otoritas Roma untuk melindungi para Uskup. Dekretal ini memainkan peranan yang besar pada abad-abad selanjutnya, karena para Paus mulai bertindak dalam semangat Dekretal yang menyatakan, misalnya, bahwa semua masalah-masalah besar (causae maiores), khususnya mengenai penggeseran Uskup dan Metropolitan, merupakan tanggung jawab utama Uskup Roma, dan semua Konsili dan Sinode menerima otoritas hukum mereka melalui peneguhan dari Tahta Roma. Para Patriarkh Konstantinopel tidak menerima pandangan semacam itu yang bertentangan dengan prinsip sinodalitas. Walaupun Dekretal tersebut tidak mengacu ke Timur, namun pada masa-masa yang kemudian, di milenium kedua, sejumlah tokoh Barat menerapkannya ke Timur. Walaupun ketegangan meningkat, namun pada tahun 1000 orang Kristen di Timur dan Barat masih merasa bahwa mereka tergabung dalam satu Gereja yang tidak terbagi.

Uskup Roma Sebagai Pengganti Petrus
16. Penekanan mengenai hubungan Tahta Romawi dengan Petrus dan Paulus pada masa-masa awal, kemudian secara bertahap, di Barat, dikembangkan menjadi suatu hubungan spesifik antara Uskup Roma dan Rasul Petrus. Paus Stephanus (pertengahan abad ke 3) adalah yang pertama kali menerapkan Matius 16: 18 (�engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini akan Kudirikan Gereja-Ku�) kepada jabatannya sendiri. Konsili Konstantinopel tahun 381 menyebutkan bahwa Konstantinopel memiliki tempat kedua setelah Roma: �karena ia merupakan Roma Baru, maka Uskup Konstantinopel memiliki urutan kehormatan kedua setelah Uskup Roma� (kanon 3). Kriteria yang menjadi acuan Konsili dalam menetapkan tatanan Tahta-tahta bukanlah pendirian apostolik namun status kota tersebut dalam organisasi sipil Kekaisaran Romawi. Kriteria yang berbeda bagi penataan Tahta-tahta utama disebutkan dalam Sinode yang berkumpul di Roma tahun 382 di bawah kepemimpinan Paus Damasus (cf. Decretum Gelasianum 3). Di sini Tahta-tahta utama disebutkan antara lain Roma, Alexandria, dan Antiokhia, tanpa menyebutkan apapun mengenai Konstantinopel. Dinyatakan juga bahwa Gereja Roma diberikan tempat pertama karena sabda Kristus kepada Petrus (Mat 16:18), dan karena pendiriannya oleh Petrus dan Paulus. Tempat kedua diberikan kepada Alexandria, karena didirikan oleh Markus murid Petrus, dan tempat ketiga diberikan kepada Antiokhia, di mana Petrus tinggal sebelum ia pindah ke Roma. Gagasan mengenai tiga tahta Petrine ini kemudian diulangi oleh para Paus di abad kelima seperti Bonifatius, Leo, dan Gelasius. Maka sejak 381-382 telah muncul dua kriteria untuk menentukan urutan gerejani suatu Gereja, yang pertama mengandaikan bahwa urutan gerejani harus sesuai dengan urutan sipil kota yang dipermasalahkan, sementara yang kedua mengacu kepada asal-usul apostolik, atau lebih khusus lagi asal-usul Petrine.

17. Gagasan Petrine ini kemudian secara signifikan dikembangkan dan diperdalam oleh Paus Leo (440-461). Ia membuat pembedaan tajam antara pelayanan Petrus dan orang yang menjalankan pelayanan tersebut, yang ia pandang sebagai pewaris (haeres) tak pantas dari Santo Petrus (Serm. 3,4). Dengan menjadi pewaris, Paus menjadi �apostolicus� dan ia mewarisi �consortium� dari kesatuan tak terbagi antara Kristus dan Petrus (Serm. 5,4;4,2). Konsekuensinya, adalah tugas Paus untuk memperhatikan semua Gereja-gereja (cf 2Kor 11:28; Ep. 120,4). Keutamaan Petrus ini berdasar pada fakta bahwa Kristus mempercayakan domba-dombanya kepadanya dan hanya kepadanya (Yoh 21:17; cf Serm. 83). Uskup Roma menjaga keistimewaan tradisi Gereja Roma, tradisi Santo Petrus (cf Ep. 9; Serm.96,3). Leo memandang dirinya sebagai �penjaga iman Katolik dan penetapan para Bapa� (Ep. 114), yang berkewajiban untuk meningkatkan hormat dan pelaksanaan Konsili-konsili.

18. Pada Konsili Oikumene keempat (451), pembacaan Surat Leo ditanggapi dengan seruan: �Petrus telah berbicara melalui Leo�. Bagaimanapun juga, hal ini bukanlah definisi formal mengenai suksesi Petrus. Hal ini merupakan suatu pengakuan, bahwa Leo, uskup Roma, telah menyuarakan iman Petrus, yang secara khusus ditemukan dalam Gereja Roma. Setelah Konsili yang sama, para Uskup mengatakan bahwa Leo adalah �penyambung lidah Santo Petrus bagi semua�menyampaikan kekudusan imannya bagi semua� (Epistola concilii Chalcedoniensis ad Leonem papam= Ep.98 dari Leo). Agustinus juga lebih suka memfokuskan pada iman daripada sekedar pribadi Petrus saat ia mengatakan bahwa Petrus adalah �figura ecclesiae� (Dalam Jo. 7, 14; Sermo 149, 6) dan �typus ecclesiae� (Sermo 149, 6) dalam pengakuannya akan iman dalam Kristus. Maka, merupakan suatu penyederhaan yang berlebihan untuk mengatakan bahwa orang-orang Barat menafsirkan �batu karang� di Matius 16: 18 sebagai pribadi Petrus sementara orang-orang Timur menafsirkannya sebagai iman Petrus. Dalam Gereja awali, baik Timur dan Barat, pergantian (suksesi) iman Petrus-lah yang dianggap sangat penting.

19. Penting untuk diperhatikan bahwa semua suksesi apostolik adalah suksesi iman apostolik dalam suatu Gereja lokal tertentu. Dari sudut pandang eklesiologi, tidaklah mungkin untuk memahami suatu suksesi antar pribadi secara terpisah atau di luar suksesi iman apostolik dan suatu Gereja lokal. Maka, mengatakan Petrus berbicara melalui Uskup Roma pertama-tama berarti Uskup Roma mengungkapkan iman apostolik yang diterima Gereja dari Rasul Petrus. Dalam arti inilah terutama Uskup Roma dipahami sebagai pengganti Petrus.

20. Di Barat, penekanan yang ditempatkan pada hubungan antara Uskup Roma dan Rasul Petrus, sejak abad keempat dan seterusnya, disertai juga dengan meningkatnya acuan yang lebih spesifik terhadap peranan Petrus dalam dewan para Rasul. Primat uskup Roma diantara para Uskup secara bertahap ditafsirkan sebagai suatu keistimewaan karena ia adalah pengganti Petrus, yang pertama diantara para Rasul (cf. Hieronimus, In Isaiam 14, 53; Leo, Sermo 94, 2; 95, 3). Kedudukan Uskup Roma diantara para Uskup dipahami dalam konteks kedudukan Petrus diantara para Rasul. Di Timur, perkembangan (evolusi) dalam penafsiran semacam ini mengenai pelayanan Uskup Roma tidak muncul. Penafsiran semacam ini juga tidak pernah secara eksplisit ditolak di Timur sepanjang milenium pertama, tetapi orang Timur cenderung memahami bahwa setiap Uskup adalah pengganti semua Rasul, termasuk Petrus (cf. Cyprianus, De unit. ecc. 4-5; Origenes, Comm. in Matt).

21. Serupa dengan itu, Barat juga tidak menolak gagasan Pentarkhi (lihat atas n. 13)- sebaliknya Barat dengan cermat menaati taxis lima Tahta utama, Roma, Konstantinopel, Alexandria, Antiokhia, dan Yerusalem, bersama dengan lima kepatriarkhan yang dikembangkan Gereja kuno (cf. dokumen Ravenna, n.28). Bagaimanapun juga, Barat tidak pernah memberikan signifikansi yang sama kepada Pentarkhi sebagai suatu cara pemerintahan Gereja seperti yang dilakukan oleh Timur.

22. Penting untuk diperhatikan bahwa perbedaan pemahaman mengenai keududukan Uskup Roma dan hubungan Tahta-tahta utama di Timur dan Barat ini, yang masing-masing didasarkan kepada penafsiran alkitabiah, teologis, dan kanonis, yang cukup berbeda, tetap tinggal berdampingan (co-exist) selama beberapa abad sampai akhir milenium pertama, tanpa menyebabkan putusnya persekutuan.

Peranan Uskup Roma Pada Masa �masa Krisis Dalam Persekutuan Gerejani
23. Pada milenium pertama, Gereja mengalami banyak kesempatan saat persekutuan gerejani terancam, misalnya, saat definisi-definisi Nicaea ditantang dengan pengecaman para Uskup ortodoks oleh sejumlah konsili yang diadakan di Timur pada abad keempat, dan saat rumusan kristologis Kalsedon ditantang oleh monofisitisme dan �Henotikon� (yang menimbulkan skisma Acacian) di abad kelima, dan kemudian oleh monoenergisme dan monothelitisme di abad ketujuh, juga pada masa krisis ikonoklasme di abad kedelapan dan kesembilan. Orang-orang Katolik dan Ortodoks mengakui pentingnya peranan yang dijalankan oleh Uskup Roma pada masa-masa tersebut.

24. Pada kenyataannya, sejak abad keempat dan seterusnya, ada suatu pertumbuhan terhadap pengakuan akan Roma sebagai pusat di mana pengaduan atau permintaan bantuan dalam berbagai situasi dapat disampaikan dari seluruh dunia Kristen. Pada tahun 339-340, Uskup Alexandria, mengajukan pengaduan kepada Paus Yulius. Dalam kata-kata Paus, yang dikutip oleh Athanasius �Dia (Athanasius) datang bukan karena kemauannya sendiri, tetapi karena ia diundang oleh surat kami� (Athanasius, Apologia contra Arianos 29;cf 20. 33. dan 35). Hal ini memperlihatkan bahwa Yulius tidak sekedar menanggapi permohonan dari Athanasius, tetapi ia sendiri mengambil inisiatif untuk �mengundang� Uskup dari Alexandria itu. Maka, tampak bahwa peranan Paus lebih dari sekedar menerima pengaduan.

25. Permintaan bantuan kepada Roma disaat terjadi krisis kadang juga disertai dengan permintaan seruma kepada Tahta-tahta utama gerejani lainnya. Yohanes Krisostomus (404), misalnya, mengadu tidak hanya kepada Roma melainkan juga kepada Uskup dari Milan dan Aquilela. Maka, tindakan yang diambil oleh Uskup Roma ditujukan untuk dikoordinasikan, dalam semangat konsiliar, dengan tindakan oleh Tahta-tahta utama lainnya. Lebih jauh lagi, inisiatif Uskup Roma pada umumnya cenderung dijalankan dalam konteks Sinode Romawi dan biasanya mengacu kepada sinode itu. Misalnya, dalam korespondensi pada masa perselisihan Photius, para Uskup Roma menekankan bahwa mereka telah mengambil keputusan sejalan dengan aturan atau kanon dan secara sinodal (�regulariter et synodaliter� atau �canonice et synodaliter�).

26. Prosedur yang harus diikuti dalam mengajukan permohonan kepada Roma dikembangkan oleh Konsili Sardica (342-343, kanon 3-5). Dalam keputusan konsili itu ditetapkan bahwa seorang Uskup yang telah dihukum (condemned) dapat mengajukan banding kepada Paus, dan jika Paus memandangnya perlu, dapat memerintahkan pengadilan ulang, untuk dijalankan oleh para Uskup dari keuskupan-keuskupan yang dekat dengan keuskupan dari Uskup yang dihukum tersebut. Jika diminta oleh Uskup terhukum tersebut, Paus juga dapat mengirimkan wakilnya untuk mendampingi para Uskup dari keuskupan-keuskupan tetangga. Walaupun pada awalnya dikehendaki menjadi Konsili Oikumene, namun Sardica sebenarnya adalah konsili lokal yang diadakan di Barat. Kanon-kanon Sardica diterima di Timur pada Konsili di Trullo (692).

27. Deskripsi paling jelas mengenai kondisi yang dibutuhkan agar sebuah konsili dapat diakui sebagai oikumene diberikan oleh Konsili Oikumene VII (Nicaea II, 787), konsili terakhir yang diakui sebagai oikumene baik di Timur dan di Barat:
- konsili itu harus diterima oleh kepala-kepala (proedroi) Gereja-gereja, dan mereka harus bersepakat (symphonia) dengannya;
- Paus Roma harus menjadi �rekan kerja� (synergos) dengan konsili;
- para Patriarkh dari Timur harus berada �dalam kesepakatan� (symphronountes);
- ajaran-ajaran konsili harus sejalan dengan Konsili-konsili Oikumene sebelumnya;
-konsili harus menerima angka urutan yang spesifik, agar dapat ditempatkan dalam kelanjutan dari konsili-konsili yang diterima oleh Gereja secara keseluruhan.

28. Dapat ditegaskan bahwa pada milenium pertama, peranan Uskup Roma sebagai yang pertama (protos) diantara para Patriarkh, menjalankan suatu fungsi koordinasi dan stabilitator dalam masalah yang berkaitan dengan iman dan persekutuan, dalam kesetiaan kepada tradisi dan dengan penuh hormat terhadap konsiliaritas.

Pengaruh Faktor-faktor Non-teologis
29. Sepanjang milenium pertama, sejumlah faktor yang tidak secara langsung bersifat teologis telah memainkan peranan yang cukup penting dalam hubungan antara Gereja-gereja di Timur dan Barat, dan mempengaruhi pemahaman dan pelaksanaan primat Uskup Roma. Faktor-faktor ini bermacam-macam jenisnya, misalnya faktor politis, historis, sosial-ekonomi, dan budaya.

30. Sebagai indikasi faktor-faktor yang berkaitan, dapat dinyatakan sebagai berikut:
- peristilahan, mentalitas, dan ideologi Kekaisaran Romawi;
- perubahan politik kerajaan berkaitan dengan kehidupan Gereja;
- pemindahan ibuka Kekaisaran ke Timur;
-kemunduran dan kejatuhan Kekaisaran Romawi di Barat, serta konsekuensinya bagi keseimbangan politik dan kebudayaan antara Timur dan Barat, yang menuntun kepada saling keterasingan, ketidaktahuan, dan kesalahpahaman diantara keduanya;
- ekspansi Muslim di wilayah kepatriarkhan Alexandria, Antiokhia dan Yerusalem, serta Afrika Utara dan Spanyol.
- kemunculan Kekaisaran Barat di bawah Karolus Agung;
- pengaruh pribadi dari sejumlah tokoh sejarah tertentu.
Suatu kesadaran akan faktor-faktor non-teologis yang berkerja dalam hubungan antara orang-orang Kristen Timur dan Barat serta apresiasi terhadap bagaimana mereka berinteraksi dengan berbagai faktor teologi memungkinkan suatu pemahaman yang lebih dalam akan kehidupan dan iman Gereja, dan secara khusus perbedaan yang berkembang antara Timur dan Barat.

Kesimpulan
31. Sepanjang milenium pertama, Timur dan Barat tetap bersatu dalam perbedaan fundamental mengenai prinsip teologis, misalnya, mengenai pentingnya kelanjutan dalam iman apostolik, ke-saling tergantung-an antara primat dan konsiliaritas/sinodalitas dalam setiap tingkat kehidupan Gereja, dan suatu pemahaman mengenai otoritas sebagai �pelayanan (diakonia) cinta kasih�, dengan �penghimpunan seluruh umat manusia dalam Yesus Kristus� sebagai tujuannya (cf. dokumen Ravenna, nn. 13-14). Walaupun kesatuan Timur dan Barat terganggu beberapa kali, para Uskup dari Timur dan Barat tidak pernah gagal untuk menyadari bahwa mereka tergabung dalam Gerejayang sama dan menjadi pengganti para Rasul dalam satu jabatan Uskup. Kerekanan para Uskup diungkapkan dalam suburnya kehidupan sinodal Gereja pada semua tingkatan baik lokal, regional, dan universal. Pada tingkat universal, Uskup Roma bertindak sebagai protos diantara para kepala Tahta-tahta utama. Ada anyak contoh mengenai berbagai jenis permohonan yang diajukan kepada Uskup Roma untuk meningkatkan damai dan memelihara persekutuan Gereja dalam iman apostolik.

32. Pengalaman milenium pertama secara mendalam mempengaruhi pola hubungan antara Gereja-gereja Timur dan Barat. Walaupun perbedaan bertambah dan kadang-kadang terjadi skisma pada masa ini, namun persekutuan tetap dipelihara antara Timur dan Barat. Prinsip perbedaan-dalam-persatuan, yang secara eksplisit diterima dalam Konsili Konstantinopel yang diadakan pada tahun 879-880, memiliki dampak penting yang khusus bagi tema dari tahapan dialog kita yang berlangsung sekarang ini. Perbedaan pemahaman dan penafsiran yang jelas, tidak mencegah Timur dan Barat untuk teap tinggal dalam persekutuan. Ada perasaan yang lebih kuat sebagai satu Gereja, dan ketetapan untuk tetap ada dalam kesatuan, sebagai satu kawanan dengan satu gembala (cf. Yoh 10:16). Milenium pertama, yang telah diperiksa dalam tahap dialog kami ini, adalah tradisi bersama dari kedua Gereja kita. Dalam prinsip teologis dan eklesioginya yang dasar telah diidentifikasikan di sini, tradisi bersama ini harus melayani sebagai model bagi pemulihan persekutuan penuh kita.

3 Oktober 2008.

Diterjemahkan dari:
http://chiesa.espresso.repubblica.it/articolo/1341814?eng=y

Thursday, October 15, 2009

Surat Dari Biara St. Maron Kepada Paus Hormisdas

Pada tahun 517 AD, sejumlah besar biarawan meninggalkan biara St. Maron, dan pergi ke Biara St. Simon sang Stylite murid St. Maron dekat Alepo. Dalam perjalanan menuju biara itu mereka diangkap oleh sejumlah tentara pendukung bidaah �satu kodrat� Kristus. Tiga ratus lima puluh biarawan dibunuh. Hanya sedikit yang selamat dan terluka dan berhasil melarikan diri. Kemudian Alexander pemimpin biara St. Maron dan pemimpin biara-biara di sekitarnya menulis kepada Paus Hormisdas dan memberitakan kepada Paus mengenai pembantaian oleh kaum Monofisit ini. Mereka juga mengatakan bahwa banyak biara dibakar dan meyakinkan Paus bahwa para biarawan tetap setia kepada Gereja Katolik dan tidak takut menderita kematian karena iman mereka. Surat Alexander ini sedikit banyak menunjukkan kepada otoritas yang dimiliki Paus dalam Gereja-gereja Timur, di masa ketika Gereja Antiokhia sedang berada dalam krisis besar otoritas Paus sebagai Patriarkh Gereja Universal nampak semakin jelas. Para biarawan dari St. Maron inilah yang kemudian berkembang menjadi suatu tradisi tersendiri yang kita kenal sebagai Gereja Maronite, satu-satunya Gereja Timur yang tidak memiliki badan Ortodoks yang terpisah dari Roma.

Kepada Yang Tersuci dengan kekudusan yang mendalam, Hormisdas, Patriarkh Universal, yang duduk di Tahta Petrus, Pangeran Para Rasul. Kami menyampaikan permintaan penuh doa dari hamba yang hina pemimpin biara-biara di wilayah Syria II dan semua biarawannya.

Karena rahmat Kristus, Penyelamat kita, mendorong kami berlari kepadamu Yang Terberkati [sapaan khas Gereja-gereja Timur kepada seorang Uskup], seperti orang yang berlindung dari hujan badai di pelabuhan yang aman, kami percaya, bahwa engkau adalah perlindungan kami, walaupun kami menderita kesusahan yang teramat berat, kami menanggungnya dengan sukacita, karena kami percaya, bahwa penderitaan dunia ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kemuliaan abadi yang akan disingkapkan bagi kami.

Karena Kristus, Allah kita, telah menetapkan engkau sebagai Pemimpin dan Gembala dan Tabib bagi jiwa-jiwa, adalah tugas kami untuk menyampaikan kepadamu penganiayaan yang telah kami derita, agar engkau menyadari bahwa ada serigala yang tanpa belas kasih, yang memecah belah kawanan domba Kristus dan kami memohon kepadamu agar engkau dengan tongkatmu mengusir para serigala ini dari kawanan domva, dan untuk menyembuhkan jiwa dengan pengajaran Sabda Tuhan, dan rawatlah mereka dengan doa-doamu� baik Severus [Patriarkh Antiokhia] dan Petrus [Uskup Apamea]�karena mereka berusaha memaksa kami untuk menolak ajaran yang benar dari Konsili Chalcedon.

Saat kami sedang dalam perjalanan menuju Biara St. Simon untuk kepentingan Gereja, kami diserang oleh orang-orang jahat yang membunuh 350 orang dari antara kami dan melukai banyak lainnya. Bahkan ada diantara kami yang melarikan diri ke gereja-gereja untuk berlindung, tetap dibunuh di hadapan Altar. Maka kami memohon kepadamu Bapa Suci bangkitlah dengan kekuatan dan ketekunan dan berbelaskasihlah atas tubuh kami yang terluka ini; karena engkau adalah kepala dari semua�karena engkau adalah gembala sejati dan tabib yang merawat domba-domba dan keselamatan mereka: �Aku mengenal domba-domba-Ku, dan domba-dombaku mengenal Aku..�[Yoh10:14-16]. Jadi janganlah mengabaikan kami Yang Tersuci, karena setiap hari kami berhadapan dengan luka-luka yang mematikan.

Tertanda
Saya, Alexander, karena rahmat Allah, Imam, Pimpinan Biara St. Maron.
[Menyusul tanda tangan semua biarawan di Biara itu dan para Imam lainnya]


Sumber: Dau, B 1984. History of the Maronites- Religious, Cultural and Political. London: Lebanese Maronite Order. p.172-175

Surat ini sedikit banyak mengingatkan kita kepada Konsili Chalcedon sendiri dimana surat Paus Leo dibacakan dan para Bapa Konsili berseru:
�Inilah iman para bapa, inilah iman Para Rasul. Kami semua mempercayainya, inilah kepercayaan ortodoks. Terkutuklah mereka yang menolaknya. Petrus telah berbicara melalui Leo. Begitulah ajaran Para Rasul. Dengan saleh dan benar Leo mengajarkannya, begitu juga Cyril. Kenangan abadi akan Cyril. Leo dan Cyril mengajarkan hal yang sama, terkutuklah mereka yang tidak mempercayainya. Inilah iman yang benar. Kami yang ortodoks mempercayainya. Inilah iman para bapa.� (Ekstrak dari Akta sesudah pembacaan surat St. Leo)

Patriarkh Maximos IV: Katolisisme Tidak Sama Dengan Latinisme


�Kita harus berjuang untuk memastikan bahwa Latinisme dan Katolisisme tidak lagi bersifat sinonim, bahwa Kekatolikan harus terbuka kepada setiap kebudayaan, setiap semangat, dan setiap bentuk organisasi yang selaras dengan kesatuan iman dan cinta kasih. Pada saat yang sama, dengan teladan kita sendiri, kita harus mendesak Gereja Ortodoks untuk mengakui bahwa persatuan [�] dengan Tahta Petrus dapat dicapai tanpa membuat mereka meninggalkan Ortodoksi-

Yang Terberkati Maximos IV
Patriarkh Antiokhia, Alexandria dan Yerusalem untuk Gereja Katolik Melkite

Beberapa bulan ini saya telah membaca buku �Gereja Melkite Dalam Konsili Vatikan II� yang berisi berbagai pidato, intervensi, dan catatan Patriarkh Maximos sejak masa persiapan Konsili sampai pada penutupannya. Dalam masa-masa itu Maximos menunjukkan visinya yang tegas bahwa Katolisisme harus universal, Gereja Katolik tidak identik dengan Gereja Latin.

Memang benar bahwa dari 1,1 Milyar umat Katolik, hampir seluruhnya adalah anggota Gereja Latin, dan Pengganti St. Petrus menggembalakan sebuah keuskupan ritus Latin dan pada umumnya ia menggunakan ritus Latin untuk merayakan Liturgi Suci yang dipimpinnya. Tetapi ini samasekali tidak berarti bahwa ritus Latin adalah ritus utama Gereja, hal itu juga tidak berarti bahwa Gereja Latin adalah �Gereja utama� dalam Gereja Katolik. Sebaliknya, yang benar ialah Gereja Latin adalah satu dari 22 Gereja sui-iuris (otonom) yang membentuk Gereja Katolik dengan Uskup Roma sebagai kepala persekutuan.

Sejak berakhirnya Konsili Fireze (Florence) telah terjadi ketidakadilan dalam Gereja Katolik yang dimulai dengan penempatan para Kardinal Romawi secara lebih terhormat daripada para Patriarkh dalam Konsili-konsili dan dalam upacara-upacara resmi Gereja Katolik (pada Konsili Firence sendiri para Patriarkh masih diberi kehormatan lebih tinggi, namun sesudahnya barulah kekacauan itu dimulai). Kekacauan ini kemudian merambat dari atas ke bawah dan berakhir pada Latinisasi besar-besaran terhadap Gereja-gereja Timur yang bersekutu dengan Roma. Seringkali Latinisasi ini terjadi karena sebagian Uskup dan Imam yang menjadi misionaris di daerah-daerah Timur secara salah menganggap bahwa Katolisisme identik dengan Latinisme dan mencurigai apa saja yang berbau Timur.

Kita bersyukur bahwa Roh Kudus tidak tinggal diam, perlahan-lahan para Paus bertindak menghentikan Latinisasi. Saat yang paling menentukan adalah Paus Leo XIII dengan ensiklik Orientalium Dignitas yang menjadi awal titik balik yang mencapai puncaknya pada Konsili Vatikan II yang memberi mandat kepada Gereja-gereja Timur untuk kembali kepada tradisinya yang asli dan memeliharanya. Semua Paus pasca-Vatikan II menunjukkan penghormatan dan pengakuan terhadap tradisi-tradisi Timur; Paulus VI mengizinkan untuk tidak menggunakan �filiouqe� (dan Putera) pada Pengakuan Iman Nicaea-Konstantinopel yang dinyanyikan di Gereja-gereja Timur, Yohanes Paulus II menulis ensiklik Orientale Lumen yang mengakui kekayaan warisan rohani Gereja-gereja Timur dimana sebagai orang Polandia ia cukup dekat dengan Gereja-gereja Katolik ritus Byzantine yang ada di negaranya.

Kembali ke Konsili Vatikan II, pada masa Konsili itu para Patriarkh Timur masih juga ditempatkan dalam urutan kehormatan sesudah para Kardinal Romawi. Patriarkh Maximos menentang urutan ini dan meminta agar tatanan kehormatan yang tradisional dan kuno dikembalikan. Sejumlah Uskup Latin menentangnya dan mengatakan bahwa Gereja Katolik Timur adalah �buatan� Paus dan karenanya para Patriarkhnya tidak layak diperlakukan seperti yang diatur dalam Konsili-konsili kuno. Patriarkh Maximos menjawab mereka (dengan perkataan yang merupakan perkataan favorit saya):

�5. Akhirnya, keberatan yang diajukan adalah saat yang wajar untuk mengakui keutamaan para Patriarkh Timur sebagaimana mereka miliki sebelum skisma adalah saat para Patriarkh �sejati� yaitu para Patriarkh Ortodoks menyetujui untuk membicarakan persatuan. Tetapi para Patriarkh Timur yang sekarang hadir di Konsili ini adalah buatan baru dari Tahta Suci, dan karenanya memberikan tingkatan dan kuasa itu tidaklah tepat.

- Konsep ini, yang menyangkal bahwa para Patriarkh Katolik Timur adalah pengganti yang legitim dari para pendahulu mereka di tahta masing-masing, adalah senjata baru para �latinis� yang digunakan untuk menentang para Katolik dari Ritus-ritus Timur. Malang bagi mereka, karena walaupun konsep ini mungkin akan diterima oleh para Ortodoks yang terpisah dari Roma, namun tidak dapat diterima oleh orang Katolik dan secara mutlak bertentangan dengan pemikiran para Paus sendiri.

Karena kami tidak dapat menyajikan begitu banyak teks-teks kepausan yang mendukung pandangan kami, kami hanya membatasi dengan mengajukan teks-teks yang berkaitan dengan Kepatriarkhan Antiokhia kami sendiri, yang saat dijabat oleh Cyril VI Tanas menyatakan persatuan dengan Roma tahun 1724. Saat utusan Paus menahtakannya pada tanggal 25 April 1730, utusan Paus mengakui dia sebagai �Patriarkh Antiokhia yang legitim.� (Masi, Vol 46. col, 189) Sementara itu Paus Benediktus XIV, dalam pidatonya pada konsistori 3 februari 1744, mengakui Cyril VI sebagai satu-satunya pejabat Tahta Ortodoks yang sejati di Antiokhia, dan mengatakan tentang Patriarkh tandingganya Sylvester �ia telah merampas tahta patriarchal� dan megatakan kepada para Melkite bahwa didalam mereka �sisa-sia terhormat dari Gereja Antiokhia, yang sebelumnya terkubur, telah bangkit kembali kepada kehidupan� (Ibid., col. 340)

Dalam surat tanggal 29 Februari 1744, yang ditujukan juga kepada Patriarkh Cyril, Benediktus XIV mengungkapkan dirinya dengan cara ini: �Sementara kami mengakui bahwa Gerea Antiokhia Yunani yang terhormat, telah terpisah dari tahta Roma untuk waktu yang lama karena sksma yang mengerikan dan dikendalikan oleh para Patariakh yang terjangkit wabah skisma, sekarang akhirnya telah diserahkan kepadamu hai saudara, untuk kau jaga sebagai gembalanya yang sah.� (Ibid. col. 341) Dan Paus melanjutkan dengan menyatakan bahwa ia sungguh bergembira karena ia kini dapat sekali lagi memasukkan nama Patriarkh Antiokhia ke dalam diptychs Gereja Roma. Dari semua ini, jelaslah bahwa, bagi para Paus, Kepatriarkan Katolik Melkite Yunani adalah kelanjutan yang sah dari suksesi Tahta Antiokhia. Karenanya hak dan keistimewaan yang sama adalah hak bagi para Patriarkhnya sebagaimana para pendahulu kuno mereka.

Keberatan lain dapat diajukan, dan akan mudah untuk menjawabnya. Jantung utama dari permasalahan ini adalah: haruskah Gereja Katolik pada masa kita secara murni dan sederhana mengakui perkembangan yang hanya terjadi dalam lingkungan Latin Barat yang memunculkan Kekardinalan, atau harusnya sekali lagi diadakan penyelarasan berbagai institusi modern Barat dengan institusi yang lebih kuno di Timur? Dengan kata lain, apakah Katolisisme adalah perluasan Latinisme yang bersifat menaklukkan? Ataukah Katolisime adalah institusi ilahi, supra-regional, supra-nasional dimana tradisi Timur dan Barat memiliki hak yang pada dasarnya sama? Masalah tingkatan para Patriarkh Timur bukanlah masalah keutamaan dan kemuliaan kosong. Tetapi, menunjukkan suatu pengembalian kepada konsep eklesiologi yang lebih otentik dan apostolik.


Dalam sesi-sesi Konsili selanjutnya urutan kehormatan para Patriarkh dipulihkan dan terjadi perkembangan yang positif. Namun, sesudah Vatikan II terjadilah suatu perkembangan yang sangat negatif yaitu diangkatnya para Patriarkh Timur menjadi Kardinal. Pengangkatan ini pada umumnya disambut dengan ketidakpuasan dan kekecewaan di kalangan Timur, walaupun jalan tengah dapat diambil yaitu para Kardinal Patriakh tidak menerima gelar berupa dekanat, Paroki, atau Keuskupan di sekitar Roma.

Secara tradisional para Kardinal adalah pembantu Paus sebagai Patriarkh Gereja Latin. Dewan Kardinal terdiri terutama dari 6 orang Uskup yang menangani keuskupan-keuskupan pinggiran kota Roma yang pada awal abad pertengahan memiliki banyak penduduk dan para Uskupnya memiliki peranan penting namun pada masa ini enam keuskupan itu hanya menjadi daerah pinggiran yang sepi dan secara nyata tidak memiliki peran apa-apa. Selebihnya para Kardinal terdiri dari para Pastor di Paroki-paroki besar di kota Roma, dan para Diakon yang memimpin diskateri-diskateri (komisi-komisi) Keuskupan. Sementara saya tidak keberatan seorang Patriarkh Timur mengikuti konklaf (sementara beberapa orang Katolik Timur merasa aneh jika Patriarkh mereka harus terlibat dalam pemilihan Patriarkh Gereja Roma) dan bahkan merasa sangat perlu para Patriarkh Timur mengikuti konklaf, sangatlah tidak tepat jika mereka diangkat menjadi Kardinal Romawi. Tampaknya jauh lebih tepat dan lebih baik jika aturan konklaf (pemilihan Paus) diubah menjadi konklaf diikuti oleh para Kardinal Romawi dan semua kepala Gereja-gereja sui iuris dalam Gereja Katolik. Dibalik persoalan Kardinal ini, masalah sebenarnya adalah sama seperti yang diungkapkan Patriarkh Maximos yaitu eklesiologi yang terlalu berorientasi kepada Gereja Latin.

Pidato Maximos IV dan pengangkatan para Patriarkh sebagai Kardinal menunjukkan bahwa kesetaraan antara Gereja Latin dan Gereja-gereja Timur sebagai sesama Gereja otonom dalam persekutuan Gereja Katolik belum dicapai sepenuhnya.

Sunday, October 11, 2009

Eklesiologi Antiokhia

Artikel ini ditulis oleh seorang Uskup Agung Ortodoks bernama Georges Khodr dari Keuskupan Agung Gunung Libanon dan dimuat di koran Libanon bernama an-Nahar. Saya menerjemahkannya dari versi bahasa inggris karya seorang blogger yang blognya bernama "Notes on Arab Orthodoxy dan diberi judul Eklesiologi Antiohia. Seorang Romo Katolik Melkite (Byzantine ramblings) menyatakan bahwa artikel ini berlaku baik untuk Katolik maupun Ortodoks yang menggunakan ritus Byzantine. Saya menerjemahkan dari bahasa inggris dan beberapa kali menambahkan keterangan dalam tanda kurung untuk membuatnya tampak lebih Katolik dan lebih bisa mudah dimengerti oleh orang Kristen Latin (seperti saya sendiri juga adalah orang Latin). Selamat membaca.

Versi bahasa Inggris dari artikel ini (acuan terjemahan saya):

Notes on Arab Orthodoxy: Anthiochian Ecclesiology

Blog seorang Romo Katolik membahas artikel ini:

Byzantine Ramblings: Eastern Ecclesiology

Versi asli artikel dalam bahasa Arab:

?????? ??????? ?? ??????? ????????

Dan sekarang terjemahan saya:


Sistem pemerintahan dalam Gereja Ortodoks adalah penguatan dari suatu ajaran teologis. Bagi kita, umat sebagai keseluruhan memelihara ajaran Gereja. Hal ini berarti, visi dari seluruh kehidupan Gereja adalah visi seluruh umat beriman, yang tampak melalui para uskup di antara mereka. Sejalan dengan pentingnya kedudukan uskup, ia mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepada seluruh kawanannya. Hal ini tidak berarti bahwa ia bergantung kepada kelompok mayoritas kawanannya, tetapi bergantung kepada mereka yang saleh dan secara aktif menjalankan imannya diantara kawanan. Merekalah yang sesungguhnya adalah Tubuh Kristus sejauh mereka menghadirkan Kristus di bumi.

Bagaimanapun, uskup tidak hanya berhubungan dengan seluruh kawanan yang dipercayakan kepadanya. Dia juga berhubungan dengan para metropolitan yang memerintah gereja yang kita sebut �lokal� atau �regional� sebagaimana ia juga dipersatukan dengan para uskup yang beriman lurus di seluruh dunia. Bagaimanapun juga, peristiwa yang kini, terjadi dari hari ke hari, juga menentukan tindakan-tindakan gereja lokal, seperti Gereja Antiokhia.

Gereja ini diperintah oleh Sinode Suci, yang teridiri dari semua uskup di wilayah ini dan dipimpin oleh sang patriarch sebagai yang pertama diantara yang setara. Misteri tunggal imamat menjadikan mereka satu kumpulan, dan diharapkan juga satu pikiran, yang diimani sebagai pikiran Kristus. Inilah kebersamaan yang mereka bentuk, dan yang kepadanya kita berharap Roh Kudus berhembus dan meluas, agar mereka dalam melayani dengan satu spiritualitas semua umat beriman melalui satu unit spiritual yang kita sebut keuskupan. Karena kesatuan anggota-anggotanya, suatu sinode, seperti Sinode Suci Antiokhia, mengawasi semua wilayah karena kita mengandaikan bahwa para uskup menyatukan pikiran mereka dengan pikiran Kristus dan tidak berbicara menurut kehendak-Nya, dan bahwa mereka berjuang untuk Kristus, dengan Injil sebagai titik acuan mereka. Karena alasan inilah mereka menempatkan kitab Injil di aula tempat mereka berkumpul untuk mengingatkan mereka bahwa mereka menyampaikan sabda-Nya dan bahwa mereka tidak menyampaikan apapun selain Dia ketika mereka membuat keputusan atau secara bersama-sama merencanakan sesuatu atau bertindak atau memilih uskup baru atau mengadili seorang uskup yang melanggar hukum Gereja.

Bagi kita, patriarkh adalah penjamin kesatuan karena dia telah mencapai suatu kelepasan. Melalui kebajikan kemurnian ini mereka mengakui dia sebagai yang pertama diantara mereka dan mereka tetap bersemangat untuk menghormati kedudukannya, sama seperti patriarkh juga bersemangat untuk membangun kedudukan para uskupnya. Karena itu mereka tidak berkumpul tanpa dia dan jika Allah memanggil ia untuk diri-Nya sendiri (meninggal), mereka tidak berkumpul kecuali untuk memilih penggantinya. Tidak ada sinode tanpa patriarkh dan tidak ada patriarkh. Dalam hal terjadi skisma, mereka yang memisahkan diri tidak membentuk sinode, tidak perduli apakah dari segi jumlah mereka adalah minoritas, perhimpunan yang dipimpin oleh patriarkh-lah yang merupakan suatu sinode.

Pada dasarnya sistem ini tidak memiliki pembanding dalam sistem pemerintahan duniawi apapun, entah itu parlemen atau lainnya. Maka, tidaklah benar untuk mengatakan bahwa Ortodoksi adalah demokrasi. Ortodoksi adalah harmoni Roh Kudus. Sama seperti kalian mematuhi uskup kalian karena Allah mengangkatnya melalui penumpangan tangan (tahbisan), maka kalian juga mematuhi Sinode Suci bukan karena institusi ini adalah otoritas yang berkuasa atas kalian menurut suatu cara legalistis, tetapi lebih karena penumpangan tangan yang telah diletakkan pada kepala tiap uskup pada hari pentahbisannya. �Uskup adalah gambaran (ikon) Kristus�, begitulah kata St. Ignatius dari Antiokhia. Dalam mematuhi seorang uskup, kalian mematuhi Kristus.

+ + +

Bagaimanapun juga, uskup adalah manusia dan mereka bisa melakukan kesalahan. Jika suatu kesalahan datang dan merusak ajaran Gereja, kalian bertanggung jawab untuk tidak mematuhi uskup, dan dalam hal ini sinode akan membuat pengaduan kepada sinode Ortodoks lain. Jika uskup lokalmu menentang ajaran Gereja dan mengajarkan sesuatu yang baru (diluar Tradisi Suci) maka kalian harus berhenti mendoakannya dan membawa masalahnya kepada rekan-rekan uskupnya yang lain, khususnya kepada patriarkh. Bagaimanapun juga, hal ini jarang sekali terjadi dan dalam beberapa ratus tahun terakhir kita tidak mengalami masalah semacam itu, karena pendefinisian ajaran Gereja adalah hal yang khusus dilakukan oleh Konsili Oikumenis (dalam Gereja Katolik bukan hanya Konsili Oikumenis tetapi juga Paus yang berbicara secara ex-cathedra) dan bukan oleh sinode lokal.

Dapat terjadi bahwa sinode bertindak tidak bijak dalam suatu masalah pastoral atau administratif. Hal ini didiskusikan dalam sesi yang berkaitan dengan keluhan atau keberatan yang dapat dipertanggungjawabkan dan masalah ini akan diselesaikan secara lokal.

Dalam masalah semacam ini para imam yang saleh, yang ahli dalam tradisi gereja serta orang awam yang bijak memainkan peranan yang besar. Semangat kebapakan yang umum akan menentukan bagaimana menyelesaikan masalah ini secara benar, terutama karena ajaran Gereja mengatakan bahwa para klerus dan umat beriman adalah satu tubuh yang berkaitan satu sama lain sebagai anggota dalam Sabda keselamatan yang dipertahankan dengan niat baik dan hati yang benar.

Dalam Gereja, jumlah tidak berarti. Kalian tidak mematuhi Sinode karena alasan ini. Kalian menerimanya karena Sinode adalah wujud nyata dari Gereja yang berjuang dalam pemurnian, yaitu keseleuruhan dari mereka yang berdoa. Pada abad-abad pertama, Gereja menolak sinode yang terdiri dari lebih dari 400 orang uskup dan menyebut mereka sebagai sinode perampok (istilah sinode perampok berasal dari Paus St. Leo Agung terhadap sinode Efesus pada tahun 449 berkaitan bidaah monofisit, dalam sinode itu utusan Paus dipukuli oleh sejumlah biarawan dan surat Paus dilarang untuk dibacakan. Akhirnya diadakan Konsili Chalcedon yang diakui sebagai sinode yang benar), waaupun mereka hanya memutuskan apa yang mereka anggap telah diinspirasikan oleh Roh Allah. Sinode bukanlah tuan atas dirinya sendiri dan bukan suatu perkumpulan biasa, tetapi karena kita yakin bahwa ada ikatan antara sinode dengan Tuhan. Ketika Allah memerintah sinode melalui rahmat, ini adalah sinode yang lurus dan kalian hanya terikat kepada apa yang lurus. Uskup adalah mereka yang dipercayai misteri ilahi, seperti kata St. Paulus. Jika mereka bertindak melawan kepercayaan itu, maka mereka menjadi bukan apa-apa, karena tidak ada penguasa dalam Gereja selain Allah sendiri. Dalam Gereja 7 Konsili Oikumenis pertama (yaitu sebelum skisma besar tahun 1054), konsili yang kemudian meneguhkan kebenaran dari konsili sebelumnya dan dengan cara ini membawa kita semakin mendekat kepada kebenaran tertentu dalam hal iman yang sebelumnya tidak begitu jelas. Kebenaran tertentu diteguhkan oleh penerimaan seluruh umat beriman saat para uskup menyampaikan hal itu ketika mereka berkumpul dalam Konsili. Konsili-konsili besar ini tidak hanya dikenal karena teologinya yang hebat dan kebijaksanaannya (tetapi juga karena kekudusan para bapa konsili), dan karena itu kita menghormati para bapa suci yang berkumpul di Nicaea atau di Konstantinopel. Kekudusan dari mereka yang berkumpul menegakkan kebenaran iman mereka karena tidak ada pemisahan antara kepercayaan dan kemurnian hidup.

+ + +


Mereka yang kemurniannya kita jadikan acuan juga terpanggil ke dalam suatu pemilihan ketika suatu keuskupan kosong karena uskupnya meninggal. Di beberapa Gereja, seperti di Rusia misalnya, para klerus dan awam berpartisipasi dalam pemilihan secara langsung. Di Gereja-gereja lain, ada suatu komisi yang terdiri dari iman dan awam yang mengurusi nama-nama kandidat dan menyampaikan sejumlah nama kandidat kepada Sinode Suci, yang satu di antara kandidat itu akan dipilih oleh sinode. Di negara kita, komisi nominasi itu adalah perhimpunan keuskupan (diocesan assembly). Jika melalui cara ini belum dapat dicapai keputusan, maka sinode sendiri akan mulai mengajukan kandidat-kandidat dan kemudian memilihnya melalui cara nominasi. Pada dasarnya, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh kandidat, pertama-tama adalah hidup rohani dan moralnya, kemudian pencapaiannya akan suatu tingkat (gelar) dalam teologi, kemudian persyaratan umur dan kemajuan pelayanannya.

Sekalipun semua syarat ini dipenuhi, hal itu adalah suatu kedekatan dengan ideal yang diharapkan dan bukan suatu jaminan. Kita bisa memilih, misalnya, seorang yang tampak murni dan rendah hati tetapi kemudian kekuasaan membuatnya korup dan menindas kalian. Jika kita melihat pencapaian studi teologi kita dapat saja berpikir dia itu berpengetahuan, tetapi kemudian menjadi jelas bahwa dia lemah dalam penerapan pengetahuan teologisnya. Kualitas baik yang ada dalam diri seorang imam bisa jadi tidak memadai untuk menentukan kecocokannya dengan tugas-tugas uskup. Suatu karunia baru dapat muncul dalam diri seseorang berkaitan dengan panggilan barunya, jadi bukanlah tidak mungkin anggota sinode akan berbeda dalam pilihan mereka. Satu orang mungkin akan berfokus dalam kemampuan teologis seorang kandidat dan yang lain dalam karunia-karunia pastoralnya jika hal itu memang diketahui. Yang lain mungkin akan menekankan kemampuan administratifnya. Tetapi apakah itu kemampuan administratif?


Kita tidka perlu terkejut jika para pemimpin kita berbeda-beda dalam hal kriteria ini. Seorang mungkin akan tertarik dengan kecerdasan dan pengetahuan seorang kandidat. Yang lain tertarik dengan pengalamannya. karena masalah ini berkaitan dengan penilaian individu, maka kesepakatan bulat pada dasarnya akan sulit dicari. Bagaimanapun jika hal yang akan membebaskan kita dari ketidakjelasan ini adalah mencari seseorang yang terpanggil kepada jabatan uskup dan memiliki cinta yang teguh dan mendalam kepada Tuhan. Pembelajaran harus ditambahan karena apa yang kita cari dalam diri orang ini adalah pengetahuan tentang masalah iman agar ia dapat berkhotbah dan mengajar. Berkaitan dengan apa yang kita sebut sebagai manajemen harta benda Gereja serta pendapatan dan kekayaan materialnya, Gereja perdana merasa adalah baik bagi uskup untuk menunjuk seorang administrator berkaitan dengan hal ini, karena orang yang mendalami pengetahuan teologis pada umumnya tidak memiliki pengalaman berkaitan dengan hal itu. Sementara bagi orang yang berpengalaman dalam masalah-masalah itu namun tidak memiliki pengetahuan akan Allah dan Sabda-Nya, akan sulit baginya untuk menjalankan tugas utama uskup yaitu berkhotbah dan mengajar.

Maka kehendak baik dan opini-opini yang mencerahkan dapat menghasilkan terpilihnya seseorang yang penuh kebijaksanaan Allah dan dia akan dilengkapi dengan berbagai anugerah kebijaksanaan yang diterimanya dari orang lain dan dari seiring berjalannya waktu sepanjang dia bersandar kepada mereka yang saleh dan bijak dalam kawanan yang digembalakannya

Masalah utama kita adalah Injil Kristus diberikan kepada manusia-manusia yang penuh kelemahan karena kodrat manusiawinya dan mereka yang memiliki tingkat kerohanian tinggi sedikitlah jumlahnya. Gereja di dunia ini belum mencapai kerajaan dan kita tahu, sebagaimana dikatakan oleh Paulus �kita memiliki harta dalam bejana tanah liat�. Untuk menjaga apa yang dipercayakan kepada kita tetap aman sampai kedatangan Tuhan, kita harus selalu berjaga dan menanggung segala kesulitan dengan penghiburan yang kita terima dari atas.

Friday, October 9, 2009

Ritus dan Gereja-gereja Otonom (sui-iuris)

Ritus
Suatu ritus menyatakan suatu tradisi gerejani mengenai bagaimana sakramen-sakramen dirayakan. Setiap sakramen memiliki suatu unsur mendasar yang harus dipenuhi agar sakramen dapat dilayankan atau direalisasikan. Materi, bentuk, dan kehendak yang mendasar ini berasal dari hakekat setiap sakramen sebagaimana diwahyukan kepada kita, dan karenanya tidak dapat diubah oleh Gereja. Kitab Suci dan Tradisi, sebagaimana dijelaskan oleh Magisterium, mengatakan kepada kita apa yang mendasar dalam setiap sakramen. Ketika para Rasul membawa Injil kepada pusat-pusat kebudayaan yang besar praktek iman yang mendasar diinkulturasikan kepada mereka, hal yang esensial ditampakkan dengan simbol dan hal-hal lain yang memuat arti spiritual yang sesuai dengan budaa tersebut. Hal ini juga berkenaan dengan sakramen-sakramen. Ada tiga kelompok utama ritus berdasarkan penyebaran iman yang pertama, yaitu: Roma, Antiokhia (Syria), dan Alexandria (Mesir). Kemudian Byzantine muncul sebagai kelompok ritus utama yang sebenarnya berasal dari Antiokhia, terutama dibawah pengaruh St. Basilius dan St. Yohanes Krisostomus. Dari empat kelompok utama ini mengalirlah lebih dari 20 ritus liturgi yang ada dalam Gereja zaman sekarang ini.

Gereja-gereja Lokal
Suatu Gereja adalah persekutuan umat beriman yang ditata secara hierarkis, baik di seluruh dunia (Gereja Katolik) atau di wilayah tertentu (Gereja lokal). Agar Gereja tanda menjadi tanda (sakramen) Tubuh Mistik Kristus di dunia ini Gereja harus memiliki kepala dan anggota. Tanda sakramental dari Kristus sang Kepala Tubuh Mistik adalah hierarki, yaitu: uskup, imam, dan diakon. Secara khusus, adalah uskup, bersama dengan para imam dan diakon yang menyertainya dan membantu dia dalam tugasnya mengajar, menguduskan dan memerintah. Tanda sakramental dari Tubuh Mistik adalah umat awam, kawanan domba Kristus. Jadi Gereja Kristus sungguh hadir secara sakramental (melalui suatu tanda) dimana ada gembala utama (uskup dan para pembantunya) dan orang-orang Kristen yang dipercayakan kepada kegembalaannya. Keuskupan Birmingham, contohnya, adalah suatu Gereja lokal.
Gereja Kristus juga hadir sepenuhnya secara sakramental dalam Gereja-gereja ritual yang mewakili suatu tradisi gerejani dalam merayakan sakramen-sakramen dan yang ditata dibawah seorang Patriarkh, yang bersama dnegan para uskup dan klerus lainnya dalam Gereja ritual tersebut menampilkan Kristus sang kepala dari umat dalam tradisi tersebut. Dalam sejumlah kasus suatu ritus secara erat berkaitan dengan satu Gereja. Misalnya Gereja Maronite, yang dipimpin oleh seorang Patriarkh memiliki suatu ritus yang tidak dapat ditemukan dalam Gereja-gereja lain. Dalam kasus lainnya, seperti ritus Byzantine, digunakan oleh beberapa Gereja yang memiliki ritus yang sama atau serupa. Misalnya Gereja Katolik Ukraina menggunakan ritus Byzantine, begitu juga Gereja Katolik Melkite Yunani, juga menggunakan ritus Byzantine, tetapi ritus ini juga ditemukan di luar Gereja Katolik, misalnya dalam Gereja-gereja Ortodoks Timur yang tidak bersekutu dengan Roma.
Akhirnya Gereja Kristus hadir secara sakramental dalam Gereja Katolik yang tersebar di seluruh dunia dan bersatu dengan Gembala Tertinggi Gereja Kristus, yaitu uskup Roma. Untuk menjadi Katolik, Gereja lokal dan Gereja ritual harus berada dalam persekutuan dengan Pengganti St. Petrus, sebagaimana para Rasul berada dalam persekutuan dengan Petrus dalam mendirikan Gereja-gereja di wilayah-wilayah yang mereka injili.

Berbagai Ritus dan Gereja-gereja Dalam Gereja Katolik

Ritus-ritus dan Gereja-gereja Barat
Secara langsung berada dibawah Imam Agung (Pontifex Maximus) sebagai Patriarkh Barat

Gereja Roma (juga disebut Latin)

Gereja Roma adalah Tahta Utama di dunia dan Tahta Patriarkal dari Kekristenan Barat. Didirikan oleh St. Petrus tahun 42 AD dan dikuduskan dengan darah St. Petrus dan St. Paulus dalam masa penganiayaan oleh Nero (63-67 AD). Sejak saat itu Gereja ini terus-menerus memelihara eksistensinya sebagai sumber keluarga ritus di barat. Sejumlah penelitian para ahli (seperti Rm. Louis Boyer dalam Eucharist) menyatakan bahwa ada kedekatan luar biasa antara ritus romawi yang mula-mula dengan ibadat Yahudi di Sinagoga, yang juga menyertai kurban di Bait Allah. Sementara asal mula dari ritus yang sekarang, bahkan dalam pembaruan Vatikan II, dapat dilacak hanya sampai abad ke 4, hubungan ini menunjukkan bahwa tradisi apostolic kuno yang dibawa ke kota Roma pada dasarnya bersifat Yahudi.
Setelah Konsili Trente dirasakan perlu untuk mengkonsolidasikan ajaran dan praktek dalam kaitan dengan Reformasi Protestan. Maka, Paus St. Pius V membakukan ritus roma kepada Gereja Latin (yang merupakan bawahannya dalam kapasitasnya sebagai Patriarkh Barat) dan hanya mengizikan ritus-ritus barat yang lebih kecil dan berusia ratusan tahun dapat dipertahankan. Banyak ritus yang lebih muda dari sejumlah keuskupan atau wilayah berhenti eksis.

� Roma - Mayoritas mutlak Katolik Latin dan Gereja Katolik secara keseluruhan. Patriarkh dari ritus ini dan ritus-ritus latin lainnya adalah uskup roma.
� Mozarabic - Ritus dari semenanjung Iberia (Spanyol dan Portugal) yang dikenal sejak abad ke 6, tetapi mungkin juga berakar dari penginjilan mula-mula. Sejak awal abad 11 mulai digantikan oleh ritus roma, walaupun tetap dipertahankan sebagai ritus katedral Keuskupan Agung Toledo,dan 6 paroki yang meminta izin untuk menggunakannya. Pada saat ini perayaannya secara umum bersifat semi-privat.
� Ambrosian - Ritus dari Keuskupan Agung Milan, diperkirakan bahwa asal-mulanya dan mungkin dikonsolidasikan oleh St. Ambrosius walapun jelas tidak dikarang olehnya. Paus Paulus VI berasal dari ritus latin Ambrosian ini. Ritus ini tetap digunakan di Milan, meskipun tidak oleh semua Paroki.
� Bragan - Ritus Keuskupan Agung Braga, Tahta Utama di Portugal, berasal dari abad 12 atau lebih awal. Ritus ini tetap digunakan hanya sekali-sekali pada kesempatan tertentu.
� Dominican -. Ritus dari Ordo Saudara Pengkhotbah (OP) yang didirikan oleh St. Dominikus tahun 1215.
� Carmelite - Ritus dari Ordo Karmel, yang pendirian modernnya dilakukan oleh St. Berthold sekitar tahun 1154.
� Carthusian - Ritus dari Ordo Carthusian yang didirikan oleh St. Bruno di tahun 1084.

Ritus dan Gereja-gereja Timur
Mereka memiliki hierarkinya dan sistem pemerintahan (sinode) yang berbeda dari ritus latin dan memiliki hukum kanonnya sendiri yaitu Hukum Kanon untuk Gereja-gereja Timur (CCEO). Paus menjalankan otoritasnya atas mereka melalui Konggregasi untuk Gereja-gereja Timur.

Antiokhia

Gereja di Antiokhia di Syria (di pantai Mediterania) dianggap sebagai tahta apostolic karena pada awalnya didirikan oleh St. Petrus. Antiokhia adalah satu dari pusat kuno Gereja, sebagaimana dinyatakan juga oleh Perjanjian Baru, dan merupakan sumber dari keluarga berbagai ritus serupa yang menggunakan bahasa Syriac kuno (dialek Semitik yang digunakan Yesus dan pada zaman-Nya dikenal sebagai bahasa Aram). Liturginya berasal dari St. Yakobus dan Gereja Yerusalem.

1. Syria Barat
� Maronite - Tak pernah berpisah dari Roma. Pemimpinnya adalah Patriarkh Antiokhia untuk Gereja Maronite. Bahasa liturgisnya adalah Aram, walaupun dalam perayaan umumnya digunakan bahasa lokal kecuali pada bagian tertentu yang harus menggunakan bahasa Aram. Ada sekitar 3 juta orang Maronite di Libanon (daerah asal), Cyprus, Mesir, Syria, Israel, Kanada, US, Mexico, Brazil, Argentina dan Australia.
� Syriac - Katolik Syriac kembali ke pangkuan Roma tahun 1781 dari bidaah monofisit. Pemimpinnya adalah Patriarkh Antiokhia untuk Gereja Syriac. Ada sekitar 110 ribu Katolik Syriac yang terdapat di Syria, Libanon, Iraq, Mesir, Kanada dan US.
� Malankara - Orang Katolik dari India selatan yang diinjili oleh St. Thomas, dan menggunakan liturgi syria barat. Disatukan kembali dengan Roma tahun 1930. Bahasa liturginya adalah Syriac Barat dan Malayalam dan bahasa lokal. Ada sekitar 350 ribu Katolik Malankara yang terdapat di India dan Amerika Utara.

2. Syria Timur
� Chaldean - Orang Katolik Babylonia yang kembali ke Roma tahun 1692 dari bidaah Nestorian. Pemimpinnya adalah Patriarkh Babylonia dari Chaldea. Bahasa liturgi adalah Syriac dan Arab. Ada sekitar 310 ribu orang Katolik Kaldea yang tersebar di Iraq, Iran, Syria, Libanon, Mesir, Turki dan US.
� Syro-Malabar - Orang Katolik dari India selatan yang menggunakan liturgi Syria Timur. Kembali ke Roma di abad 16 dari bidaah Nestorian. Bahasa liturgisnya adalah Syriac dan Malayalam. Ada lebih dari 3 juta Katolik Syro-Malabar di negara bagian Kerela, Malayalam di India selatan.

Byzantine

Gereja Konstaninopel menjadi pusat politik dan keagamaan dari Kekaisaran Romawi Timur setelah Kaisar Konstantine membangun ibukota baru di atas kota kuno Byzantium (324-330). Konstantinopel mengembangkan ritus liturginya sendiri berakar dari Liturgi St. Yakobus, dalam satu bentuk yang telah dimodifikasi oleh St. Basilius, dan dalam bentuk yang lebih umum dipakai, dimodifikasi oleh St. Yohanes Krisostomus. Setelah 1054 kecuali untuk sejumlah masa persatuan kembali yang singkat, kebanyakan orang Kristen Byzantine tidak bersekutu dengan Roma. Mereka membentuk Gereja-gereja Ortodoks Timur, yang kepala titulernya adalah Patriarkh Konstantinopel. Gereja-gereja Ortodoks sebagian besarnya bersifat auto-cephalous, artinya mengepalai diri sendiri, dan dipersatukan satu sama lain oleh persekutuan dengan Konstantinople, yang tidak menjalankan otoritas apapun secara nyata atas mereka. Pada umumnya Gereja-gereja Ortodoks terbagi menurut garis batas nasional. Mereka yang kembali kepada persekutuan dengan Roma dinampakkan dalam Gereja-gereja dan ritus-ritus Gereja Katolik.
1. Armenian
Gereja Armenia menganggap ritusnya sendiri sebagai ritus Byzantine yang lebih kuno. Bentuk kuno yang tidak lagi digunakan oleh kelompok Byzantine lainnya. Mereka adalah orang-orang Katolik pertama yang bertobat sebagai suatu bangsa, yaitu bangsa Armenia (penduduk asli Turki), dan yang kembali ke pangkuan Roma saat perang salib. Pemimpinnya adalah Partiarkh Cilicia untuk Gereja Armenia. Bahasa liturgisnya adalah Armenia klasik. Ada sekitar 350 ribu orang Katolik Armenia yang tersebar di Armenia, Syria, Iran,Iraq, Libanon, Turki, Mesir, Yunani, Ukraina, Perancis, Rumania, US dan Argentina. Kebanyakan orang Armenia adalah Ortodoks dan tidak bersekutu dengan Roma.
2. Byzantine
� Albanian - Orang Kristen Albania yang sejak 1628 bersekutu dengan Roma kini hanya ada 1400 orang. Bahasa liturgisnya adalah Albania. Kebanyakan orang Kristen Albania adalah Ortodoks.
� Belorussian/Byelorussian -Tidak diketahui jumlah orang Kristen Belarusia yang kembali ke pangkuan Roma pada abad ke 17. Bahasa liturgisnya adalah Slavonik. Mereka dapat ditemukan di Belarusia dan di Eropa, juga di Amerika dan Australia.
� Bulgarian - Orang Kristen Bulgaria kembali ke pangkuan Roma tahun 1861. Bahasa liturgisnya adalah Slavonic kuno. Jumlahnya 20 ribu orang dan dapat ditemukan di Bulgaria. Kebanyakan orang Kristen Bulgaria adalah Ortodoks.
� Czech - Orang-orang Katolik Ceko yang menggunakan ritus Byzantine ditata menjadi sebuah yurisdiksi tahun 1996. Kebanyakan orang Kristen Ceko adalah Katolik ritus Latin.
� Krizevci - Orang-orang Katolik Kroasia yang menggunakan ritus Byzantine memperoleh persekutuan dengan Roma di tahun 1611. Bahasa liturgisnya adalah Slavonic Kuno. Ada 50 ribu orang Katolik Kroasia yang menggunakan ritus Byzantine dapat ditemui di Kroasia dan Amerika. Kebanyakan orang Kristen Kroasia adalah Katolik ritus Latin.
� Greek - Orang Katolik Yunani ritus Byzantine kembali ke pangkuan Roma tahun 1829. Bahasa liturgisnya adalah Yunani. Jumlah mereka hanya sekitar 2500 orang di Yunani, Asia Kecil, dan Eropa. Kebanyakan orang Kristen Yunani adalah Ortodoks, mereka dipimpin oleh Uskup Agung Athena sebagai Primat dan Patriarkh mereka adalah Patriarkh Ortodoks di Konstantinopel.
� Hungarian - Keturunan orang-orang Ruthenia yang kembali ke pangkuan Roma tahun 1646. Bahasa liturgisnya adalah Yunani, Hungaria, dan bahasa lokal. Ada sekitar 300 ribu orang beriman yang terdapat di Hungaria, Eropa dan Amerika.
� Italo-Albanian - Mereka tidak pernah berpisah dari Roma, jumlahnya ada sekitar 60 ribu dan terdapat di Italia, Sicila, dan Amerika. Bahasa liturgisnya adalah Yunani dan Italo-Albanian.
� Melkite - Orang-orang katolik yang berasal dari mereka yang memisahkan diri dari Roma di Syria dan Mesir dan kemudian bersatu kembali dengan Roma saat perang salib. Bagaimanapun, persekutuan yang definitive baru terjadi di abad ke 18. Pemimpinnya adalah Patriarkh Antiokhia untuk Gereja Melkite Yunani dan berkedudukan di Damaskus. Bahasa liturgisnya adalah Yunani, Arab dan berbagai bahasa lokal. Jumlahnya adalah sekitar 1,3 juta orang yang tersebar di Syria, Libanon, Yordania, Israel, Kanada, US, Mexico, Brazil, Venezuela dan Australia.
� Romanian - Orang-orang Rumania yang kembali ke pangkuan Roma tahun 1697. Bahasa liturgisnya adalah Rumania. Ada sekitar 1 juta orang Katolik Rumania yang terdapat di Rumania, Eropa dan Amerika. Kebanyakan orang Kristen Rumania adalah Ortodoks Rumania.
� Russian - Orang-orang Rusia yang kembali ke pangkuan Roma tahun 1905. Bahasa liturgisnya adalah Slavonik kuno. Jumlahnya tidak diketahui namun mereka tersebar di Rusia, Cina, serta Amerika dan Australia. Sebagian besar orang Kristen Rusia adalah Ortodoks Rusia dan Patriarkh mereka adalah Patriarkh Ortodoks di Moskow.
� Ruthenian - Orang Katolik yang terpisah dari Roma di Rusia, Hungaria dan Kroasia yang kemudian bersatu kembali dengan Roma di tahun 1596 (Brest-Litovsk) dan 1646 (Uzhorod).
� Slovak - Katolik ritus Byzantine dari Slovakia berjumlah sekitar 225 ribu dan tersebar di Slovakia dan Kanada.
� Ukrainian - Orang Katolik yang terpisah dari Roma melalui Skisma Yunani dan bersatu kembali tahun 1595. Pemimpinnya adalah Uskup Agung Utama Lviv (sekarang pindah ke Kiev dan disebut sebagai Uskup Agung Utama Kiev). Bahasa liturgisnya adalah Slavonik kuno dan Ukraina. Jumlahnya sekitar 5,5 juta dan tersebar di Ukraina, Polandia, Inggris, Jerman, Perancis, Kanada, US, Brazil, Argentina dan Australia. Pada zaman Soviet orang-orang Katolik Ukraina dipaksa bergabung dengan Gereja Ortodoks Ukraina. Namun, hierarki mereka tetap ada di luar Ukraina, dan kemudian didirikan kembali di Ukraina setelah kejatuhan Soviet.

Alexandria
Gereja Alexandria di Mesir merupakan satu dari pusat Kekristenan kuno, karena seperti halnya Roma dan Antiokhia yang memiliki banyak penduduk Yahudi maka kota itu juga menjadi sasaran awal dari penginjilan apostolic. Liturginya berasal dari St. Markus pengarang Injil, dan kemudian menunjukkan adanya pengaruh dari liturgi Byzantine, sebagai tambahan dari unsur-unsurnya yang khas.
� Coptic - Orang-orang Katolik Mesir yang kembali bersekutu dengan Roma tahun 1741. Patriarkh Alexandria menjadi pemimpin dari sekitar 200 ribu umat beriman Gereja ritual ini yang tersebar di seluruh Mesir dan Timur Dekat. Bahasa liturgisnya adalah Koptik (bahasa asli Mesir) dan Arab serta bahasa lokal lainnya. Kebanyakan orang Koptik adalah Ortodoks Koptik yang dipimpin oleh Patriarkh Koptik Alexandria yang umum dipanggil �Baba� (Paus).
� Ethiopian/Abyssinian - Orang Katolik Koptik Etiopia yang kembali ke pangkuan Roma tahun 1846. Bahasa liturgisnya adalah Geez. Jumlahnya sekitar 200 ribu orang yang tersebar di Ethiopia, Eritrea, Somalia dan Yerusalem.

Artikel ini ditulis oleh Colin B. Donovan, STL untuk website ewtn.com