Tuesday, October 13, 2009
Bagaimana Membaca Kitab Suci
Dalam artikel ini Uskup Agung Kalistos Ware dari Gereja Ortodoks menguraikan bagaimana hendaknya kita membaca Kitab Suci. Uraiannya juga berlaku bagi orang Katolik dan mencerminkan prinsip-prinsip yang juga dianut oleh Gereja Katolik.
Teks bahasa inggris dapat dibaca di:
Bishop Kallistos Ware: How To Read The Bible
Kita percaya bahwa Kitab Suci adalah seluruhnya selaras. Dalam Kitab Suci pada yang sama diwahyukan secara ilahi dan diungkapkan secara manusiawi. Kitab Suci membawa kesaksian otoritatif akan pewahyuan diri Allah- dalam penciptaan, dalam Penjelmaan Sabda menjadi daging, dan dalam seluruh sejarah keselamatan. Dan dengan demikian Kitab Suci mengungkapkan Sabda Allah dalam bahasa manusia. Kita mengetahui, meenrima dan menafsirkan Kitab Suci melalui Gereja dan dalam Gereja. Pendekatan kita terhadap Kitab Suci pertama-tama adalah ketaatan.
Kita dapat membedakan empat kunci yang menandai pembacaan Ortodoks akan Kitab Suci yaitu:
-Pembacaan kita harus ditandai dengan ketaatan
-Pembacaan kita harus bersifat Gerejani, yaitu bersama dan dalam Gereja
-Pembacaan kita harus berpusat pada Kristus, dan;
-Pembacaan kita harus bersifat pribadi
Membaca Kitab Suci Dengan Ketaatan
Pertama-tama, saat membaca Kitab Suci, hendaknya kita mendengarnya dengan semangat ketaatan. Gereja Ortodoks percaya akan inspirasi ilahi Kitab Suci. Kitab Suci adalah �surat� dari Allah, dimana Kristus sendiri berbicara. Kitab-kitab Suci adalah kesaksian berwibawa dari Allah tentang diri-Nya sendiri. Kitab-Kitab Suci mengungkapkan Firman Allah dalam bahasa manusia. Karena Allah sendiri berbicara kepada kita dalam Kitab Suci, maka tanggapan kita yang sepatutnya adalah kepatuhan, penerimaan, dan mendengarkan. Saat kita membaca, kita menantikan Roh Kudus.
Tetapi, sementara diinspirasikan secara ilahi, Kitab Suci juga diungkapkan secara manusiawi. Kitab Suci adalah sebuah perpustakaan dengan buku-buku berbeda yang ditulis oleh pengarang yang berbeda pada masa yang berbeda. Setiap buku Kitab Suci mereleksikan cara pandang pada masa ia ditulis dan sudut pandang yang khas pengarang. Allah tidak melakukan apapun sendirian, sebaliknya rahmat ilahi bekerja sama dengan kebebasan manusia. Allah tidak menghapuskan individualitas kita tetapi memperkayanya. Dan itulah yang terjadi dalam penulisan Kitab Suci. Pengarang bukan sekedar alat yang pasif, bukan sebuah mesin dikte yang merekam pesan-pesan. Setiap pengarang Kitab Suci menyumbangkan bakat pribadinya yang khas. Bersamaan dengan sisi ilahi, juga ada unsur manusiawi dalam Kitab Suci. Kita menghargai keduanya.
Masing-masing dari empat buku Injil, misalnya, memiliki pendekatannya sendiri-sendiri. Matius menampilkan suatu pendekatan yang lebih khas Yahudi terhadap Kristus, dengan penekanan akan kerajaan surga. markus memuat gambaran yang spesifik dan hidup akan pelayanan Kristus yang tidak muncul di tempat lain. Lukas mengungkapkan universalitas cinta Kristus, belas kasihan-Nya yang menjangkau semua baik kepada orang Yahudi ataupun kepada bangsa-bangsa lain. Dalam Injil Yohanes kita menemukan suatu pendekatan yang batin dan mistik terhadap Kristus, dengan penekanan akan cahaya ilahi dan diamnya keilahian dalam diri Kristus. Kita menikmati dan mendalami sampai kepada kepenuhan variasi yang memberi hidup ini di dalam Kitab Suci.
Melalui cara ini Kitab Suci adalah ungkapan Firman Allah dalam bahasa manusia, maka juga tersedia ruang untuk suatu penelitian yang jujur dan sulit saat mendalami Kitab Suci. Mendalami sisi manusiawi dari Kitab Suci, kita menggunakan secara penuh akal budi yang diberikan Allah kepada manusia. Gereja Ortodoks tidak menolak penelitian akademis tentang asal mula, waktu, dan kepengarangan buku-buku Kitab Suci.
Bersamaan dengan unsur manusiawi ini, bagaimanapun kita selalu melihat unsur ilahi. Kitab Suci bukan sekedar buku yang ditulis oleh individu-individu pengarangnya. Dalam Kitab Suci kita tidak hanya mendengar kata-kata manusia, yang ditandai dengan kemampuan dan kepekaan yang lebih atau kurang, tetapi juga kita mendengar Sabda Allah sendiri yang abadi dan tidak diciptakan yaitu Sabda keselamatan ilahi. Ketika kita membaca Kitab Suci, maka kita tidak membaca semata-mata karena rasa ingin tahu untuk memperoleh keselamatan. Kita datang kepada Kitab Suci dengan suatu pertanyan yang sangat pribadi: �Bagaimana saya dapat diselamatkan?�
Sebagai Sabda keselamatan ilahi dalam bahasa manusia, Kitab Suci harus membangkitkan dalam diri kita suatu rasa takjub. Pernahkan kamu merasakan, selama kamu membaca atau mendengarkan, bahwa ini semua telah menjadi terlalu biasa? Apakah pembacaan Kitab Suci menjadi berkembang atau malahan membosankan? Maka kita perlu terus menerus membersihkan gerbang persepsi kita dan melihatnya dalam kekaguman dengan cara pandang baru akan apa yang Tuhan tempatkan di hadapan kita.
Kita hendaknya menghampiri Kitab Suci dengan rasa kagum, dengan penuh harapan akan suatu kejutan. Ada begitu banyak ruang dalam Kitab Suci yang belum kita masuki. Ada begitu banyak kedalaman dan kemuliaan yang dapat kita temukan. Jika ketaatan berarti kekaguman, maka hal itu juga berarti mendengarkan.
Kita umumnya lebih baik dalam berbicara daripada mendengarkan. Kita kerap mendengar suara kita sendiri, tetapi seringkali tidak mau berhenti mendengarkan suara orang lain yang berbicara kepada kita. Jadi persyaratan pertama dalam membaca Kitab Suci adalah berhenti berbicara dan mulai mendengarkan- mendengarkan dengan ketaatan.
Saat kita memasuki sebuah Gereja Ortodoks (hal yang sama berlaku untuk Gereja Katolik Byzantine) yang ditata secara tradisional, dan memandang ke panti imam (sanctuary) yang terletak di ujung timur, kita melihat, di dalam apsis (panti imam), sebuah ikon Perawan Maria mengangkat tangan ke surga- sebuah sikap doa ala Kitab Suci yang masih digunakan banyak orang sanat ini. Ikon ini melambangkan sikap yang harus kita miliki saat kita membaca Kitab Suci- suatu sikap penerimaan, dari tangan yang secara tidak terlihat diarahkan ke surga. Dalam membaca Kitab Suci, kita menata diri kita menurut model Santa Perawan Maria, karena dialah yang paling unggul dalam hal mendengarkan. Saat mendengarkan pewartaan dari malaikat Gabriel ia mendengarkan dengan ketaatan dan menanggapi warta malaikat �Jadilah kepadaku menurut perkataanmu�(Luk1:38). Ia tidak dapat mengandung Sabda Allah dalam tubuhnya, jika ia tidak terlebih dahulu mendengarkan Sabda Allah dalam hatinya. Setelah para gembala menyembah Kristus yang baru lahir, dikatakan tentang dia: �Maria menyimpan segala perkara ini dan merenungkannya dalam hatinya� (Luk2:19). Lagi, saat Maria menemukan Yesus di Bait Allah, kita diberi tahu: �Ibu-Nya menyimpan segala perkara ini dalam hatinya�(Luk2:51). Kebutuhan mendengarkan yang sama ditekankan juga dalam kata-kata terakhir yang dikenakan kepada Bunda Allah dalam Kitab Suci dalam pesta perkawinan di Kana: �Apapun yang dikatakan-Nya kepadamu, buatlah itu�{Yoh2:5), katanya kepada pelayan pesta- dan kepada kita semua.
Dalam semua hal ini Santa Perawan Maria menjadi suatu cermin, suatu gambaran hidup dari orang Kristen Alkitabiah. Kita hendaknya menjadi seperti dia dalam mendengarkan Sabda Allah: merenungkan, menyimpan semua hal ini dalam hati kita, dan melakukan apapun yang dikatakan-Nya kepada kita. Kita mendengarkan dengan ketaatan saat Allah berbicara.
Memahami Kitab Suci Melalui Gereja
Di tempat kedua, kita harus menerima dan menafsirkan Kitab Suci melalui Gereja dan di dalam Gereja.
Gerejalah yang memberi tahu kita apa itu Kitab Suci. Sebuah buku tidak menjadi Kitab Suci karena teori-teori tertentu mengenai kapan ditulisnya atau siapa pengarangnya.Bahkan jika hal itu dapat dibuktikan, misalnya, bahwa Injil keempat sebenarnya tidak ditulis oleh Yohanes sang murid terkasih dari Kristus, hal ini tidak akan mengubah kenyataan bahwa kita orang Ortodoks (dan juga kita orang Katolik) menerima Injil keempat sebagai Kitab Suci. Mengapa? Karena Injil Yohanes diterima oleh Gereja dan di dalam Gereja. Adalah Gereja yang mengatakan kepada kita apa itu Kitab Suci, dan Gereja jugalah yang mengatakan kepada kita bagaimana Kitab Suci harus dipahami. Marilah kita melihat kisah orang Ethiopia yang membaca Perjanjian Lama di kereta kudanya, Rasul Filipus menanyainya �Apakah kamu mengerti apa yang kamu baca?� Dan orang Ethiopia itu menjawab �Bagaimana saya dapat mengerti kecuali ada seseorang yang membimbing saya?�(Kis8:30-31). Kita Semua ada dalam posisi orang Ethiopia itu. Kata-kata Kitab Suci tidak selalu menjelaskan dirinya sendiri. Allah berbicara secara langsung kepada setiap kita saat kita membaca Kitab suci. Pembacaan Kitab Suci adalah dialog pribadi antara setiap kita dengan Kristus- tetapi kita juga membutuhkan bimbingan. Dan pembimbing kita adalah Gereja. Kita menggunakan secar apenuh pemahaman pribadi kita sendiri dengan dibantu oleh Roh Kudus, kita menggunakan secara penuh penemuan-penemuan dari penelitian Kitab Suci yang modern, tetapi kita selalu menundukkan pandangan pribadi kita- entah pendapat kita sendiri atau para ahli- kepada keseluruhan pengalaman Gereja selama berabad-abad.
Pandangan Ortodoks ini diringkaskan dalam pertanyaan yang ditanyakan kepada orang yang masuk agama Ortodoks pada upacara penerimaan yang digunakan oleh Gereja Rusia: �Apakah kamu mengakui bahwa Kitab Suci harus diterima dan ditafsirkan sesuai kepercayaan yang telah diturunkan oleh para Bapa-bapa Suci, dan yang masih dan selalu dipegang oleh Gereja Ortodoks Kudus, Bunda kita?� (pandangan yang sama juga dinyatakan dalam berbagai ajaran Gereja Katolik, yang saya ingat Konsili Trente mengungkapkan hal yang sama)
Kita membaca Kitab Suci secara pribadi, tetapi tidak sebagai individu yang terisolasi. Kita membaca Kitab Suci sebagai anggota suatu keluarga, keluarga Gereja Ortodoks yang Universal. Saat membaca Kitab Suci, kita tidak mengatakan �aku� tetapi �kita�. Kita membaca dalam persekutuan dengan semua anggota Tubuh Kristus di seluruh belahan bumi dan di segala masa dan generasi. Batu uji dan kriteria pemahaman kita akan apa yang dimaksudkan Kitab Suci adalah pikiran Gereja karena Kitab Suci adalah buku Gereja.
Untuk menemukan �pikiran Gereja� darimanakah kita harus memulai? Langkah pertama kita adalah melihat bagaimana Kitab Suci digunakan dalam ibadat. bagaimana, secara khusus, Bacaan Kitab Suci dipilih untuk dibacakan pada berbagai pesta? Kita juga harus berkonsultasi dengan tulisan-tulisan para Bapa-bapa Gereja, dan melihat bagaimana mereka menafsirkan Kitab Suci. Cara Ortodoks dalam membaca Kitab Suci bersifat liturgis dan patristik. Kita semua menyadari, bahwa dalam kenyataannya, sulit untuk melakukan hal ini dalam kenyataan karena kita memiliki hanya sedikit tafsiran Ortodoks tentang Kitab Suci yang tersedia dalam bahasa Inggris, dan kebanyakan tafsiran Barat tidak menggunakan pendekatan liturgis dan patristik ini. (Pendekatan yang sama juga ideal bagi kita orang Katolik, walaupun pada kenyataannya kerap kali pendekatan ini ditinggalkan pada masa modern. Namun, ada beberapa pengarang yang mencoba kembali menghidupkan metode ini, di antara pengarang-pengarang tersebut yang cukup ringan dan enak dibaca adalah Scott Hahn, sementara dalam khazanah klasik Catena Aurea karya St. Thomas Aquinas tetap yang terdepan)
Sebagai contoh dari cara menafsirkan Kitab Suci dengan cara liturgis, yaitu dibimbing oleh penggunaanya pada pesta-pesta Gereja, marilah kita melihat bacaan-bacaan Perjanjian Lama yang digunakan untuk Ibadat Sore pada pesta Anunsiasi (Maria dikunjungi oleh Malaikat Gabriel). Jumlah bacaan itu ada 3, yaitu: Kejadian 28: 10-17 tentang mimpi Yakub melihat tangga yang menghubungkan surga dan bumi; Yehezkiel 43:27-44:4 mengenai visi sang nabi tentang tempat kudus di Yerusalem, dengan gerbang tertutup yang tidak dapat dilalui siapapun kecuali oleh Tuhan sendiri; Amsal 9:1-11 salah satu tulisan Kebijaksanaan paling agung dalam Perjanjian Lama yang dimulai dengan kata-kata �Hikmat telah mendirikan rumahnya�.
Teks-teks Perjanjian Lama ini, kemudian, sebagaimana mereka dipilih untuk Pesta Perawan Maria, menunjukkan bahwa teks-teks ini harus dimengerti sebagai nubuat mengenai Penjelmaan Tuhan melalui Sang Perawan. Maria adalah tangga Yakub, yang menyediakan daging yang digunakan dalam Penjelmaan Tuhan untuk memasuki dunia manusia kita. Maria adalah gerbang tertutup dan merupakan satu-satunya wanita yang melahirkan anak sementara ia tetap perawan. Maria menyediakan rumah yang didalamnya Kristus sang Hikmat Allah (1Kor 1:24) mengambilnya sebagai tempat kediaman. Mendalami Kitab Suci dengan mengacu kepada pemilihan bacaan untuk berbagai pesta, kita menemukan suatu bentangan penafsiran Alkitab yang sulit menjadi jelas bagi kita dalam pembacaan pertama.
Mari mengambil contoh lain dari Ibadat Sore pada hari Sabtu Suci, bagian pertama dari Vigili (tuguran) Paskah kuno. Di sini kita memiliki tidak kurang dari 15 bacaan Perjanjian Lama. Rangkaian bacaan disampaikan kepada kita dalam keseluruhan skema sejarah suci, sementara pada saat yang sama menggarisbawahi makna yang lebih mendalam dari Kebangkitan Kristus. Bacaan pertama diambil dari Kejadian 1:1-13, kisah penciptaan, maka Kebangkitan Kristus adalah pencipaan baru. Bacaan keempat adlaah seluruh kitab Yunus, dengan tinggalnya sang nabi di dalam perut ikan paus selama tiga hari sebagai pratanda dari kebangkitan Kristus setelah tiga hari dalam kubur (cf. Mat12:40). Bacaan keenam mengisahkan penyeberangan laut merah oleh orang-orang Israel (Kel13:20-15:29) yang mengantisipasi peralihan baru dari Paskah saat Kristus beralih dari kematian kepada hidup (cf. 1Kor 5:7-10:1-4). Bacaan terakhir adalah kisah tiga pemuda dalam api yang membara (Daniel 3) sekali lagi suatu �type� atau nubuat dari kebangkitan Kristus dari kubur.
Itulah dampak dari membaca Kitab Suci secara gerejani, di dalam Gereja dan bersama Gereja. Mempelajari Kitab Suci dengan cara liturgis ini dan menggunakan para Bapa Gereja untuk membantu kita, dimana-mana kita akan membuka tanda-tanda yang mengarah kepada misteri Kristus dan Bunda-Nya. Membaca Perjanjian Lama dalam terang yang Baru, dan yang baru dalam terang yang Lama- sebagaimana disarankan oleh kalender Gereja- kita menemukan kesatuan Kitab Suci. Salah satu cara terbaik mengenali kesinambungan antara Perjanjian Lama dan Baru adalah menggunakan konkordansi Kitab Suci yang baik. Kadang-kadang ini bisa mengatakan kepada kita arti Kitab Suci lebih dari yang dilakukan tafsiran manapun.
Pada kelompok-kelompok pendalaman Alkitab di paroki-paroki kita, akan berguna untuk memberikan suatu tugas khusus untuk mencermati bacaan-bacaan tertentu dari Perjanjian Lama atau Perjanjian Baru yang digunakan untuk suatu pesta atau hari peringatan orang-orang kudus. Sementara itu seorang lain dalam kelompok bisa diserahi tugas untuk melakukan hal yang sama berkaitan dengan Bapa-bapa Gerea misalnya menggunakan homili-homili Santo Yohanes Krisostomus (yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris). Orang-orang Kristen sungguh perlu memiliki pemikiran yang patristik.
Kristus, Jantung Kitab Suci
Unsur ketiga dalam pembacaan Kitab Suci adalah harus berpusat pada Kristus. Kitab Suci membentuk suatu harmoni yang utuh karena kitab-kitab itu semuanya berpusat pada Kristus. Keselamatan melalui Mesias adalah topik utama yang menyatukan. Itu adalah topik yang berjalan di keseluruhan Kitab Suci, dari kalimat pertama sampai kalimat terakhir. Kami sudah menyebutkan cara dimana Kristus dapat dilihat dipratandakan dalam halaman-halaman Perjanjian Lama.
Kebanyakan studi Kitab Suci yang kritis dan modern di barat telah mengambil suatu pendekatan analitis yang memecahkan setiap buku menurut sumber-sumbernya yang berbeda. Jaringan yang menghubungkan diputuskan, dan Alkitab direduksi menjadi sekedar rangkaian unit-unit. Tentu ada nilai-nilai positif tertentu dalam metode ini. Tetapi kita perlu melihat kesatuan Kitab Suci sebagaimana melihat keragamannya, suatu akhir yang menyatukan semua sebagaimana awal mula yang tersebar. Ortodoksi lebih memilih untuk memandang keseluruhan Kitab Suci sebagai sebuah sintesis daripada pendekatan analitis ini, lebih memilih untuk melihat Kitab Suci sebagai suatu kesatuan yang menyeluruh dengan Kristus dimana-mana sebagai ikatan kesatuan. (Katolisisme juga melakukan hal yang sama walaupun di kalangan para ekseget kita mungkin penilaian terhadap metode historis kristis masih lebih positif dibandingkan penilaian Uskup Kalistos. Bagaimanapun saya kira pandangan Kalistos sangat serupa dengan seorang ahli Katolik yang berpengaruh yaitu Joseph Ratzinger yang misalnya dalam bukunya Yesus dari Nazareth menafsirkan Kitab Suci menggunakan Bapa-bapa Gereja dan memadukannya juga dengan pendekatan historis kristis sembari sesekali mengkritisi metode ini)
Kita menemukan titik sambung antara Perjanjian Lama dan Baru dalam diri Yesus Kristus. Ortodoksi mengenakan signifikansi khusus kepada metode penafsiran �tipologis�, dimana �type� Kristus, tanda dan lambang akan karya-Nya, dikenali di sepanjang Perjanjian Lama. Contoh yang menonjol akan ini adalah Melkisedek, raja dan imam dari Salem, yang mempersembahkan roti dan anggur kepada Abraham (Kej14:18), dan yang dipandang sebagai type Kristus bukan hanya oleh para Bapa Gereja tetapi juga oleh Perjanjian Baru sendiri (Ibrani5;6, 7:1). Contoh lain sebagaimana telah kita lihat adalah Paskah Lama melambangkan Paskah Baru; pembebasan Israel dari Firaun di laut merah menandakan pembebasan kita dari dosa melalui wafat dan Kebangkitan Sang Juruselamat. Ini adalah metode penafsiran yang kita kenakan kepada seluruh Kitab Suci. Mengapa, misalnya, dalam separuh masa Prapaskah bacaan Perjanjian Lama dari kitab Kejadian didominasi oleh figure Yusuf? Mengapa dalam Pekan Suci kita membaca dari kitab Ayub? Karena Yusuf dan Ayub adalah orang-orang yang menderita tanpa bersalah, dan mereka adalah type atau pratanda dari Yesus Kristus, yang menderita tanpa salah di Salib dan yang menjadi pusat perayaan Gereja. Ini semua saling berkaitan.
Seorang Kristen Alkitabiah adalah dia yang, ke manapun ia memandang, di setiap halaman Kitab Suci, menemukan Kristus di mana-mana.
Kitab Suci Sebagai Sesuatu Yang Pribadi
Dalam kata-kata seorang penulis asketis dalam Kekristenan Timur, Santo Markus sang Rahib: �Dia yang rendah hai dan bertekun dalam karya rohani, saat ia membaca Kitab Suci, ia menerapkan segala sesuatu kepada dirinya dan bukan kepada sesamanya.� Sebagai orang Kristen Ortodoks kita juga melihat dalam Kitab Suci sesuatu untuk diterapkan secara pribadi. Kita tidak hanya bertanya �Apa artinya?� tetapi juga �Apa artinya untukku?� Kitab Suci adalah dialog pribadi antara sang Juruselamat dan diriku- Kristus berbicara kepadaku, dan aku menjawab. Inilah kriteria keempat dalam pembacaan Kitab Suci kita.
Saya hendak melihat seluruh kisah Kitab Suci sebagai bagian dari kisah pribadiku sendiri. Siapakah Adam? Nama Adam berarti �manusia�, maka kisah kitab Kejadian mengenai kejatuhan Ada, juga adalah kisah kejatuhan saya. Akulah Adam. Ketika Allah berkata kepada Adam, �Di mana engkau?�(Kej3:9). Kita sering bertanya �Dimana Allah?� Tetapi pertanyaa sebenarnya adalah yang ditanyakan Allah kepada Adam dalam setiap kita: �Dimana engkau?�
Dalam kisah Kain dan Habel, kita membaca kata-kata Allah kepada Kain, �Dimana Habel saudaramu?� (Kej4:9), kata-kata ini juga dialamatkan kepada setiap kita. Siapa Kain? Ia adalah diriku sendiri. Dan Allah bertanya kepada Kain dalam diri setiap kita, �Dimana saudaramu?� Jalan kepada Allah terletak pada cinta kasih kepada sesama, dan tidak ada jalan lain. Jika aku menindas saudaraku, maka aku menggantikan gambar Allah dengan gambar Kain, dan menyangkal sisi kemanusiaanku sendiri yang mendasar.
Dalam membaca Kitab Suci, kita dapat mengambil tiga langkah ini. Pertama, apa yang kita miliki dalam Kitab Suci adalah sejarah suci: sejarah dunia sejak saat Penciptaan, sejarah umat terpilih, sejarah Allah yang menjadi daging di Palestina, dan �perbuatan ajaib� setelah Pentakosta. Kekristenan yang kita temukan dalam Alkitab bukanlah ideologi, bukan teori filsafat, tetapi iman yang menyejarah.
Kemudian kita masuk ke langkah kedua. Sejarah yang disampaikan di Kitab Suci adalah sejarah pribadi. Kita melihat Allah campur tangan pada waktu dan tempat yang khusus, dimana Ia berdialog dengan orang-orang secara pribadi. Ia menyapa setiap orang dengan namanya masing-masing. Kita melihat dalam Kitab Suci suatu panggilan yang secara khusus disampaikan Allah kepada Abraham, Musa dan Daud, Ribka dan Ruth, Yesaya dan para nabi, dan kemudian kepada Maria dan para Rasul. Kita melihat selektifitas dari tindakan ilahi dalam sejarah, bukan sebagai skandal tetapi sebagai berkat. Cinta Allah universal ruang lingkupnya, tetapi Ia memilih menjadi daging di sudut tertentu bumi, di suatu waktu tertentu dan dari seorang Ibu tertentu. Dengan cara ini kita menikmati keunikan tindakan Allah sebagaimana tercatat dalam Kitab Suci. Orang yang mencintai Alkitab mencintai detail sejarah dan geografi Kitab Suci. Itulah sebabnya Ortodoksi memiliki devosi yang kental kepada Tanah Suci, tempat di mana Kristus hidup dan mengajar, mati dan hidup kembali. Sebuah cara gemilang untuk memperdalam pembacaan Kitab Suci kita adalah melakukan peziarahan ke Yerusalem dan Galilea. Berjalan di mana Kristus berjalan. Turun ke Laut Mati, duduk sendirian di batu karang, merasakan apa yang dirasakan Kristus selama 40 hari dicobai di padang gurun. Minum dari sumur dimana Ia berbicara kepada wanita Samaria. Pergi dimalam hari ke taman Getsemani, duduk di kegelapan dibawah pohon zitun kuno dan kemudian memandang lembah melihat cahaya kota. Mengalami secara penuh kenyataan latar belakang sejarah ini, dan mengembalikan pengalaman itu kepada pembacaan Kitab Suci pribadi harianmu.
Kemudian kita mengambil langkha ketiga. Menghidupkan kembali sejarah Kitab Suci dengan segala kekhususannya dengan menerapkannya secara langsung kepada diri kita sendiri. Kita hendaknya berkata kepada diri kita, �Semua tempat dan peristiwa ini bukan saja berlangsung jauh di sana dan pada waktu lampau, tetapi juga bagian dari hubungan pribadiku dengan Kristus. Aku adalah bagian dari cerita ini.�
Pengkhianatan, misalnya, adalah bagian dari kisah hidup semua orang. Apakah kita tidak pernah dikhianati seseorang pada masa hidup kita, dan apakah kita tidak mengalami sama sekali apa artinya berkhianat, dan tidakkah kenangan ini meninggalkan luka dalam jiwa kita? Kemudian bacalah kisah pengkhianatan Santo Petrus kepada Kristus dan pemulihannya sesudah Kebangkitan, kita bisa melihat diri kita sebagai pemeran dalam kisah ini. Bayangkanlah apa yang dialami Yesus dan Petrus segera sesudah pengkhianatan, masuklah ke perasaan mereka dan jadikanlah itu perasaanmu. Sayalah Petrus; atau dalam situasi ini bisakah saya adalah Kristus? Renungkanlah juga proses perdamaiannya- bertanyalah kepada diri sendiri: Bagaimana Kristus- seperti aku melakukan sesuatu terhadap orang yang mengkhianati aku? Dan, setelah tindakan pengkhianatanku sendiri, beranikah aku menerima permintaan maaf dari orang yang telah mengkhianati aku- apakah aku mau memaafkan diriku sendiri? Atau apakah aku enggan memaafkan, selalu membuang muka, tidak pernah siap memberikan diriku secara sepenuhnya untuk apapun entah itu baik atau jahat? Seperti yang dikatakan oleh para Bapa Padang Gurun �Jauh lebih baik orang yang telah berdosa, jika dia tahu dirinya berdosa dan berobat, daripada orang yang tidak berbuat dosa dan berpikir bahwa dirinya adalah orang benar.�
Sudahkah aku memiliki keberanian Santa Maria Magdalena, ketekunan dan kesetiaannya, ketika ia pergi hendak meminyaki tubuh Kristus di makam (Yoh20:1)? Apakah aku mendengar Juruselamat yang Bangkit memanggil namaku, sebagaimana Ia memanggil dia, dan apakah aku menjawab Dia Rabbuni (Guru) bersamanya dengan segala kesederhanaan dan ketulusannya (Yoh20:16)?
Membaca Kitab Suci dengan cara ini- dalam ketaatan, sebagai anggota Gereja, menemukan Kristus, dimana-mana, melihat semua hal dalam Kitab Suci sebagai bagian dari kisah pribadiku sendiri- kita akan merasakan sesuatu pada keragaman dan kedalaman yang dapat kita temukan dalam Alkitab. Namun kita juga akan selalu merasa bahwa pendalaman Kitab Suci kita selalu berada pada tahap awal. Kita bagaikan seorang dengan perahu kecil di tengah lautan tak terbatas.
�Firman-Mu adalah pelita bagi kakiku, dan terang bagi jalanku� (Mazmur 119:105).
Thursday, September 11, 2008
Paulus: Rasul Sukacita Kristus
Jika seseorang ditanya apa yang membuat dia bersukacita maka kita akan mendapat jawaban berupa hal-hal yang menyenangkan seperti: lulus ujian, mendapat perkerjaan atau naik gaji, mendapat pasangan hidup dan semacamnya, dan ini sangat wajar dan manusiawi, hal-hal semacam itu memang membuat hati kita menjadi penuh sukacita. Tetapi, hidup kita tidak selalu diisi oleh hal-hal yang menyenangkan, seringkali kita harus menanggung banyak kesusahan. Kesusahan seperti itu kadang membuat kita sedih dan kehilangan sukacita kita, hal-hal seperti; orang yang disayangi meninggal, kebakaran rumah, tidak lulus ujian, atau kehilangan pekerjaan jelas membuat kita sedih, dan kesedihan ini wajar dan manusiawi.
Paulus mengatakan kepada umat di Filipi untuk bersukacita, ia mengatakan: �Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah� (Filipi 4:4). Disini kita diminta untuk selalu bersukacita, selalu berarti tanpa henti, dalam segala keadaan kita harus terus bersukacita. Apakah ini mungkin? Apakah bersukacita di tengah segala kesusahan hidup yang kita alami itu mungkin? Kalau ditanya �mungkin� atau �tidak mungkin� jawabannya yah jelas mungkin saja, toh dalam hidup sehari-hari kita juga bisa melihat bagaimana orang bisa tetap bersukacita walaupun ia harus menanggung kesusahan dalam hidupnya. Contoh yang paling sederhana adalah melihat bagaimana misalnya para orang tua harus bekerja keras demi mencukupi kebutuhan hidup anak-anaknya, seringkali para orangtua harus bekerja sangat keras namun mereka melakukannya dengan penuh sukacita. Mereka mungkin jengkel dengan bos di kantor atau pelanggan di toko, dan beratnya pekerjaan mungkin membuat mereka stress juga, tapi mengingat bahwa semua ini dilakukan untuk anak menimbulkan suatu sukacita tersendiri. Saya kira hal ini benar pada kebanyakan orang tua kita, dan Anda yang menjadi orang tua saya rasa juga mengalami sendiri hal ini. Jadi pada prinsipnya apa yang diperintahkan Kitab Suci bukanlah sesuatu yang tidak mungkin. Kita mungkin belum mampu melakukannya tapi kita dapat mengetahui dengan pasti bahwa dibantu dengan rahmat Allah kita bisa mencapai hal itu.
Allah memerintahkan kita untuk selalu bersukacita melalui Paulus, seorang Rasul besar yang memiliki peranan istimewa mengembangkan Gereja pada masa-masa awal berdirinya. Paulus bernama asli Saulus adalah seorang Yahudi yang lahir di Tarsus (Kis 22:3) sebuah daerah yang sekarang ini berada di Republik Turki, yang memiliki kewarganegaraan Romawi sejak lahir (Kis 22:8) dan dari situ kita dapat menyimpulkan ia berasal dari keluarga yang memiliki status sosial cukup tinggi karena dalam kekaisaran Romawi seorang non-Roma yang memperoleh kewarganegaraan Roma adalah sesuatu yang istimewa. Saulus adalah seorang yang terpelajar dalam hal hukum taurat menurut tradisi farisi, ia belajar di bawah bimbingan Gamaliel dan mahir berbahasa Ibrani (Kis 22:2-3). Ketika Saulus bertemu dengan Yesus ia menjadi buta dan perlu dituntun (Kis 9:9; 22:11), dan disini Paulus belajar untuk tidak lagi melihat dengan matanya sendiri dan menuntun dirinya sendiri, sejak saat itu ia bukan lagi dirinya tapi Kristus yang hidup dalam dia dan hidupnya yang sekarang adalah hidup dalam iman akan Putera Allah yang telah mengasihi dia dan menyerahkan diriNya untuk dia (Gal 2:20).
Penyerahan diri kepada Kristus memiliki akibat yang sangat panjang bagi Paulus ia mengalami banyak hal yang tidak menyenangkan; dianggap penipu entah oleh orang Yahudi ataupun sebagian orang Kristen yang menentangnya, ia pernah dipukuli sampai hampir mati, kapalnya pernah tenggelam dan ia kelaparan, ia dipenjara beberapa kali, dan akhirnya dipenggal di Roma setelah permohonan bandingnya ditolak Kaisar. Paulus menyebut dirinya pernah mengalami apa itu kelimpahan dan kekurangan (Filipi 4: 12). Kita bisa memperkirakan bahwa ia mengalami kelimpahan sebelum ia bertemu Yesus dan mulai kekurangan sesudah bertemu Yesus. Sangat sulit membayangkan Saulus yang berasal dari keluarga Yahudi elite dan mampu memperoleh pendidikan yang baik adalah seorang yang berkekurangan, sementara sangat mudah membayangkan Paulus yang ditengah perjalanannya sebagai pewarta Injil masih harus menjalankan bisnis kecil-kecilan sebagai tukang tenda untuk mencari makan (Kis 18:1) adalah orang yang hidupnya serba pas-pas an.
Paulus mengatakan: �Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah! Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang. Tuhan sudah dekat! (Filipi 4: 4-5)�. Bagi Paulus �sukacita�, �kebaikan hati� dan �Tuhan sudah dekat� adalah sesuatu yang saling berkaitan. Istilah �Tuhan sudah dekat� menunjuk kepada kedatangan Tuhan, saat akhir dan final dari penyelamatan manusia, saat dimana Yesus datang mengadili semua orang; yang baik akan hidup kekal dan yang jahat akan dihukum (Yoh 5: 28-29; 2 Kor 5: 10). Ini menjelaskan kepada kita mengapa pesan �Tuhan sudah dekat� memiliki kaitan yang erat dengan �bersukacita� dan �kebaikan hati�. Kalau Tuhan sudah dekat maka kita semua sepantasnya bersukacita karena saat penyelamatan kita yang akhir dan final sudah semakin dekat, kita menyambut datangnya saat itu dengan berbuat baik agar nanti kita menerima pemenuhan janji keselamatan dari Yesus.
Di sini kita melihat kaitan antara sukacita dan harapan. Di awal saya menggunakan contoh orang tua untuk menunjukkan bahwa bersukacita dalam saat susah dan tidak menyenangkan adalah sesuatu yang masih mungkin bagi manusia biasa semacam kita ini. Kalau kita melihat contoh itu lagi kita juga bisa melihat bahwa sukacita itu juga berhubungan dengan harapan orang tua akan masa depan yang indah bagi anaknya. Orang tua yang memiliki harapan akan masa depan yang baik bagi anaknya memiliki kemampuan untuk tetap bersukacita walaupun ia harus menderita demi mencukupi kebutuhan-kebutuhan anaknya. Disini kita melihat sekali lagi bahwa hal ini secara alami juga dapat dibenarkan.
Katekismus Gereja Katolik mengungkapkan hubungan antara harapan akan kedatangan Tuhan dan kegembiraan sebagai berikut: �Kebajikan harapan adalah kebajikan teologal yang dengannya kita menginginkan Kerajaan Surga dan kehidupan abadi sebagai kebahagiaan kita, dengan menaruh kepercayaan pada janji Kristus dan bukan bersandar pada kekuatan kita sendiri, tapi dalam pertolongan rahmat Roh Kudus. Kebajikan harapan menanggapi kerinduan manusia akan kebahagiaan yang telah Allah tempatkan dalam hati setiap orang; ia mengangkat harapan yang menginspirasi semua akifitas manusia dan memurnikannya serta mengarahkannya kepada Kerajaan Surga; kebajikan harapan memelihara manusia dari keputusasaan, menguatkannya pada masa kesusahan; membuka hatinya untuk menginginkan kebahagiaan kekal. Dipenuhi harapan, orang dibebaskan dari keegoisan dan dituntun kepada kebahagiaan yang mengalir dari cinta kasih� (KGK no. 1817 dikutip sebagian dan 1818).
Hubungan antara sukacita, harapan akan kedatangan Tuhan dan perbuatan baik sebagaimana kita lihat dalam tulisan St. Paulus juga diungkapkan oleh St. Teresa dari Avila yang mengatakan kepada jiwanya: � Berharaplah, jiwaku, berharaplah. Kamu tahu tidak tahu kapan hari dan waktunya. Berjagalah dengan cermat, bahkan sekalipun ketidaksabaranmu membuat kamu meragukan apa yang pasti dan mengubah waktu yang sebenarnya sangat singkat menjadi sangat lama. Bayangkanlah bahwa semakin kamu berjuang, semakin kamu membuktikan cintamu kepada Allah, dan semakin kamu akan bersukacita bersama Dia yang kamu cintai, dalam kebahagiaan dan pengangkatan yang tidak akan berakhir� (Exclamaciones del alma a Dios 15: 3, dikutip dari KGK no. 1821).
Sampai di sini, marilah kita mencoba meringkas apa yang telah kita bahas sebelumnya. Paulus selalu bersukacita dalam setiap peristiwa yang ia alami karena ia memiliki harapan akan Kristus yang menyelamatkannya dan yang memiliki rencana indah atas hidupnya. Harapan inilah yang menggerakan Paulus untuk terus bekerja di ladang Tuhan dan menebarkan benih injil dalam seluruh perjalanan kerasulannya dan harapan ini juga yang menggembirakan dia dalam segala kesusahan dan kegagalan yang dialaminya, dia tetap gembira dan tetap optimis serta tetap tekun dalam pekerjaannya apapun yang terjadi karena harapannya ia dasarkan pada Kristus yang selalu setia kepadanya.
Sunday, May 11, 2008
Sorang Penolong Yang Lain
Saya kira semua gambaran ini memberikan sedikit keterangan mengenai siapa Roh Kudus itu, Ia adalah pembela yang menuntun, penyembuh, dan Ia juga dinamis dan menggerakan dan lebih lagi Ia mempersatukan kita. Ketika kita menyerahkan diri kita kepada pimpinan Roh ini berarti kita menata hidup kita menurut kehendakNya. Kita menuruti bimbinganNya untuk menghindarkan yang jahat serta baik dan benar, menerima tawaran penyembuhan dan kekuatan dariNya melalui doa dan sakramen.
Di sisi lain juga berarti kita menerima semangat, kekuatan dan ke-fleksibel-an atau dinamismenya. Dan jika kita mencari model orang macam apakah yang dipimpi~ luh0Rh0itu< }a{a0jqwqbqn~ya adalah Yesus. Sulit sebenarnya untuk menggambarkan seperti apa Yesus dalam beberapa kata, tapi saya kira tidak lah terlalu salah untuk mengatakan Dia sebagai orang yang; teguh, punya prinsip, tenang dan fleksibel dengan keadaan. Sebenarnya ada istilah singkat lain yang lebih tepat untuk menggambarkan seperti apa Yesus itu, yaitu 'pribadi yang seimbang' tetapi istilah ini terlihat terlalu abstrak, setidaknya bagi saya sendiri. Jika kita mengikuti bimbingan Roh kita akan menjadi orang yang semacam itu, dan aku suka kata-kata dari seseorang (tante Olly persisnya) 'kalian gak akan gila'.
Thursday, September 20, 2007
St. Matthew's Day...my birthday
Injil Matius ditulis dalam suasana ke-yahudi-an yang kuat, kita bisa memperkirakan bahwa pembaca asli Matius adalah komunitas Kristen yang mayoritasnya adalah keturunan yahudi. Dalam tulisan Matius, Yesus pertama-tama digambarkan sebagai Mesias, keturunan Daud. Meskipun gelar Mesias yang di-translate ke bahasa yunani menjadi Christos kemudian sangat umum dipakai oleh komunitas kristen secara umum, harus diakui juga bahwa penggunaan istilah itu seringkali kehilangan "greget"nya sehingga nama Kristus mudah saja digandengkan dengan Yesus sehingga tampak seolah-olah sebagai nama pribadiNya.
Injil Matius juga sering disebut sebagai "injil gereja" karena dalam keempat injil hanya Matius lah yang menaruh perhatian besar pada kehadiran ecclesia (gereja). Matius secara eksplisit menyebutkan bahwa Yesus mendirikan Gereja diatas kefas, dan kefas itu juga Ia serahi kunci kerajaan surga (Mat 16:16-19).
Kisah pemberian kunci memiliki latar belakangnya pada perjanjian lama, yaitu dalam kisah pengangkatan Elyakim bin Hilkia menjadi "perdana menteri" Yehuda (Yes 22:20-23), dengan cara memberi Kefas kunci kerajaan surga kiranya jelas bahwa Yesus ingin menjadikan Kefas sebagai perdana menteri dalam kerajaanNya.
Teks kedua tentang Gereja muncul di bab 18 dimana Gereja digambarkan sebagai suatu komunitas yang nyata (visible), memiliki tata tertib, dan memiliki hak untuk menghukum atau mengucilkan anggota-anggotanya yang bandel dan tidak bisa diatur. Bahkan mereka yang menentang Gereja langsung disamakan statusnya dengan orang kafir (Mat 18:17).
Juga kedua teks yang menyangkut Gereja langsung diakhiri dengan pernyataan yang tegas mengenai otoritas yang dipegang oleh para Rasul: "Sesungguhnya apa yang kamu ikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kamu lepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga" (Mat 16:19 18:18). Penegasan mengenai kuasa para Rasul dengan cara se-eksplisit ini saya kira adalah satu ciri khas Matius.
Teks-teks Matius kiranya memberi kita suatu pandangan yang agak luas tentang hierarki dan keadaan jemaat perdana khususnya dalam komunitas yang dibina oleh Matius atau yang merupakan pembaca asli tulisannya ini.
Bagi saya sendiri, gambaran Matius tentang Yesus dan Gereja rasanya amat dominan dalam membentuk iman pribadi saya. Injil ini merupakan salah satu buku favorit saya dalam Kitab Suci
Sunday, August 26, 2007
Papal Homily: Corpus Christi 2007
MENUJU BASILIKA SANTA MARIA MAJOR
PADA HARI RAYA CORPUS CHRISTI
HOMILI BAPA SUCI BENEDIKTUS XVI
Di lapangan Basilika Agung St. Yohanes Lateran
Kamis, 7 Juni 2007
Saudara-saudari terkasih,
Kita baru saja mendengarkan Sequensi: �Dogma datur christianis/ quod in carnem transit panis,/ et vinum in sanguinem- inilah kebenaran yang dipelajari orang kristen/ roti Ia ubah jadi dagingNya,/ dan anggur jadi darahNya�.
Hari ini dengan sukacita besar kita meneguhkan kembali iman kita akan Ekaristi, Misteri yang membentuk jantung Gereja. Dalam Anjuran Apostolik Sacramentum Caritatis yang baru saja Saya keluarkan, Saya mengingatkan kembali bahwa Misteri Ekaristi �adalah pemberian dimana Yesus Kristus menghadirkan diriNya, sekaligus mewahyukan kepada kita cinta Allah yang tak terbatas bagi setiap pria dan wanita� (n. 1).
Karena itu, Corpus Christi, adalah pesta yang unik dan membentuk sebuah kesinambungan yang penting antara iman dan pujian bagi semua komunitas Kristen. Pesta ini berakar dalam suatu konteks sejarah dan kebudayaan yang khas: ia diadakan untuk tujuan yang sangat istimewa yaitu menegaskan kembali secara terbuka iman umat Allah dalam Yesus Kristus, yang hidup dan sungguh hadir dalam Sakramen Ekaristi yang Mahakudus. Ini adalah pesta yang diadakan dengan tujuan untuk menyatakan secara terbuka dihadapan masyarakat umum; penyembahan, syukur, dan terimakasih kita kepada Tuhan, yang terus menerus �mencintai kita sampai akhir�, bahkan sampai mempersembahkan tubuh dan darahNya bagi kita� (Sacramentum Caritatis, n. 1)
Perayaan Ekaristi malam ini membawa kita kembali kepada suasana rohani Kamis Putih, hari dimana di ruang atas, menjelang sengsaraNya, Kristus menetapkan Ekaristi Mahakudus. Jadi, Corpus Christi, adalah pembaruan misteri Kamis Putih, seperti halnya dulu, dalam kepatuhan terhadap undangan Yesus untuk mewartakan dari �atap-atap rumah� apa yang dibisikanNya kepada kita (cf. Mat 10: 27). Adalah Para Rasul yang menerima pemberian Ekaristi dari Tuhan dalam keakraban Perjamuan Terakhir, tetapi hal itu ditetapkanNya bagi semua, bagi seluruh dunia. Inilah sebabnya misteri ini harus diwartakan dan diperlihatkan, agar semua dapat mengalami �Yesus yang berkeliling� seperti terjadi di jalan-jalan di Galilea, Samaria dan Yudea; agar setiap mereka, yang menerimaNya, dapat disembuhkan dan diperbarui oleh kekuatan cintaNya. Sahabat terkasih, inilah sumber yang hidup dan abadi yang diwariskan Yesus kepada kita dalam Sakramen Tubuh dan DarahNya. Ini adalah pemberian yang menuntut untuk secara terus menerus direnungkan dan dihidupkan kembali agar, seperti yang dikatakan Paus Paulus VI yang terhormat, �daya gunanya yang tak terbatas dapat menjiwai seluruh hari sepanjang hidup kita yang fana ini� (cf. Insegnamenti, 25 May 1967, p. 779).
Dalam Anjuran Pasca-Sinode itu juga, Saya memberi komentar terhadap seruan imam setelah konsekrasi: �Mysterium Fidei!�- Misteri Iman!-, Saya merenungkan: bahwa dengan kata-kata ini imam �mewartakan misteri yang dirayakan dan mengungkapkan kekagumannya atas perubahan hakekat roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Tuhan Yesus, suatu kenyataan yang melampaui segala pengertian manusia� (n. 6).
Tepatlah demikian karena ini memang sebuah kenyataan yang misterius yang melampaui pengertian kita, kita tidak usah terkejut bahwa pada hari ini ada banyak orang yang merasa sulit untuk menerima Kehadiran Nyata Kristus dalam Ekaristi. Tidak dapatlah terjadi sebaliknya. Ini telah terjadi sejak di depan sebuah sinagoga di Kapernaum, Yesus secara terbuka menyatakan bahwa Dia akan memberikan dagingNya dan darahNya sebagai makanan (cf. Yoh 6: 26-58). Dan sampai sekarang ini, Ekaristi tetap menjadi �tanda perbantahan� dan hanya akan menjadi demikian karena Allah yang menjelma menjadi daging dan mengurbankan diriNya untuk hidup dunia melemparkan semua kebijaksanaan manusiawi kedalam krisis.
Bagaimanapun, dengan kepercayaan yang rendah hati, Gereja mengambilalih iman Petrus dan Para Rasul lainnya menjadi miliknya sendiri, dan bersama mereka berkata: �Tuhan, kepada siapa kami akan pergi? PerkataanMu adalah perkataan hidup yang kekal� (Yoh 6:68). Marilah kita juga, malam ini memperbarui pengakuan iman kita akan Kristus, yang hidup dan hari dalam Ekaristi. Ya, �inilah kebenaran yang dipelajari orang kristen/ roti Ia ubah jadi dagingNya,/ dan anggur jadi darahNya�.
Pada titik puncaknya, dalam Sequensia kita menyanyi: �Ecce panis angelorum,/ factus cibus viatorum:/ vere panis filiorum�- � Inilah roti para malaikat, /yang diberikan kepada peziarah yang telah berjuang:/ sungguh roti untuk anak-anak.� Dan karena rahmat Allah kita adalah anak-anak.
Ekaristi adalah makanan yang dikhususkan bagi mereka yang dalam Baptisan dibebaskan dari perbudakan dan telah dijadikan putera: ini adalah makanan yang menguatkan mereka dalam perjalanan panjang dalam perjalanan keluaran melalui padang gurun dalam eksistensinya sebagai manusia.
Seperti halnya manna bagi orang Israel, Ekaristi adalah nutrisi tak tergantikan bagi setiap generasi Kristen, nutrisi yang menguatkan mereka selama mereka mengarungi padang gurun dunia ini, ditekan oleh sistem ideologi dan ekonomi yang tidak mendukung kehidupan tapi malahan merendahkannya. Dalam dunia dimana logika kekuasaan dan kepemilikan lebih berkuasa ketimbang pelyanan dan cinta; dunia dimana budaya kekerasan dan kematian seringkali tampak berjaya.
Tetapi Yesus datang menemui kita dan menyapa kita dengan kepastian: Dialah �Roti Hidup� (Yoh 6: 35, 48). Dia mengulangi ini kepada kita dalam kata-kata Bait Pengantar Injil: �Akulah Roti Hidup yang turun dari Surga, jika seorang makan Roti ini, ia akan hidup selamanya� (Yoh 6: 51).
Dalam bacaan Injil yang baru saja diwartakan, St. Lukas, melukiskan kisah penggandaan lima roti dan dua ikan dimana Yesus memberi makan banyak orang �dalam tempat sunyi�, dan kisah ini ditutup dengan kata-kata: �Dan semua makan sampai kenyang� (cf. Luk 9: 11-17).
Pertama, Saya ingin menekankan kata �semua�. Dengan ini, Tuhan menghendaki semua orang dikuatkan dengan Ekaristi, karena Ekaristi adalah untuk semua orang. Jika hubungan erat antara Perjamuan Terakhir dengan misteri Kematian Yesus diSalib ditekankan dalam Kamis Putih, hari ini, dalam Pesta Corpus Christi, dengan prosesi dan adorasi meriah terhadap Ekaristi, perhatian diarahkan kepada kenyataan bahwa Kristus mengurbankan diriNya untuk semua manusia. Dia berjalan melintasi rumah dan melewati jalan-jalan kota kita untuk menjadi persembahan sukacita, hidup abadi, dan cinta bagi mereka yang tinggal disana.
Elemen kedua, yang menarik perhatian dalam bacaan Injil hari ini ialah: mukjizat yang dikerjakan oleh Tuhan mengandung undangan eksplisit kepada setiap orang untuk berperan serta. Dua ikan dan lima roti menandakan peran serta kita, sedikit tapi perlu, yang Ia ubah menjadi anugerah cinta bagi semua. Dalam Anjuran Pasca-Sinode Saya menulis �Hari ini Kristus terus menerus menganjurkan agar para muridNya terlibat secara pribadi� ( Sacramentum Caritatis, n. 88).
Jadi, Ekaristi adalah panggilan kepada kekudusan dan kepada pemberian diri seseorang kepada seorang lain sebagai saudara: �Setiap kita benar-benar dipanggil, untuk bersama dengan Yesus menjadi roti yang dipecahkan bagi hidup dunia� (ibid.). Secara khusus Penebus kita mengalamatkan undangan ini kepada kita, saudara-saudariku terkasih sesama warga Roma, yang berkumpul disekitar Ekaristi di lapangan bersejarah ini.
Saya menyapa kalian semua dengan mesra. Salam Saya pertama-tama Saya sampaikan kepada Kardinal Vikar dan para Uskup Auksilier, dan kepada para Saudara terhormat Saya lain; para Kardinal dan Uskup, dan juga kepada sejumlah besar Imam dan Diakon, religius pria dan wanita dan semua orang beriman awam.
Pada akhir Perayaan Ekaristi kita akan bergabung dalam prosesi membawa Tuhan Yesus dalam roh melewati semua jalan dan lingkungan kota Roma. Kita akan melarutkan Dia, katakanlah begitu, dalam rutinitas hidup kita sehari-hari, agar Dia dapat berjalan dimana kita berjalan dan hidup dimana kita hidup.
Tetapi, kita juga tahu, sebagai diingatkan oleh Rasul Paulus dalam Suratnya kepada orang Korintus, bahwa dalam setiap Ekaristi, juga Ekaristi senja ini, kita �mewartakan kematian Tuhan sampai Ia datang� (cf. 1 Kor 11:26). Kita berjalan dalam jalan bebas hambatan dunia ini dengan mengetahui bahwa Dia di sisi kita, dikuatkan oleh harapan bahwa kita suatu hari nanti akan memandang Dia muka dengan muka, dengan kepastian yang teguh.
Sementara ini, marilah kita mendengar pengulangan sabdaNya, seperti yang kita baca di Kitab Wahyu, �Lihatlah, Aku berdiri di muka pintu dan mengetuk; jika ada seorang yang mendengar suaraKu dan membuka pintu, Aku akan masuk menemui dia dan makan bersama dia, dan dia akan bersama Aku� (Why 3: 20).
Pesta Corpus Christi ingin membuat ketukan Tuhan terdengar, menembus ketulian telinga batin kita dan meminta kita bukan hanya membuka ruang untuk satu hari tapi untuk selamanya. Marilah kita menyambut Dia dengan sukacita, menghampiriNya dengan satu suara dalam seruan Liturgi: �Roti sejati, Gembala Baik, bimbing kami,/ Yesus temanilah kami dengan cintaMu�/ Engkau yang mampu melakukan dan mengetahui segalanya,/ yang memberi makanan bagi dunia/ berilah kami agar bersama para kudusMu, yang terkecil sekalipun/ diundang ke pesta surgawi yang Kau adakan,/ menjadi sesama tamu dan undangan�.
� Copyright 2007 - Libreria Editrice Vaticana
Saturday, August 11, 2007
Firman yang dipersingkat
Dalam Dia verba multa [banyak firman] dari para penulis Alkitab menjadi untuk selama-lamanya Verbum unum [satu-satunya Firman]. Tanpa Dia, maka, ikatan kesatuan terlepas: Firman Allah sekali lagi tercerai menjadi potongan-potongan firman manusia; dengan banyak kata-kata, tidak hanya jumlah, tetapi juga makna tanpa kemungkinan kesatuan, karena seperti yang dikatakan oleh Hugo dari St. Viktor, �multi sunt sermones hominis, quia cor hominis non est unum� [banyaklah kata-kata manusia, karena hati manusia bukan satu].
Lihatlah, inilah satu-satunya Firman. Lihatlah Dia tinggal diantara kita, �Dia yang keluar dari Sion�(Yes 2:3), yang menjadi daging dalam rahim Sang Perawan. Omnem Scipturae universitatem, omne verbum suum Deus in uteruo virginis coadunavit [seluruh isi Kitab Suci, seluruh kata-katanya disatukan kembali oleh Allah dalam rahim Perawan itu].
Lihatlah sekarang kesatuan yang nyata, menyeluruh dan unik. Firman yang dipersingkat, yang dipadatkan, bukan hanya dalam arti pokoknya, tapi juga bahwa Dia yang dalam diri-Nya sendiri tak terjangkau dan tak dapat dimengerti, Dia yang dalam kekekalan berada di pangkuan Bapa merendahkan diri-Nya dalam rahim Perawan atau menyederhanakan diri-Nya ke dalam bentuk anak kecil di palungan Betlehem, seperti yang dengan yakin juga dikatakan oleh St. Bernard dan puteranya, seperti yang diulangi oleh M. Olier dalam himne Ofisi tentang hidup batin Maria [himne Ibd. Sore I HR. St, Maria Bunda Allah, Ibadat Harian hal. 84], dan juga yang baru saja kemarin diulangi oleh Romo Teilhard de Chardin; tetapi juga yang dan pada saat yang sama, dalam arti ini, isi Kitab Suci yang banyak itu, yang tersebar melintasi abad-abad, yang menantikan pada saat yang bersamaan ditampilkan kembali dan sekaligus dipenuhi dalam Dia, yaitu bahwa kata-kata Kitab Suci itu menjadi satu, lengkap, jelas, terjangkau, dan diilahikan dalam Diri-Nya. Semel locutus est Deus: Allah menyampaikan satu-satunya Firman-Nya, bukan hanya dalam diri-Nya, dalam kekekalan-Nya yang tak terjangkau.
Diambil dari:
Henri de Lubac, Esegesi Medievale. I quattro sensi della Scrittura [The Medieval Exegesis. The Four senses of the Scripture] Volume III, Jaca Book, Milano 1996.
Translated from the english translation found in 30Days In the Church and in the World [The english edition of italian magazine 30Giorni nella Chiesa e nel mondo directed by Giulio Andreotti] Year XXIV Number 12, 2006, pp 35-38.
DEKRIT MENGENAI KITAB-KITAB KANONIK
Sinode ini mengikuti teladan para Bapa yang beriman lurus, menerima dan menghormati dengan rasa kesalehan dan penghormatan yang sama, semua buku dari Perjanjian Lama dan Baru 'memandang bahwa Allah adalah pengarang keduanya' seperti juga dikatakan oleh tradisi, sebagaimana semua yang bersangkutan dengan iman dan moral, telah didiktekan entah dengan mulut Kristus sendiri, atau oleh Roh Kudus, dan dipelihara dalam Gereja Katolik melalui suksesi yang tak terputus. Dan telah kami pikirkan agar daftar dari buku-buku suci dimuat dalam dekrit ini, agar semakin kecillah keraguan dalam pikiran seseorang mengenai buku-buku mana saja yang diterima oleh Sinode ini. Daftar buku-buku itu kami sampaikan sebagai berikut:
Perjanjian Lama: lima buku Musa yaitu Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, Ulangan; Yosua, Hakim-hakim, Ruth, Empat buku Raja-raja (1 dan 2 Raja-raja serta 1 dan 2 Samuel), dua buku Tawarikh, buku pertama Ezra, dan yang kedua yang berjudul Nehemia; Tobit, Yudit, Ester, Ayub, Mazmur Daud yang memuat 150 mazmur; Amsal, Pengkhotbah, Kidung Agung, Kebijaksanaan Salomo, Kebijaksanaan Putera Sirakh, Yesaya, Yeremia dengan Barukh; Yehezkiel, Daniel; dua belas nabi kecil, yaitu: Hosea, Yoel, Amos, Obaja, Yunus, Mikha, Nahum, Habakuk, Zefanya, Hagai, Zakaria, Maleakhi,; dua buku Makabe, yang pertama dan kedua.
Perjanjian Baru: keempat Injil, menurut Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes; Kisah Para Rasul yang ditulis oleh Penginjil Lukas; empat belas surat Rasul Paulus, kepada umat di Roma, dua kepada umat di Galatia, kepada umat di Galatia, kepada umat di Efesus, kepada umat di Filipi, kepada umat di Kolose, dua kepada umat di Tesalonika, dua kepada Timotius, kepada Titus, kepada Filemon, kepada orang Ibrani, dua surat dari Rasul Petrus, tiga dari Rasul Yohanes, satu dari Rasul Yakobus, satu dari Rasul Yudas, dan Wahyu dari Rasul Yohanes.
Dari sebab itu jika ada orang yang tidak mengakui sebagai kudus dan kanonik, buku-buku yang telah disebut diatas seluruhnya beserta bagian-bagiannya, sebagaimana telah digunakan untuk dibaca dalam Gereja Katolik dan sebagaimana termuat dalam Vulgata kuno yang berbahasa Latin; dan mengetahui serta secara sengaja menentang tradisi yang telah dikatakan diatas; terkutuklah dia! Biarlah semua, bagaimanapun juga, mengerti, dalam kekuasaan dan kompetensinya, Sinode ini, setelah meletakkan dasar dari Pengakuan Iman, akan menghasilkan, kesaksian dan kewenangan yang akan digunakan untuk meneguhkan dogma dan menegakkan moral dalam Gereja.
St. Theresa Avila: menyikapi Kesulitan dalam Membaca Kitab Suci
Jadi aku sangat menganjurkan kepada kalian supaya saat kalian membaca buku atau mendengar khotbah atau berpikir tentang misteri iman suci kita hindarkanlah melelahkan dirimu atau membuang tenagamu untuk mengerti hal-hal yang tidak dapat kamu pahami dengan baik. Banyak hal tidak untuk dimengerti oleh wanita, bahkan juga bagi pria.
Ketika Tuhan ingin memberi pengertian, Yang Mulia melakukannya tanpa usaha dari pihak kita. Aku mengatakan ini kepada wanita, dan juga kepada pria yang tidak berkewajiban untuk mempertahankan kebenaran melalui pembelajaran mereka. Karena, bagi mereka yang dipanggil Allah untuk menjelaskan Kitab Suci bagi kita, harus mengerjakannya dengan mengerti (memiliki pengetahuan tentang Kitab Suci), dan akan memperoleh banyak dari karya mereka (pengetahuan tentang isi Kitab Suci). Tapi kita harus menerima dengan kesederhanaan apapun yang Tuhan berikan pada kita, dan bahwa Dia tidak memberikan kepada kita (pengertian atas isi Kitab Suci) tidak usah memusingkan kita, tetapi bersukacitalah dalam merenungkan betapa besar Tuhan dan Allah yang kita miliki. Karena satu kata dariNya akan memuat didalamnya ribuan misteri, sehingga pengertian kita hanyalah dangkal saja.
Bahwa kita tidak mengerti firmanNya saat tertulis dalam bahasa Latin atau Ibrani atau Yunani, ini tidak mengejutkan. Tapi juga dalam bahasa kita sendiri: betapa banyaknya hal-hal dalam mazmur-mazmur dari Raja Daud yang mulia tetap tersembunyi bagi kita walaupun telah diterjemahkan dalam bahasa kita, samasaja seperti halnya mereka tetap tertulis dalam bahasa Latin! Jadi berjagalah selalu melawan keinginanmu untuk membuang tenaga dalam hal ini (usaha untuk selalu mau mengerti isi Kitab Suci), karena bagi wanita tidak dibutuhkan lebih daripada yang cukup untuk meditasi mereka. Dengan ini, Tuhan menguatkan mereka.
Saat Yang Mulia berkehendak untuk memberikan kepada kita pengertian tentang firmanNya, kita akan mendapatkannya tanpa kekhawatiran ataupun usaha dari pihak kita. Selebihnya marilah kita merendahkan diri, dan bersukacita bahwa kita memiliki Tuhan yang semacam ini, yang firman dari mulutNya tak dapat dimengerti bahkan saat diterjemahkan dalam bahasa kita sendiri.
Diambil dari:
�Meditasi Kidung Agung, Bab 1, 1 (alinea 2) and 2� taken from �The Collected Works of St. Teresa of Avila�, Volume Two, by Fr. Kieran Kavanaugh, O.C.D and Fr. Otilio Rodriguez, O.C.D
