Ritus Damai
Doksologi
Umat berdiri. Imam membuat tanda salib:
Imam: Kemuliaan kepada Bapa dan Putera dan Roh Kudus sekarang dan selama-lamanya.
Umat: Amin.
Doa Damai
Imam: Allah yang kudus dan berbelas kasih, melalui Putera-Mu yang Tunggal, Engkau telah mempersiapkan perjamuan rohani ini untuk kami. Berkenanlah atas persembahan Kurban yang tak berdarah ini, dan berilah kami anugerah Roh Kudus-Mu. Jadikanlah kami layak untuk menyampaikan salam damai satu sama lain dengan hati yang murni dan cinta kasih ilahi. Kemudian kami akan memuji Engkau, Putera Tunggal-Mu, dan Roh Kudus-Mu yang menghidupkan, sekarang dan selama-lamanya.
Umat: Amin.
Salam Damai
Imam mencium Altar, menempatkan tangannya di atas persembahan, dan kemudian menyampaikan damai:
Imam: Damai bagimu, ya Altar Allah yang kudus. Damai atas misteri-misteri yang ditempatkan atasmu.
Ajakan Salam Damai
Diakon: Marilah kita saling menyampaikan salam damai kepada sesama kita, dengan cinta kasih dan kesetiaan yang menyenangkan Tuhan kita.
Umat saling menyampaikan salam damai dengan tangan terkatup.
Madah Damai
Selama salam damai semua menyanyikan:
Semua: Saudara-saudari, damai, cinta kasih, dan iman dari Allah Bapa dan dari Tuhan Yesus Kristus. Semoga Allah, sang Damai, bersama kamu semua. Amin.
Doa Penumpangan Tangan
Imam: Kami membungkuk di hadapan-Mu, ya Raja segala raja dan Tuhan segala tuhan, dan memohon kepada-Mu pandanglah kami dengan murah hati. Buatlah kami layak menghampiri Altar kudus-Mu dengan hati murni dan jiwa raga yang kudus, dan kami akan menyampaikan kemuliaan dan syukur bagi-Mu, sekarang dan selama-lamanya.
Umat: Amin.
Doa Selubung
Imam: Ya Tuhan, semoga damai-Mu, kasih sejati dan rahmat kekal dan ilahi bersama kami dan tinggal di tengah kami sepanjang hidup kami, dan kami akan memuliakan Engkau dan bersyukur kepada-Mu, sekarang dan selama-lamanya.
Umat: Amin.
DOA SYUKUR AGUNG
Dialog
Imam: Semoga cinta kasih Allah + Bapa, rahmat Putera-Nya yang + Tunggal, dan persatuan serta persekutuan Roh + Kudus bersamamu selamanya.
Umat: Dan bersama rohmu.
Imam: Marilah mengangkat hati, pikiran, dan kehendak kita kepada Allah.
Umat: Sudah kami angkat kepada-Mu, ya Allah.
Imam: Marilah bersyukur kepada Allah dengan takut akan Dia dan menyembah-Nya dengan kerendahan hati.
Umat: Sudah layak dan sepantasnya.
Pujian dan Syukur
Imam: Sungguh kemuliaan dan pujian layak bagi-Mu, karena Engkaulah kudus, ya Allah Bapa kami, dan Engkaulah sang pemberi hidup. Terpujilah Engkau bersama Putera-Mu yang Tunggal dan Roh Kudus-Mu yang menghidupkan. Kau dikelilingi oleh kerubim dan seraphim, yang dengan suara murni dan melodi surgawi, menyanyikan pujian dan mewartakan kemuliaan-Mu dengan bernyanyi kudus, kudus, kudus:
Umat: . Kudus, kudus, kuduslah Tuhan yang berbala tentara. Surga dan bumi penuh kemuliaan-Mu yang besar. Hosanna di tempat tinggi. Terpujilah Dia yang telah datang dan akan datang dalam nama Tuhan. Hosanna di tempat tinggi.
Imam: .Kudus, kudus, kuduslah Engkau, ya Allah yang penuh belas kasih. Kuduslah Putera-Mu yang Tunggal Yesus Kristus, Tuhan dan Allah kami. Kuduslah Roh Kudus-Mu yang memberi hidup. Engkaulah sumber segala kekudusan dan berkat. Bagi keselamatan kami, Putera-Mu yang Tunggal mengambil daging dari Perawam Maria yang murni, Bunda Allah, dan dengan rencana keselamatan ilahi-Nya Ia menebus dan menyelamatkan kami.
Kisah Institusi
Kisah Institusi selalu dinyanyikan dalam bahasa Aram
Imam: Byow-mo how daq-dom ha-sho-dee-leh ma'-bed hy-eh
nsa-bel-lah-mo be-dow qa-dee-sho-to.
Ou-ba-rekh
ou-qa-desh
waq-so
ou-ya-bel-tal-mee-dow kad o-mar:
Sab a-khool meh-neh kul-khoon:
Ho-no den ee-tow faghro deel
dah-lo-fy-koun wah-lof sagee-yeh
meh-teq-seh ou-meh-tee-heb
lhoo-so-yo dhow-beh wal-ha-yeh dal-'o-lam 'olmeen.
[Pada hari sebelum sengsara-Nya yang menghidupkan, Yesus mengambil roti dengan tangan-Nya. Ia memberkati dan menguduskan-Nya lalu memecah-mecahkannya, memberikan-Nya kepada para murid-Nya sambil berkata: Terimalah dan makanlah, hai kamu semua, karena inilah Tubuh-Ku yang dipecahkan dan diserahkan bagimu dan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa dan kehidupan kekal.]
Umat: Amin.
Imam: Ho-kha-no 'al ko-so dam-zeegh wo
men ham-ro ou-men ma-yo
ba-rekh
ouqa-desh
ou-ya-be-tal-me-dow kad o-mar:
Sab esh-tow meh-neh kul-khoon:
Ho-no den ee-tow dmo deel
dee-ya-tee-qee hda-to
dah-lo-fy-koon wah-lof sa-gee-yeh
meh-teh-shed ou-meh-tee-heb
lhoo-so-yo dhow-beh wal-ha-yeh dal-o'-lam 'ol-meen.
[Kemudian Ia mengambil piala berisi anggur bercampur air, memberkati dan menguduskannya, lalu memberikannya kepada para murid-Nya sambil berkata: Terimalah dan minumlah, hai kamu semua, karena inilah Piala Darah-Ku, Darah Perjanjian Baru, yang ditumpahkan dan diserahkan bagimu dan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa dan kehidupan kekal.]
Umat: Amen.
Anamnesis
Imam: Setiap kali kamu makan Roti ini dan minum dari Piala ini, kamu mengenangkan Aku sampai Aku datang kembali.
Umat: Ya Tuhan, kami kenangkan wafat-Mu, kami memberi kesaksian atas kebangkitan-Mu, kami menantikan kedatangan-Mu kedua kali, kami memohon belas kasih-Mu dan pengampunan dosa kami. Semoga belas kasih-Mu turun atas kami.
Imam: Ya Allah, sang Pencinta semua manusia, kami hamba-hamba-Mu yang berdosa ini mengenangkan rencana keselamatan-Mu dan kami memohon agar Engkau berbelas kasih kepada kami. Kasihanilah mereka yang menyembah-Mu dan selamatkanlah para ahli waris-Mu saat Engkau datang di akhir zaman untuk mengganjar semua orang dengan adil menurut perbuatannya. Melalui Engkau Gereja-Mu memohon kepada Bapa-Mu dan berdoa:
Umat: Kasihanilah kami, ya Bapa yang mahakuasa, kasihanilah kami.
Imam: Ya Tuhan, kami para hamba-Mu yang berdosa dan malang ini menyadari rahmat yang telah kami terima dari-Mu dan bersyukur kepada-Mu untuk dan karena rahmat itu.
Umat: Kami memuji-Mu, mengagungkan-Mu, menyembah-Mu, kami mengaku dan memohon kepada-Mu: kasihanilah kami, ya Tuhan, dan dengarkanlah kami.
Seruan Kepada Roh Kudus (Epiklesis)
Diakon: Betapa agung saat ini, ya kekasihku. Roh Kudus akan turun dari surga dan menaungi persembahan ini, yang disiapkan untuk pengudusan kita. Marilah kita berdiri dan berdoa dan tiga kali menyerukan:
Imam: Kasihanilah kami, ya Tuhan, kasihanilah kami. Utuslah Roh-Mu yang menghidupkan dari surga untuk menaungi persembahan ini dan menjadikannya Tubuh dan Darah pemberi hidup untuk memurnikan dan menguduskan kami.
Imam berlutut dengan kedua kaki, merentangkan tangan dan menyanyikan dalam bahasa Aram (A) atau bahasa lokal (B):
A
Imam: `A-neen mor-yo; `A-neen mor-yo; `A-neen mor-yo.
Ou-nee-teh mor roo-hokh ha-yo ou-qa-dee-sho
ou-na-gen `a-lyn ou-`al qur-bo-no-hono.
Atau:
B
Imam: Dengarkanlah kami Tuhan, dengarkanlah kami Tuhan, dengarkanlah kami Tuhan. Curahkanlah Roh-Mu yang kudus dan menghidupkan menaungi kami dan persembahan kami.
Umat: Kyrie eleison, Kyrie eleison, Kyrie eleison.
Atau
Tuhan kasihanilah kami, Tuhan kasihanilah kami, Tuhan kasihanilah kami
Imam: Berkat naungan-Nya, Roh menjadikan roti ini + Tubuh Kristus Allah kami.
Umat: Amin.
Imam: Dan menjadikan campuran dalam piala ini + Darah Kristus Allah kami.
Umat: Amin.
Imam: Semoga Misteri suci ini menjadi pengampunan dosa kami, penyembuhan jiwa dan raga kami, dan menguatkan hati nurani kami, sehingga tak satupun dari umat beriman-Mu yang akan musnah. Sebaliknya, semoga kami hidup oleh Roh-Mu, menjalani hidup yang murni, dan memuliakan-Mu, sekarang dan selama-lamanya.
Umat: Amin.
Doa Syafaat
Semua duduk. Imam berdoa:
Imam: Ya Tuhan Allah, kami mempersembahkan Kurban Ilahi ini bagi Gereja-Mu, terutama bagi Bapa Suci Benediktus (nama Paus), Boutros Nasrallah Sfeir (nama Patriarkh), Patriarkh kami, dan �(nama Uskup) Uskup kami dan semua Uskup yang mengakui iman yang benar. Semoga mereka hidup tidak bercela agar dengan kemurnian dan kekudusan mereka dapat menggembalakan kawanan-Mu dan menyampaikan kepada-Mu suatu umat yang diperbarui dalam Roh dan berkenan bagi kemuliaan nama-Mu.
Umat: Tuhan kasihanilah kami.
Diakon: Ingatlah, ya Tuhan, kawanan-Mu, terutama mereka yang telah menyampaikan persembahan ini. Berilah pengampunan kepada mereka yang berkumpul di sini di hadapan-Mu, semoga kami selalu hidup tak bercela di hadirat-Mu, dan menyadari rahmat yang telah Kau curahkan atas kami. Karena Engkau baik dan berbelas kasih, dan kami berdoa kepada-Mu Tuhan.
Umat: Tuhan kasihanilah kami.
Diakon: Ingatlah, ya Tuhan, para pemimpin negara kami, yang menjaga umat-Mu, kawanan yang diselamatkan oleh nama-Mu. Dalam belas kasihan-Mu ampunilah mereka, bantulah mereka, dan utuslah malaikat-Mu untuk menjaga mereka. Supaya dalam damai, keselarasan, dan dengan penuh kepercayaan kami akan memuliakan, bersyukur dan berdoa kepada-Mu.
Umat: Tuhan kasihanilah kami.
Diakon: Ingatlah, ya Tuhan, semua orang yang berkenan kepada-Mu sejak awal mula, terutama Maria, Bunda Allah yang terberkati, para Rasul, Nabi, Martir, Pengaku Iman, Yohanes Pembaptis, Stefanus diakon pertama, Santo/a..(pelindung Paroki), santo/a�(yang dipestakan), dan semua yang seperti mereka yang dikenal karena kesempurnaan hidup mereka dan perbuatan-perbuatannya. Semoga kami diingat dalam doa-doa mereka dan menjadi layak untuk bersukacita bersama mereka dalam kerajaan-Mu dan kami berdoa kepada-Mu, ya Tuhan.
Umat: Tuhan kasihanilah kami.
Diakon: Ingatlah, ya Tuhan, akan para leluhur dan guru kami yang mengimani iman sejati dan menjaga kebenaran-Mu, dan yang telah menanggung derita karena Gereja-Mu. Biarlah kami memelihara kebenaran yang mereka imani dengan bibir kami, agar kami mengikuti jejak mereka, berjalan dalam kepolosan dan kesederhanaan dalam jalan-Mu yang adil.
Umat: Tuhan kasihanilah kami.
Diakon: Ingatlah, ya Tuhan, orang beriman yang telah meninggal dunia. Terimalah persembahan ini untuk mereka. Mereka telah menaruh kepercayaan kepada belas kasih dan pengampunan-Mu dan menantikan rahmat-Mu, berilah mereka istirahat di pangkuan Abraham, dan panggilan mereka menjadi tamu dalam kerajaan-Mu. Berilah juga kepada kami, kematian yang penuh damai, dan hapuskanlah pelanggaran kami, karena tak ada satupun di bumi yang tak berdosa kecuali Putera-Mu yang Tunggal, yang melalui Dia kami berharap, agar bersama mereka kami menerima pengampunan dosa.
Umat: Berilah mereka istirahat, ya Tuhan, dan ampunilah semua dosa dan kejatuhan kami: dosa-dosa yang kami lakukan dengan sadar dan tanpa sadar.
Imam: Bebaskanlah kami semua, ya Tuhan, dari sengatan dosa, ampunilah pelanggaran kami, dan dalam belas kasih-Mu tebuslah kami, agar nama-M yang suci dapat dimuliakan, dipuji, dan dihormati dalam kami, untuk kami, dan karena kamim dengan nama Yesus Kristus Tuhan kami, dan Roh Kudus-Mu yang menghidupkan, sekarang dan selama-lamanya.
Umat: Sebagaimana telah terjadi, sekarang terjadi, dan selamanya akan terjadi. Amin.
RITUS KOMUNI
Berkat
Imam: . Semoga berkat Allah + Bapa, dan Penyelamat kita Yesus Kristus dan persekutuan Roh Kudus bersamamu.
Umat: Dan bersama rohmu.
Pemecahan Roti, Penandaan, Pencelupan, Pencampuran dan Pengangkatan
Umat menyanyikan nyanyian yang cocok atau korozooto hari yang bersangkutan.
Pemecahan Roti
Imam: Kami telah percaya, dan telah mempersembahkan, dan sekarang kami memateraikan + dan memecahkan persembahan ini, Roti Surgawi, Tubuh sang Sabda, yang adalah Allah yang hidup.
Pencelupan
Imam: Kami menandai Piala Keselamatan dan Syukur ini dengan abu pemurnian yang mengalir bersama misteri surgawi dalam nama +Bapa, untuk semua yang hidup; dalam nama Putera + Tunggal-Nya untuk semua yang berasal dari-Nya, dan seperti Dia, yang hidup bagi semua yang hidup; dalam nama Roh + Kudus, yang adalah awal, akhir, dan kesempurnaan segala yang telah ada, ada, dan aka nada di surga dan bumi: Allah yang satu-tak terpisah, sejati, benar, terpuji, dan tertinggi, yang dari-Nya datang hidup abadi.
Penandaan
Imam: Darah Tuhan kita Yesus Kristus dipercikan atas Tubuh-Nya yang suci, dalam nama + Bapa, dan + Putera, dan Roh + Kudus.
Pencampuran
Imam: Ya Tuhan, Engkau telah menyatukan keilahian-Mu dengan kemanusian kami dan kemanusiaan kami dengan kehidupan ilahi-Mu dengan kefanaan kami dan kefanaan kami dengan hidup-Mu. Kau telah mengambil apa yang menjadi milik kami, dan memberikan kepada kami apa yang menjadi milik-Mu, untuk hidup dan keselamatan jiwa kami.. Bagi-Mu, ya Tuhan, kemuliaan selama-lamanya.
Pengangkatan
Umat berdiri. Imam mengangkat patena dengan Roti atas Piala dan mengangkat keduanya, sambil diam-diam berdoa:
Imam: Ya Tuhan Engkaulah persembahan yang berkenan kepada Bapa, yang telah dipersembahkan untuk kami; Engkaulah kurban penghapus salah, yang mempersembahkan diri-Mu untuk kami kepada Bapa-Mu. Engkaulah Anak Domba Kurban,dan juga Imam yang mempersembahkan diri-Mu sendiri untuk kami. Semoga doa-doa kami menjadi seperti dupa di mata-Mu seperti kami mempersembahkan-Nya melalui Engkau dan bersama Engkau kepada Bapa-Mu.
Bapa Kami
Imam: Allah yang maha pengasih dan pengampun, yang kami hormati diatas segalanya, berilah kami kemurnian dan kekudusan untuk berkata:
Imam dan umat merentangkan tangan dan berdoa:
SEMUA: Bapa kami, yang ada di surga, dimuliakanlah nama-Mu..etc
Imam: Ya Tuhan, Pencinta segala sesuatu, jangan tinggalkan kami, jangan biarkan kami jatuh dalam pencobaan, tetapi bebaskanlah kami dari si jahat dan jalannya yang menyesatkan, karena Kerajaan adalah milik-Mu, milik Putera Tunggal-Mu, dan milik Roh Kudus-Mu yang menghidupkan, sekarang dan selama-lamanya
Umat: Amin.
Ritus Tobat
Imam: Damai bersamamu.
Umat: Dan bersama rohmu.
Diakon: Tundukanlah kepalamu di hadapan Allah yang berbelas kasih, di hadapan Altar pengampunan-Nya, dan di hadapan Tubuh dan Darah Penyelamat kita, yang memberikan hidup kepada mereka yang ambil bagian dalam Dia, dan terimlahan berkat Tuhan.
Imam: Ya Tuhan, berkatilah umat-Mu yang tunduk di hadapan-Mu. Selamatkanlah kami dari segala bencana dan buatlah kami layak ambil bagian dalam Misteri Ilahi ini dengan kemurnian dan kekudusan, agar melaluinya kami diampuni dan dikuduskan. Dan kami akan memuliakan Dikau, sekarang dan selama-lamanya.
Umat: Amin.
Imam: Semoga rahmat Tritunggal + Mahakudus yang kekal dan setara dalam hakekat, bersamamu saudara dan saudariku.
Umat: Dan bersama rohmu.
Diakon: Marilah kita memandang Allah dengan kagum dan hormat dan memohon kepada-Nya belas kasih dan pengampunan.
Ajakan Komuni
Imam: Yang Kudus bagi yang kudus, dengan kesempurnaan, kemurnian dan kekudusan.
Umat: Satu Bapa yang Kudus, Satu Putera Tunggal, Satu Roh Kudus. Terpujilah nama Tuhan Dialah Yang Satu di surga dan bumi. Kemuliaan bagi Allah selama-lamanya.
Imam dan umat bersiap menerima Komuni. Semua merentangkan tangan dan berdoa:
SEMUA: Jadikanlah kami ya Tuhan Allah, untuk menguduskan tubuh kami dengan Tubuh Suci-Mu dan untuk memurnikan jiwa kami dengan Darah Pengampunan-Mu. Semoga Komuni kami menjadi pengampunan dosa kami dan mendatangkan hidup abadi.
Komuni Imam
Umat menyanyikan salah satu madah ini:
Melalui Kebangkitan Kristus Imam: Melalui Kebangkitan Kristus sang Raja, dengan iman yang benar, marilah memohon pengampunan dosa bagi jiwa kita. Marilah kita semua mewartakan Putera yang menebus kita dengan salib-Nya: �Terpujilah Juruselamat: Kuduslah Engkau, Kuduslah Engkau, Kuduslah Engkau.� Semoga kenangan akan Bunda Kristus, Para Kudus, dan semua orang beriman yang telah wafat, dihormati di seluruh dunia. Alleluia!
ATAU:
Bala tentara surga berdiri bersama kita di tempat kudus. Dalam perarakan mereka membawa Tubuh dan Darah Putera Allah, yang disembelih untuk kita. Marilah kita menghampiri Dia dan menerima-Nya untuk pengampunan dosa dan kesalahan kita. Alleluia! Semoga orang tua kami, saudara dan saudari, dan guru-guru yang kami kenangkan di Altar-Mu, ya Tuhan. Dapat berdiri di sisi kanan-Mu pada hari penghakiman, ya Kristus sang Raja, Alleluia! Terpujilah Tuhan yang memberi Tubuh dan Darah-Nya yang menghidupkan agar kami menemukan pengampunan didalamnya. Pujilah dan tinggikanlah Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Kemuliaan bagi-Nya selama-lamanya. Alleluia!
Sementara umat bernyanyi imam menyantap Tubuh Tuhan dengan diam-diam berdoa:
Imam: Tubuh Tuhan kita Yesus Kristus diberikan kepadaku untuk pengampunan dosa-dosaku dan untuk hidup kekal.
Imam meminum Darah Tuhan dengan diam-diam berdoa:
Imam: Darah Tuhan kita Yesus Kristus diberikan kepadaku untuk pengampunan dosa-dosaku dan untuk hidup kekal.
Para konselebran menyambut Komuni, dengan makan dan minum sendiri.
Komuni Umat
Sebelum Komuni dibagikan Imam mengangkat Patena dan semua bernyanyi:
Tuhan kita berkata: �Akulah Roti hidup. Siapapun yang memakan Aku dengan iman memiliki hidup.�
Imam: Inilah Piala yang disiapkan Tuhan kita di salib. Datanglah kalian, yang fana, dan minumlah untuk pengampunan dosa.
Umat: Gereja mewartakan: �Datanglah, ya saudara dan saudari, ambilah Tubuh Putera, minumlah Darah-Nya dalam iman dan nyanyikanlah kemuliaan-Nya.
Ayat berikut juga dapat dinyanyikan:
Gereja mewartakan: �Kudus, kudus, kuduslah Engkau Tuhan; terpujilah Dia yang memberikan Tubuh dan Darah-Nya untuk keselamatanku.� Alleluia! Alleluia! Kemuliaan bagi Kristus, karena Dia memberikan Tubuh dan Darah-Nya yang menghidupkan untuk keselamatan kita. Semoga persembahan ini menolong kita di hari penghakiman, saat kita berdiri di hadapan Tahta Allah yang mengagumkan. Alleluia! Alleluia! Kemuliaan bagi Kristus, karena dari Piala-Nya Bunda Gereja dan putera-puterinya minum, dan menyanyikan pujian bagi-Nya.
Imam membagikan Komuni kepada para Diakon, sub-Diakon (Putera Altar) dan umat dengan mengatakan:
Imam: Tubuh dan Darah Tuhan kita Yesus Kristus diberikan kepadamu untuk pengampunan dosa dan kehidupan kekal.
Selama Komuni dinyanyikan Roti kehidupan atau Bapa Kebenaran atau madah dan mazmur yang cocok untuk Komuni. Juga dapat dinyanyikan madah tradisional Syria untuk mengenang orang yang telah meninggal:
Ya Tuhan yang berbelas kasih, terimalah persembahan ini dari para penyembah-Mu. Dalam kebaikan-Mu, berilah pengampunan bagi orang beriman yang sudah wafat. Pandanglah persembahan yang telah dipersembahkan dan jiwa yang telah ditebus. Berilah istirahat bagi jiwa yang untuknya Kurban ini dipersembahkan. Semoga persembahan ini, yang dipersembahkan oleh yang hidup untuk yang mati, memperoleh belas kasih bagi jiwa mereka dan pengampunan untuk kesalahan mereka. Semoga Tuhan, yang menghidupkan Lazarus dan anak si janda, merecikan belas kasih-Nya atas orang beriman yang telah meninggal. Ya Tuhan kami merayakan kenangan atas mereka yang untuknya Kurban ini kami persembahkan bersama Abraham, Ishak dan Yakub. Ya Raja Surgawi, terimalah persembahan hamba-Mu, dan rayakanlah kenangan mereka dalam Yerusalem surgawi-Mu. Di Yerusalem yang di atas, dan dalam Gereja di bumi juga, semoga mereka berada dalam kenangan terhormat pada Altar-Mu di surga. Ya Anak Domba Allah, ya Gembala yang mati untuk kawanan-Nya: dalam kebaikan-Mu, berilah istirahat kepada orang beriman yang telah meninggal. Jiwaku menantikan Tubuh-Mu, walaupun aku takut mendekat, karena aku gemetar karena dosa-dosaku. Dalam kebaikan-Mu Tuhan, berilah aku pengampunan. Semoga Tubuh dan Darah-Mu yang kami sambut menjadikan kami, pengantin-Mu, dan menjadikan kami dengan selamat melintas dari kegelapan kepada terang. Semoga makhluk surgawi bersukacita dan yang fana berharap, karena persembahan dari yang hidup untuk yang mati.
Pemberkatan Dengan Misteri
Sesudah Komuni Imam memberkati umat dengan Tubuh dan Darah Tuhan:
Imam: selalu memuliakan dan bersyukur kepada-Mu, ya Tuhan, karena Engkau memberikan kepada kami Tubuh-Mu untuk dimakan dan Darah-Mu untuk diminum. Ya Pencinta segalanya, kasihanilah kami.
Umat: Ya Pencinta segala, kasihanilah kami.
Ucapan Syukur
Sementara imam membersihkan Patena dan Piala, umat duduk dan menyanyikan madah syukur misalnya: Ya Tuhan aku telah menyantap Tubuh-Mu, atau Mazmur 134. Dan sambil membersihkan Imam berdoa:
Imam: Kami bersyukur kepada-Mu, ya Tuhan Allah, dan kami mohon agar Komuni Ilahi ini menjadi pengampunan dosa, dan kemuliaan bagi nama-Mu yang kudus, dan bagi Putera-Mu yang Tunggal, dan bagi Roh Kudus-Mu, sekarang dan selama-lamanya.
Umat: Amin.
Berkat Dan Pengutusan
Imam: Damai bersamamu.
Umat: Dan bersama rohmu.
Imam menumpangkan tangan kanannya atas umat dan menyanyikan:
Imam: Ya Tuhan Penyelamat kami, Engkau telah menjadi daging dan mengurbankan diri-Mu untuk kami Engkau telah menyelamatkan kami. Tebuslah kami sekarang dari hukuman abadi, jadikan kami Bait bagi nama-Mu yang kudus, karena kami adalah umat-Mu dan ahli waris-Mu. Bagi-Mu, Kristus, dan bagi Bapa-Mu, dan bagi Roh Kudus-Mu, kemuliaan, hormat, dan kuasa, sekarang dan selama-lamanya.
Umat: Amin.
Umat berdiri dan Imam melanjutkan:
Imam: Pergilah dalam damai, saudara-saudari terkasih, dengan ditemani oleh kekuatan dan rahmat yang kalian terima dari Altar pengampunan Tuhan. Semoga berkat dari Tritunggal Mahakudus tetap bersamamu: + Bapa dan + Putera dan Roh + Kudus, Allah yang Satu, bagi-Nya lah kemuliaan sekarang dan selama-lamanya.
Umat: Amin.
Imam mencium Altar dan diam-diam berdoa:
Imam: Tinggalah dalam damai, ya Altar Allah yang kudus, aku berharap dapat kembali kepadamu dengan damai. Semoga persembahan yang kuterima darimu mengampuni dosa-dosaku dan mempersiapkan aku berdiri tak bercela di hadapan Tahta Kristus. Aku tidak tahu apakah aku akan dapat kembali kepadamu lagi untuk mempersembahkan Kurban ini. Jagalah aku, ya Tuhan, dan lindungilah Gereja Kudus-Mu, semoga ia menjadi jalan keselamatan dan cahaya dunia. Amin.
Imam dan para pelayan meninggalkan panti imam dan tempat ibadat.
Wednesday, October 14, 2009
15 Oktober: St. Theresia dari Avila, Pelindung Blog ini
Berikut ini adalah teks dari bacaan pertama dan bacaan kedua Ibadat Bacaan pada Pesta St. Theresia Avila menurut buku Ibadat Harian Ordo ketiga OCD (walaupun saya bukan anggotanya, tetapi hanya merekalah yang menyediakan buku ibadat harian dan misa dalam bahasa inggris secara online dan gratisan walaupun di-protect)
Pengetahuan Akan Kristus Melampaui Segala Sesuatu
Dari Surat Santo Paulus Kepada Gereja Filipi (3:8-21)
Aku menganggap segala sesuatu rugi karena pengenalanku akan Kristus Yesus Tuhanku, yang lebih mulia daripada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus, dan berada dalam Dia bukan dengan kebenaranku sendiri karena mentaati hukum Taurat, melainkan dengan kebenaran karena kepercayaan kepada Kristus, yaitu kebenaran yang Allah anugerahkan berdasarkan kepercayaan. Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dengan penderitaan-Nya, di mana aku menajdi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya, supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan dari antara orang mati.
Bukan seolah-olah aku telah memperoleh hal ini atau telah sempurna, melainkan aku mengenjarnya, kalau-kalau aku dapat juga menangkapnya, karena aku pun telah ditangkap oleh Kristus Yesus. Saudara-saudara, aku sendiri tidak menganggap, bahwa aku telah menangkapnya, tetapi ini yang kulakukan: aku melupakan apa yang telah ada di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan surgawi dari Allah dalam Kristus Yesus.
Karena itu marilah kita, yang sempurna, berpikir demikian. Dan jikalau lain pikiranmu tentang salah satu hal, hal itu akan dinyatakan Allah juga kepadamu. Tetapi baiklah tingkat pengertian yang telah kita capai kita lanjutkan menurut jalan yang telah kita tempuh.
Saudara-saudara, ikutilah teladanku dan perhatikanlah mereka, yang hidup sama seperti kami yang menjadi teladanmu. Karena, seperti yang telah kerap kali kukatakan keapdamu, dan yang kunyatakan pula sekarang sambil menangis, banyak orang yang hidup sebagai seteru salib Kristus. Kesudahan mereka ialah kebinasaan, Tuhan mereka ialah perut mereka, kemuliaan mereka ialah aib mereka, pikiran mereka semata-mata tertuju kepada perkara-perkara duniawi. Karena kewargaan kita adalah di dalam surga, dan dari situ juga kita menantikan Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruselamat, yang akan mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga serupa dengan tubuh-Nya yang mulia, menurut kuasa-Nya yang dapat menaklukkan segala sesuatu kepada diri-Nya.
Respons
V. Hidupmu tersembunyi bersama dengan Kristus dalam Allah.
R. Saat Kristus yang adalah hidupmu menyatakan diri kelak, kamu pun akan
menyatakan diri bersama dengan Dia dalam kemuliaan.
V. Baik maut ataupun hidup, ataupun sesuatu makhluk lain tidak dapat memisahkan
kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus Tuhan kita.
R. Saat Kristus yang adalah hidupmu menyatakan diri kelak, kamu pun akan
menyatakan diri bersama dengan Dia dalam kemuliaan.
Kami Selalu Mengingat Cinta Kristus
Dari Autobiografi St. Teresa dari Avila ( Bab 22:6-7,14)
Siapapun yang hidup dalam hadirat sahabat yang begitu baik dan pemimpin yang sempurna, yang pergi mendahului kita untuk menjadi yang pertama menderita, akan dapat menanggung segalanya. Tuhan menolong kita, menguatkan kita, dan tidak pernah gagal; Ia adalah sahabat sejati. Dan aku melihat dengan jelas dan aku melihat kedepan, bahwa Allah mengehendaki bahwa jika kita hendak menyenangkan Dia dan menerima banyak rahmat-Nya, kita harus melakukannya melalui kemanusiaan Kristus yang teramat suci, yang didalam-Nya Bapa bersukacita. Banyak dan banyak kali aku menerima hal ini melalui pengalamanku. Tuhan telah mengatakannya kepadaku. Saya telah melihat dengan pasti bahwa kita harus memasuki gerbang ini jika kita ingin agar Kemuliaan-Nya yang Kuasa menunjukkan kepada kita rahasia-rahasia besar.
Jadi Yang Terhormat dan Yang Mulia harus tidak menginginkan jalan lain, bahkan jika kalian berada di puncak kontemplasi; di jalan ini kalian berjalan dengan aman. Tuhan kita ini adalah satu-satunya yang melaluinya semua berkat datang kepada kita. Dia akan mengajar kita hal-hal ini. Dalam menanggung hidup ini, kita menemukan Ia adalah teladan terbaik. Apakah yang lebih kita inginkan selain memiliki seorang sahabat yang baik di sisi kita, yang tidak akan meninggalkan kita dalam pekerjaan dan kesulitan, sebagaimana sahabat-sahabat duniawi melakukannya? Terberkatilah ia yang sungguh mencintai-Nya dan selalu membawa-Nya di sisinya! Marilah kita mengingat Santo Paulus: kelihatannya tidak ada nama lain yang meluncur dari bibirnya selain nama Yesus, seperti seorang yang selalu membawa Tuhan dekat dengan hatinya. Sekali saya memahami kebenaran ini, saya dengan hati-hati menimbang kehidupan para kudus, para kontemplatif besar, dan menemukan bahwa mereka tidak mengambil jalan lain: Santo Fransiskus dengan stigmata, Santo Antonius dari Padua dengan Kanak-kanak Yesus; Santo Bernards menemukan sukacitanya dalam Kemanusiaan Kristus; Santa Catharina dari Siena- dan banyak lagi yang tentunya Yang Terhormat lebih tahu daripada saya.
Doa
Allah yang bersemayam di istana mulia, atas dorongan Roh Kudus santa Teresia telah menunjukkan kepada umat-Mu jalan menuju kesempurnaan. Semoga budi kami selalu dibimbing oleh ajarannya yang luhur, dan hati kami dikobarkan oleh keinginan akan kesucian sejati. Demi Yesus Kristus, Putera-Mu, Tuhan kami, yang bersama Dikau, hidup dan berkuasa, Allah, sepanjang segala masa.
Santa Theresia dari Avila, doakanlah kami!
Pengetahuan Akan Kristus Melampaui Segala Sesuatu
Dari Surat Santo Paulus Kepada Gereja Filipi (3:8-21)
Aku menganggap segala sesuatu rugi karena pengenalanku akan Kristus Yesus Tuhanku, yang lebih mulia daripada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus, dan berada dalam Dia bukan dengan kebenaranku sendiri karena mentaati hukum Taurat, melainkan dengan kebenaran karena kepercayaan kepada Kristus, yaitu kebenaran yang Allah anugerahkan berdasarkan kepercayaan. Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dengan penderitaan-Nya, di mana aku menajdi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya, supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan dari antara orang mati.
Bukan seolah-olah aku telah memperoleh hal ini atau telah sempurna, melainkan aku mengenjarnya, kalau-kalau aku dapat juga menangkapnya, karena aku pun telah ditangkap oleh Kristus Yesus. Saudara-saudara, aku sendiri tidak menganggap, bahwa aku telah menangkapnya, tetapi ini yang kulakukan: aku melupakan apa yang telah ada di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan surgawi dari Allah dalam Kristus Yesus.
Karena itu marilah kita, yang sempurna, berpikir demikian. Dan jikalau lain pikiranmu tentang salah satu hal, hal itu akan dinyatakan Allah juga kepadamu. Tetapi baiklah tingkat pengertian yang telah kita capai kita lanjutkan menurut jalan yang telah kita tempuh.
Saudara-saudara, ikutilah teladanku dan perhatikanlah mereka, yang hidup sama seperti kami yang menjadi teladanmu. Karena, seperti yang telah kerap kali kukatakan keapdamu, dan yang kunyatakan pula sekarang sambil menangis, banyak orang yang hidup sebagai seteru salib Kristus. Kesudahan mereka ialah kebinasaan, Tuhan mereka ialah perut mereka, kemuliaan mereka ialah aib mereka, pikiran mereka semata-mata tertuju kepada perkara-perkara duniawi. Karena kewargaan kita adalah di dalam surga, dan dari situ juga kita menantikan Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruselamat, yang akan mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga serupa dengan tubuh-Nya yang mulia, menurut kuasa-Nya yang dapat menaklukkan segala sesuatu kepada diri-Nya.
Respons
V. Hidupmu tersembunyi bersama dengan Kristus dalam Allah.
R. Saat Kristus yang adalah hidupmu menyatakan diri kelak, kamu pun akan
menyatakan diri bersama dengan Dia dalam kemuliaan.
V. Baik maut ataupun hidup, ataupun sesuatu makhluk lain tidak dapat memisahkan
kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus Tuhan kita.
R. Saat Kristus yang adalah hidupmu menyatakan diri kelak, kamu pun akan
menyatakan diri bersama dengan Dia dalam kemuliaan.
Kami Selalu Mengingat Cinta Kristus
Dari Autobiografi St. Teresa dari Avila ( Bab 22:6-7,14)
Siapapun yang hidup dalam hadirat sahabat yang begitu baik dan pemimpin yang sempurna, yang pergi mendahului kita untuk menjadi yang pertama menderita, akan dapat menanggung segalanya. Tuhan menolong kita, menguatkan kita, dan tidak pernah gagal; Ia adalah sahabat sejati. Dan aku melihat dengan jelas dan aku melihat kedepan, bahwa Allah mengehendaki bahwa jika kita hendak menyenangkan Dia dan menerima banyak rahmat-Nya, kita harus melakukannya melalui kemanusiaan Kristus yang teramat suci, yang didalam-Nya Bapa bersukacita. Banyak dan banyak kali aku menerima hal ini melalui pengalamanku. Tuhan telah mengatakannya kepadaku. Saya telah melihat dengan pasti bahwa kita harus memasuki gerbang ini jika kita ingin agar Kemuliaan-Nya yang Kuasa menunjukkan kepada kita rahasia-rahasia besar.
Jadi Yang Terhormat dan Yang Mulia harus tidak menginginkan jalan lain, bahkan jika kalian berada di puncak kontemplasi; di jalan ini kalian berjalan dengan aman. Tuhan kita ini adalah satu-satunya yang melaluinya semua berkat datang kepada kita. Dia akan mengajar kita hal-hal ini. Dalam menanggung hidup ini, kita menemukan Ia adalah teladan terbaik. Apakah yang lebih kita inginkan selain memiliki seorang sahabat yang baik di sisi kita, yang tidak akan meninggalkan kita dalam pekerjaan dan kesulitan, sebagaimana sahabat-sahabat duniawi melakukannya? Terberkatilah ia yang sungguh mencintai-Nya dan selalu membawa-Nya di sisinya! Marilah kita mengingat Santo Paulus: kelihatannya tidak ada nama lain yang meluncur dari bibirnya selain nama Yesus, seperti seorang yang selalu membawa Tuhan dekat dengan hatinya. Sekali saya memahami kebenaran ini, saya dengan hati-hati menimbang kehidupan para kudus, para kontemplatif besar, dan menemukan bahwa mereka tidak mengambil jalan lain: Santo Fransiskus dengan stigmata, Santo Antonius dari Padua dengan Kanak-kanak Yesus; Santo Bernards menemukan sukacitanya dalam Kemanusiaan Kristus; Santa Catharina dari Siena- dan banyak lagi yang tentunya Yang Terhormat lebih tahu daripada saya.
Doa
Allah yang bersemayam di istana mulia, atas dorongan Roh Kudus santa Teresia telah menunjukkan kepada umat-Mu jalan menuju kesempurnaan. Semoga budi kami selalu dibimbing oleh ajarannya yang luhur, dan hati kami dikobarkan oleh keinginan akan kesucian sejati. Demi Yesus Kristus, Putera-Mu, Tuhan kami, yang bersama Dikau, hidup dan berkuasa, Allah, sepanjang segala masa.
Santa Theresia dari Avila, doakanlah kami!
Karismatik dan Kontemplatif: Apa Kata Yohanes Salib?
Oleh Ralph Martin
Versi asli dapat dibaca di sini (klik)
Kontak pertamaku dengan Yohanes Salib terjadi sesaat setelah tahun terakhir saya di Notre Dame. Mengikuti gerakan Cursillo beberapa bulan sebelum kelulusan membawa dampak besar dalam hidupku. Dari mengalami berbagai kebingungan sampai karena rahmat Allah dibawa kepada perjumpaan yang mendalam dengan realitas Tuhan yang bangkit, dan dicurahi keinginan yang begitu kuat untuk menjadi satu dengan-Nya dan melayani Dia. Saya sebenarnya berpikir bahwa saya diperkenalkan kepada dimensi iman yang karismatik dan kontemplatif walaupun saat itu saya tidak memiliki suatu istilah atau konsep untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
Saya tahu bahwa Yohanes Salib adalah tokoh yang sungguh �dalam� dan saya memutuskan bahwa saya harus membaca karya-karyanya. Saya mulai dengan �Mendaki Gunung Karmel� dan membaca sekitar 100 halaman sebelum memutuskan bahwa karya itu terlalu �gelap� dan negatif, jadi saya meletakkannya dan berhenti membacanya tanpa selesai. Kemudian saya melanjutkan sekolah dengan belajar filsafat di Princeton dan Tuhan menyediakan sarana lain untuk membantu pertumbuhan rohani saya.
Pada tahun pertama di sekolah itu saya diminta oleh seorang Uskup untuk membantu pendirian kantor nasional pertama bagi gerakan Cursillo di Lansing, Michigan. Saat itu gerakan pembaruan karismatik dalam Gereja Katolik muncul dan saya segera terlibat dengannya, membantu mendirikan penerbitannya yang pertama, kantor internasionalnya yang pertama, struktur kepemimpinannya dan komunitas-komunitas awalnya. Selama empat tahun saya dan istri saya tinggal di Belgia sebagai sebuah keluarga muda yang membantu Kardinal Suenens memenuhi perintah dari Paus Paulus VI dan kemudian dari Yohanes Paulus II untuk membantu gerakan karismatik berkembang dengan benar dalam Gereja.
Pada akhir tahun 1989 dan awal 1990-an banyak komunitas Katolik karismatik mengalami pemurnian dan pembaruan yang sulit tetapi sungguh perlu. Pada waktu ini saya memutuskan untuk mengambil gelar teologi lanjutan dalam bidang Eklesiologi di Seminari Hati Kudus di Keuskupan Agung Detroit karena banyak masalah yang muncul dalam komunitas-komunitas ini berkaitan dengan eklesiologi. Dekan di fakultas itu kemudian mendorong saya untuk mengambil gelar master teologi dan memberi saya banyak kredit dari tulisan-tulisan yang telah saya kerjakan sebagai suatu insentif.
Sewaktu mempelajari Sejarah Spiritualitas saya berjumpa lagi dengan Yohanes Salib. Tugas bacaan dalam pelajaran itu adalah �Madah Rohani�. Saya ingat bagaimana saya duduk di bandara Zurich, Switzerland menunggu penerbangan pulang ke US (sekolah teologi saya bersifat paruh waktu dan saya terus menerus bepergian untuk pelayanan) dan melakukan tugas bacaan saya. Saat saya membaca �Madah Rohani� rasanya seperti dibanjiri dengan iluminasi (penerangan). Segala hal yang telah saya alami, harapkan, inginkan, dan berani saya impikan, baik dalam hidup duniawi dan rohani saya, diungkapkan dalam tulisan Yohanes Salib dengan kejelasan dan kedalaman yang secara harfiah membuat saya sulit bernafas. Saya tidak bisa membuka mata saya; saya sulit berbicara, cahaya yang membanjiri keberadaan saya terlalu kuat.
Pengalaman ini membuat saya memiliki keinginan besar untuk membaca semua karya Yohanes Salib, semua karya Theresia dari Avila, semua karya dari Theresia dari Liseaux dan untuk memahami apa yang mereka terima dari Allah untuk diajarkan. Begitu kerinduan ini muncul mereka menjadi pembimbing hidup rohani saya yang paling penting. Dan kemudian, tanpa diduga-duga, saya menerima telefon dari Universitas Fransiskan di Steubenville yang menanyakan apakah saya mau mengajar kursus musim panas lanjutan dalam bidang penginjilan dalam program MA musim panas. Saya mengatakan bahwa saya tertarik tetapi saya lebih berminat untuk mengajarkan tentang Yohanes Salib dan Theresia dari Avila. Mereka mengatakan ya dan dimulailah suatu fase yang sungguh tidak terduga dalam hidup saya.
Sambil melanjutkan pelayanan saya dengan Renewal Ministries dimana saya adalah pemimpinnya (sebuah organisasi yang didedikasikan bagi pembaruan Katolik dan penginjilan, yang terlibat terutama dalam pelayanan media dan karya misi di lebih dari 20 negara; www.renewalministries.net) saya mulai mengajar dalam bidang teologi spiritual dengan cara yang regular. Selama 4 tahun terakhir di Universitas Fransiskan untuk program musim panas mereka, kemudian dalam kursus Spiritualitas Katolik yang disyaratkan untuk gelar teologi di Ave Maria College di sini di Michigan, dan untuk beberapa tahun terakhir mengajar Pengantar Spiritualitas untuk kursus bagi para seminaris setingkat college dan pelayan pastoral awam di Seminari Hati Kudus di Detroit, dan baru-baru ini mengajar kursus tingkat lanjutan di seminari dalam bidang Penginjilan dan Spiritualitas. Sejumlah tokoh Karmelit menonjol dalam beberapa kursus ini.
Pada masa-masa ini saya tetap melanjutkan aktifitas saya berbicara di banyak acara yang berorientasi keapda pembaruan karismatik di berbagai tempat di dunia, tetapi juga dalam acara-acara lain, termasuk retret-retret dan konferensi-konferensi Karmelit. Saya secara rutin bertemu seseorang yang mengatakan kepada saya begini: �Dulu saya karismatik tetapi sekarang saya kontemplatif.� Atau, dari sudut lain, �Saya lebih menyukai doa kontemplatif yang tenang dan tidak akan pernah menjadi karismatik.� Atau: �Bagaimana Anda dapat mendorong pelaksanaan (ungkapan) karunia-karunia karismatik? Tidakkah Anda sadari apa yang Yohanes Salib katakan tentang pengalaman-pengalaman rohani semacam ini?�
Sepertinya ada kesan umum bahwa karismatik dan kontemplatif itu bertentangan satu sama lain, dan bukannya saling melengkapi, dan bahwa Yohanes Salib mengecam penggunaan karunia-karunia karismatik. Saya ingin menyampaikan beberapa refleksi tentang masalah ini yang harapannya bisa menjadi pertimbangan ulang dari asumsi-asumsi semacam ini, yang saya percaya, bahwa asumsi semacam itu salah, dan tidak benar-benar menggambarkan posisi Yohanes Salib yang sebenarnya atau kebeanran sebagaimana disampaikan oleh Kitab Suci dan Kuasa Mengajar Gereja. Ada banyak masalah yang harus dibahas, tetapi marilah kita fokus kepada salah satunya saja dulu.
Apakah Yohanes Salib Mengecam Penggunaan Karunia Karismatik?
Dengan membaca Yohanes Salib, kita tahu bahwa perhatian utamanya adalah menunjukkan bagaimana segala yang lain daripada Allah sendiri dapat menjadi suatu kesulitan-suatu halangan, yang memperlambat, atau mengalihkan kita dari kemajuan kea rah tujuan akhir persatuan seperti dalam Beatific Vision (Pandangan Terberkati, atau dalam sejumlah bentuk komunikasi spiritual yang juga merupakan partisipasi aktual dari persatuan semacam itu).
Salah satu kontribusi Yohanes Salib yang paling penting adalah pandangannya yang seperti laser yang menunjukkan kepada kita bahwa pengalaman yang paling rohani sekalipun dapat berfungsi sebagai halangan untuk bersatu dengan Allah jika kita mencarinya atau terikat dengannya. Yohanes mengakui bahwa Allah memberikan pengalaman-pengalaman ini karena berbagai macam alasan, termasuk kelemahan manusiawi kita, tetapi ia mendorong kita agar tidak terikat dengannya, tetapi untuk membiarkan rahmat dari pengalaman itu memperdalam iman, harapan, dan kasih dalam hidup kita.
Penting sekali untuk memperhatikan pembedaan kritis antara pengalaman rohani dimana kita adalah penerimanya atau pengalaman yang diberikan untuk pertumbuhan rohani kita (penghiburan dalam doa, sukacita rohani, berbagai macam visiun/pengelihatan, lokusi, rapture/levitasi, dll) dan pengalaman rohani, dimana kita menjadi penyalur darinya, untuk pertumbuhan Gereja atau karya evangelisasi (sabda pengetahuan atau kebijaksanaan bagi orang lain, karunia penyembuhan, mukjizat, kata-kata nubuat, bahasa roh dan penafsirannya, karunia kemurahan hati, karunia memerintah, karunia pengajaran dan berkhotbah, karunia �membantu� dst). Sementara memang ada suatu wilayah dimana dua jenis pengalaman rohani menjadi tumpang tindih pembedaan diantara keduanya tetaplah penting.
Pengalaman rohani jenis kedua ini disebut sebagai �karisma� atau anugerah dalam Perjanjian Baru. Perjanjian Baru tidak mencoba untuk membuat daftar lengkap dari karisma semacam itu atau karya-karya Roh Kudus bagi kepentingan yang lain, tetapi menyediakan beberapa daftar untuk menunjukkan kekayaan dan keragaman karya Roh Kudus bagi orang Kristen untuk kepentingan sesama. Beberapa daftar utama- dan pengajaran alkitabiah tentang karisma- dapat ditemukan di 1 Korintus 12-14 dan Roma 12:1-8.
Yohanes Salib tidak berniat untuk menulis suatu teologi positif yang menyeluruh dan seimbang mengenai karya karismatik Roh Kudus untuk kepentingan sesama Yohanes Salib membahas mereka dalam bukunya �Mendaki Gunung Karmel� III bab 30-32. Dalam buku ini Yohanes Salib membahas tentang bagaiman kehendak menjadi tertarik dengan karunia-karunia yang asli (sungguh berasal dari Allah) namun dalam suatu cara yang menghalangi kemajuan untuk bersatu dengan Allah. Dalam bab-bab ini ia embahas realitas anugerah-anugerah rohani dan bagaimana kehendak bisa tertarik dengannya, lima dari enam kelompok anugerah dibahasnya. Jadi walaupun tulisannya secara khusus membahas kemungkinan bahaya yang timbul dari karunia karismatik namun ia meyakini realitasnya dan juga kegunaanya (mengikuti terminology Thomistik ia menyebut mereka gratiae gratis datae/rahmat yang diberikan dengan percuma, dalam arti tidak menguduskan dan tidak mensyaratkan kekudusan) dan secara spesifik mengutip karunia karismatik dari 1 Kor 12:9-10 sebagai bentuk karya Roh Kudus yang hendak dibahasnya.
�Contoh dari karunia-karunia ini adalah karunia kebijaksanaan dan pengetahuan yang diberikan Allah kepada Salomo (1 Raj13:7-12) dan rahmat yang diurutkan oleh Santo Paulus: iman, karunia penyembuhan, melakukan mukjizat, nubuat, pengetahuan dan pembedaan roh, penafsiran kata-kata, dan juga bahasa roh (1 Kor 12:9-10).�
Yohanes Salib mengakui pengajaran alkitabah tentang karunia-karunia ini. �Pengunaan karunia-karunia ini secara langsung berkaitan demi kebaikan sesama, dan Allah mencurahkan mereka untuk tujuan itu, seperti dikatakan oleh St. Paulus: �roh dikaruniakan untuk kepentingan sesama(1Kor 12:7). Pernyataan ini dimengerti dalam acuan kepada karunia-karunia ini.� (Mendaki Gunung Karmel, III, 30, 2)
Kemudian ia membahas dua macam manfaat yang diberikan Allah melalui penganugerahan karunia-karunia ini.
�Manfaat sementara termasuk penyembuhan bagi yang sakit, memulihkan pengelihatan bagi yang buta, membangkitkan yang mati, pengusiran setan, menubuatkan masa depan agar orang dapat berhati-hati, dan hal-hal lain serupa itu.
Manfaat kekal dan spiritual termasuk pengetahuan dan cinta akan Allah yang disebabkan oleh karya-karya ini baik dalam diri mereka yang menjalankannya atau dalam diri mereka yang baginya karunia ini dijalankan, atau bagi yang menyaksikan karunia ini dijalankan.� (Mendaki Gunung Karmel, III, 30,3)
Berkaitan dengan orang yang menggunakan karunia-karunia semacam itu, Yohanes Salib menasehati mereka untuk jangan bersukacita karena mereka memiliki dan menggunakan karunia semacam itu, tetapi hendaknya bersukacita hanya karena mereka melakukan kehendak Allah dengan didorong oleh kasih sejati. Dia mengutip peringatan Alkitab yang penting dan umum; 1 Kor 13:1-2 dengan peringatannya untuk tetap mengutakan kasih atas semua hal ini, dan Luk 10:20 bersamaan dengan nasehat Yesus agar bersukacita karena hal-hal yang penting, bukan hanya karena setan-setan tunduk kepada kita dalam karya penginjilan tetapi karena �namamu tertulis di kitab kehidupan.� (Mendaki Gunung Karmel, III, 30, 4-5)
Berkaitan dengan orang yang memperoleh manfaat dari pelaksanaan karunia-karunia ini, Yohanes Salib menekankan bahwa walaupun baik tubuh kita ini disembuhkan, setan diusir dan keaslian nubuat mengilhami dan memperingatkan orang, sukacita karena pemberian sementara ini janganlah terlalu besar (�manfaat sementara dari karya supranatural dan mukjizat hanya sedikit atau bahkan tidak mendatangkan sukacita bagi jiwa�), kecuali jiwa yang mengalami manfaat ini, berbalik kepada Allah dan menjadi dipersatukan atau dipersatukan lebih dalam dengan-Nya. Sebagaimana dinyatakan Yesus, ada sukacita besar di surga jika ada satu orang bertobat. Ungkapan sukacita yang lebih penuh sepatutnya dikhususkan bagi apa yang memiliki nilai abadi seperti pertobatan sejati dan berbalik kepada Allah.
Yohanes Salib secara cerdas menunjuk bahasa bagi jiwa yang menggunakan karunia-karunia ini dengan sukacita yang berlebihan semata karena manfaat sementara dari pemberian-pemberian ini. Dia menujuk bahwa ketertarikan yang berlebihan atau sukacita karena memiliki karunia-karunia ini dapat dengan sangat mudah menuntun orang kepada penggunaannya yang tidak pantas dan bahkan tidak otentik. Yohanes Salib mengatakan: �Orang, yang bersukacita karena karunia-karunia ini, tidak hanya menginginkan untuk mempercayainya lebih lagi, tetapi merasa berbeban untuk menggunakannya diluar waktu yang tepat.� (Mendaki Gunung Karmel, III, 31,2) Yohanes Salib menekankan bahwa hal semacam ini dapat membuat orang untuk menjadikan hal itu dibuat-buat, karena mereka begitu terikat dengan penampilan lahiriah memiliki karunia-karunia tertentu.
Hal itu bahkan dapat membuka bahaya bagi pemalsuan karunia oleh setan dalam penggunaan karunia-karunia. �Saat iblis mengenali keterikatan mereka terhadap keajaiban-keajaiban ini, iblis membuka lahan yang luas, menyediakan bahan-bahan untuk usaha, dan iblis pun campur tangan secara luas.� (Mendaki Gunung Karmel, III, 31, 4) Ketertarikan yang berlebihan ini bahkan dapat menuntun orang kepada kerjasama yang eksplisit dengan setan dan mengubah seseorang menjadi penyihir atau dukun.
Akibat buruk lain dari penggunaan karunia terpisah dari cinta kasih dan ketaatan kepada kehendak Allah dan dorongan Roh Kudus adalah mendatangkan nama jelek bagi sesuatu yang sungguh supranatural. Pelaksanaan karunia yang gagal, karena terpisah dari kehendak Allah, menuntun kepada munculnya ketidakpercayaan dan kurangnya rasa hormat akan hal-hal yang dari Allah dalam hati mereka yang melihatnya. Iman dilemahkan dengan berbagai cara dalam hati mereka yang secara berlebihan terikat dengan karunia-karunia ini dan dalam hati mereka yang menyaksikan pelaksanaan karunia yang tidak otentik ini.
Yohanes salib juga menyebutkan godaan besar kepada kekosongan atau kemuliaan kosong dalam penggunaan secara tidak dewasa dari karunia-karunia ini, hal itu akan menghasilkan dalam diri mereka yang menjalankan karunia-karunia ini suatu motif selain daripada kemuliaan Allah dan kebaikan jiwa-jiwa.
Dengan secara cerdas menunjukkan bahaya-bahaya penggunaan karunia-karunia karismatik- yang adalah tujuan utama pengajarannya- Yohanes Salib juga, secara tanpa sengaja, memberi banyak instruksi positif mengenai bagaimana karunia karismatik ini digunakan. Yohanes menunjukkan pentingnya penggunaan karunia-karunia ini dalam suatu cara yang tepat menurut �waktu dan caranya�.
�Benar bahwa saat Allah memberikan karunia-karunia dan rahmat-rahmat ini, Ia memberikan suatu cahaya bagi mereka dan suatu dorongan sesuai waktu dan cara pelaksanaannya.� (Mendaki Gunung Karmel, III, 31,2)
Yohanes juga menunjuk agar karunia-karunia dapat bekerja secara cocok dibutuhkan suatu penyangkalan akan ide-ide dan keinginan kita mengenai bagaimana hal itu harus bekerja dan kepercayaan mendalam akan Allah, serta ketaatan sejati kepada gerakan Roh-Nya.
�Jadi mereka yang memiliki karunia-karunia supranatural ini harus tidak menginginkan atau bersukacita dalam penggunaanya, juga mereka harus tidak perhatian akan cara pelaksanaanya. Karena Allah, yang memberikan rahmat secara supranatural untuk kebaikan Gereja atau anggota-anggotanya, juga akan memberikan secara supranatural, cara dan waktu dimana karunia-karunia ini harus digunakan. Karena Tuhan memerintahkan para murid-Nya untuk jangan khawatir mengenai apa dan bagaimana harus berbicara, karena urusan ini adalah masalah iman yang supranatural, dan karena karya-karya ini juga termasuk urusan supranatural maka Ia juga mau agar orang-orang yang diberi karunia ini menunggu sampai Dia sendiri menjadi pekerjanya dengan menggerakan hati mereka (Mat 10:19; Mrk 13:11). Karena melalui kuasa Allah-lah setiap kuasa lain harus dijalankan. Dalam Kisah Para Rasul para murid memohon kepada-Nya dalam doa untuk mengulurkan tangan-Nya bagi pelaksanaan mukjizat dan penyembuhan melalui mereka, agar iman akan Tuhan kita Yesus Kristus akan diperkenalkan ke dalam hati [mereka yang menerima mukjizat dan penyembuhan] (Kis4: 29-30).
Dalam semua uraiannya Yohanes Salib tidak digerakkan oleh keinginan untuk �memadamkan� karunia-karunia karismatik Roh Kudus tetapi untuk menjamin penggunaannya yang otentik, agar karunia-karunia ini sungguh mencapai tujuannya, baik di dalam diri yang menggunakan, dan dalam diri yang menerima manfaat dari penggunaannya, dan dalam diri semua orang yang Allah kehendaki.
Jawaban apa yang sekarang dapat kita berikan kepada pertanyaan awal kita? Apakah Yohanes Salib mengecam penggunaan karunia-karunia karismatik? Tidak, ia tidak mengecamnya. Sebaliknya, ia memberi banyak saran yang berguna agar karunia-karunia ini dapat digunakan secara efektif untuk memenuhi tujuan Allah memberikannya.
Jelas bahwa pengajaran Yohanes Salib tentang pengalaman rohani dalam bagian-bagian lain tulisan-tulisannya dan lebih lagi secara khusus pengajarannya tentang karunia-karunia karismatik dalam bagian Mendaki Gunung Karmel yang telah kita bahas dalam artikel ini, akan sangat bermanfaat bagi mereka yang terlibat dalam gerakan pembaruan karismatik. saya telah melakukan yang terbaik dari diri saya selama beberapa tahun terakhir untuk memperkenalkan kebijaksanaan Karmelit kepada gerakan pembaruan karismatik.
Di sisi lain tidakkah dikotomi (pemisahan) yang dianut di sejumlah lingkungan Karmelit antara dimensi kontemplatif dan karismatik karya Roh Kudus perlu ditinjau kembali? Dan hal ini, secara khusus dalam terang- bukan hanya ajaran Yohanes Salib sendiri yang telah kita bahas- tetapi juga dari dia yang oleh banyak orang secara tepat disebut sebagai Paus �Karmelit� yaitu Yohanes Paulus II yang secara tekun memanggil keterbukaan seluruh Gereja terhadap karya karismatik Roh Kudus (sebagaimana juga kepada kedalaman doa kontemplatif!)
Pada Pesta Pentakosta tahun 1998, Paus meminta kepada perwakilan dari semua gerakan pembaruan dalam Gereja untuk bergabung dengannya merayakan pesta ini. Lebih dari 500 ribu orang dari berbagai gerakan datang. Apa yang Paus lakukan adalah untuk mengumpulkan bersama pengajaran Kitab Suci dan Vatikan II tentang karunia Roh Kudus dan menyatakan kepada mereka dengan mendesak dan penuh hasrat. Ia memulainya dengan:
�Kesadaran diri Gereja didasarkan pada kepastian bahwa Yesus Kristus hidup, ia bekerja saat ini dan mengubah hidup�Dengan Konsili Vatikan II, Sang Penghibur baru-baru ini memberikan kepada Gereja� suatu Pentakosta yang diperbarui, Ia mengilhami suatu dinamisme yang tidak dapat diramalkan.
Kapanpun Roh Kudus campur tangan, Ia membuat orang-orang terpesona. Ia membawa peristiwa yang kebaruannya mengagumkan; Ia mengubah orang dan sejarah secara radikal. Ini adalah pengalaman tak terlupakan dalam Konsili Oikumene Vatikan II yang didalmnya, dibawah bimbingan Roh yang sama, Gereja menemukan kembali dimensi karismatiknya sebagai salah satu unsur dasarnya: �Tidak hanya melalui sakramen-sakramen dan pelayanan Gereja Roh Kudus menguduskan umat, memimpin mereka dan memperkaya mereka dengan anugerah-anugerah. Dalam membagikan rahmat-Nya menurut kehendak-Nya (cf. 1Kor 12:11), Dia juga membagikan rahmat istimewa kepada umat beriman dari segala tingkatan� Ia menjadikan mereka mampu dan siap untuk menjalankan berbagai tugas dan jabatan bagi pembaruan dan pembangunan Gereja� (Lumen Gentium 12).�
Dengan kata-kata ini Paus Yohanes Paulus II secara jujur mengakui apa yang telah ditunjukkan oleh banyak teolog, pakar Kitab Suci, dan sejarawan Gereja dalam penelitian-penelitian mereka, yaitu bahwa karya karismatik Roh Kudus adalah esensial dan melengkapi realitas sakramental dan dimensi hierarkis keberadaan Gereja. Paus juga secara jujur mengakui bahwa dimensi karismatik yang penting ini dengan suatu cara pernah terlupakan, tertutup oleh penekanan yang terlalu ekslusif akan dimensi sakramental dan hierarkis, dan diperlukan suatu tindakan khusus Roh Kudus dalam Konsili Vatikan II untuk membawa Gereja kembali sadar akan pentingnya dimensi yang �mendasar� ini.
Dalam pidatonya ini Paus melanjutkan dengan menyatakan secara eksplisit: �Aspek institusional dan karismatik adalah sama mendasarnya bagi pembentukan Gereja. Keduanya berkontribusi, walaupun secara berbeda, bagi hidup, pembaruan dan pengudusan umat Allah. Dari penyelenggaraan ilahi inilah penemuan kembali dimensi karismatik Gereja baik sebelum dan sesudah Konsili, meninggalkan suatu pola pertumbuhan yang dapat dikenali dan telah menghasilkan terbentuknya gerakan-gerakan gerejani dan komunitas-komunitas baru� Kalian yang hadir disini, adalah bukti yang terlihat dari �pencurahan� Roh Kudus ini.
Paus kemudian membuat permohonan luar biasa ini kepada semua orang Kristen dengan susah payah berdiri dari tahtanya, sambil berkata: �Hari ini, saya ingin berseru kepada kalian semua yang berkumpul di sini, di Lapangan Santo Petrus dan kepada semua orang Kristen: Bukalah dirimu dengan sikap ketaatan kepada karunia-karunia Roh Kudus! Terimalah dengan penuh syukur dan ketaatan karisma yang tanpa henti diberikan oleh Roh kepada kita! (L�Observatore Romano, English Language Edition, June 3, 1998; This is the day the Lord has made! Holy Father holds historic meeting with ecclesial movements and new communities; pp. 1-2.)
Dengan menarik manfaat dari kebijaksanaan Yohanes Salib tentang bagaimana karunia-karunia ini dapat bekerja secara murni dan otentik, semoga kita juga menanggapi panggilan dari Paus dan Roh Kudus untuk membuka diri kepada karunia-karunia ini, bukan untuk kepentingan diri kita sendiri tetapi untuk kepentingan Gereja dan dunia.
Ralph Martin
Presiden, Renewal Ministries
Pengajar Teologi
Seminari Tinggi Hati Kudus
rcpmartin@earthlink.net
Versi asli dapat dibaca di sini (klik)
Kontak pertamaku dengan Yohanes Salib terjadi sesaat setelah tahun terakhir saya di Notre Dame. Mengikuti gerakan Cursillo beberapa bulan sebelum kelulusan membawa dampak besar dalam hidupku. Dari mengalami berbagai kebingungan sampai karena rahmat Allah dibawa kepada perjumpaan yang mendalam dengan realitas Tuhan yang bangkit, dan dicurahi keinginan yang begitu kuat untuk menjadi satu dengan-Nya dan melayani Dia. Saya sebenarnya berpikir bahwa saya diperkenalkan kepada dimensi iman yang karismatik dan kontemplatif walaupun saat itu saya tidak memiliki suatu istilah atau konsep untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
Saya tahu bahwa Yohanes Salib adalah tokoh yang sungguh �dalam� dan saya memutuskan bahwa saya harus membaca karya-karyanya. Saya mulai dengan �Mendaki Gunung Karmel� dan membaca sekitar 100 halaman sebelum memutuskan bahwa karya itu terlalu �gelap� dan negatif, jadi saya meletakkannya dan berhenti membacanya tanpa selesai. Kemudian saya melanjutkan sekolah dengan belajar filsafat di Princeton dan Tuhan menyediakan sarana lain untuk membantu pertumbuhan rohani saya.
Pada tahun pertama di sekolah itu saya diminta oleh seorang Uskup untuk membantu pendirian kantor nasional pertama bagi gerakan Cursillo di Lansing, Michigan. Saat itu gerakan pembaruan karismatik dalam Gereja Katolik muncul dan saya segera terlibat dengannya, membantu mendirikan penerbitannya yang pertama, kantor internasionalnya yang pertama, struktur kepemimpinannya dan komunitas-komunitas awalnya. Selama empat tahun saya dan istri saya tinggal di Belgia sebagai sebuah keluarga muda yang membantu Kardinal Suenens memenuhi perintah dari Paus Paulus VI dan kemudian dari Yohanes Paulus II untuk membantu gerakan karismatik berkembang dengan benar dalam Gereja.
Pada akhir tahun 1989 dan awal 1990-an banyak komunitas Katolik karismatik mengalami pemurnian dan pembaruan yang sulit tetapi sungguh perlu. Pada waktu ini saya memutuskan untuk mengambil gelar teologi lanjutan dalam bidang Eklesiologi di Seminari Hati Kudus di Keuskupan Agung Detroit karena banyak masalah yang muncul dalam komunitas-komunitas ini berkaitan dengan eklesiologi. Dekan di fakultas itu kemudian mendorong saya untuk mengambil gelar master teologi dan memberi saya banyak kredit dari tulisan-tulisan yang telah saya kerjakan sebagai suatu insentif.
Sewaktu mempelajari Sejarah Spiritualitas saya berjumpa lagi dengan Yohanes Salib. Tugas bacaan dalam pelajaran itu adalah �Madah Rohani�. Saya ingat bagaimana saya duduk di bandara Zurich, Switzerland menunggu penerbangan pulang ke US (sekolah teologi saya bersifat paruh waktu dan saya terus menerus bepergian untuk pelayanan) dan melakukan tugas bacaan saya. Saat saya membaca �Madah Rohani� rasanya seperti dibanjiri dengan iluminasi (penerangan). Segala hal yang telah saya alami, harapkan, inginkan, dan berani saya impikan, baik dalam hidup duniawi dan rohani saya, diungkapkan dalam tulisan Yohanes Salib dengan kejelasan dan kedalaman yang secara harfiah membuat saya sulit bernafas. Saya tidak bisa membuka mata saya; saya sulit berbicara, cahaya yang membanjiri keberadaan saya terlalu kuat.
Pengalaman ini membuat saya memiliki keinginan besar untuk membaca semua karya Yohanes Salib, semua karya Theresia dari Avila, semua karya dari Theresia dari Liseaux dan untuk memahami apa yang mereka terima dari Allah untuk diajarkan. Begitu kerinduan ini muncul mereka menjadi pembimbing hidup rohani saya yang paling penting. Dan kemudian, tanpa diduga-duga, saya menerima telefon dari Universitas Fransiskan di Steubenville yang menanyakan apakah saya mau mengajar kursus musim panas lanjutan dalam bidang penginjilan dalam program MA musim panas. Saya mengatakan bahwa saya tertarik tetapi saya lebih berminat untuk mengajarkan tentang Yohanes Salib dan Theresia dari Avila. Mereka mengatakan ya dan dimulailah suatu fase yang sungguh tidak terduga dalam hidup saya.
Sambil melanjutkan pelayanan saya dengan Renewal Ministries dimana saya adalah pemimpinnya (sebuah organisasi yang didedikasikan bagi pembaruan Katolik dan penginjilan, yang terlibat terutama dalam pelayanan media dan karya misi di lebih dari 20 negara; www.renewalministries.net) saya mulai mengajar dalam bidang teologi spiritual dengan cara yang regular. Selama 4 tahun terakhir di Universitas Fransiskan untuk program musim panas mereka, kemudian dalam kursus Spiritualitas Katolik yang disyaratkan untuk gelar teologi di Ave Maria College di sini di Michigan, dan untuk beberapa tahun terakhir mengajar Pengantar Spiritualitas untuk kursus bagi para seminaris setingkat college dan pelayan pastoral awam di Seminari Hati Kudus di Detroit, dan baru-baru ini mengajar kursus tingkat lanjutan di seminari dalam bidang Penginjilan dan Spiritualitas. Sejumlah tokoh Karmelit menonjol dalam beberapa kursus ini.
Pada masa-masa ini saya tetap melanjutkan aktifitas saya berbicara di banyak acara yang berorientasi keapda pembaruan karismatik di berbagai tempat di dunia, tetapi juga dalam acara-acara lain, termasuk retret-retret dan konferensi-konferensi Karmelit. Saya secara rutin bertemu seseorang yang mengatakan kepada saya begini: �Dulu saya karismatik tetapi sekarang saya kontemplatif.� Atau, dari sudut lain, �Saya lebih menyukai doa kontemplatif yang tenang dan tidak akan pernah menjadi karismatik.� Atau: �Bagaimana Anda dapat mendorong pelaksanaan (ungkapan) karunia-karunia karismatik? Tidakkah Anda sadari apa yang Yohanes Salib katakan tentang pengalaman-pengalaman rohani semacam ini?�
Sepertinya ada kesan umum bahwa karismatik dan kontemplatif itu bertentangan satu sama lain, dan bukannya saling melengkapi, dan bahwa Yohanes Salib mengecam penggunaan karunia-karunia karismatik. Saya ingin menyampaikan beberapa refleksi tentang masalah ini yang harapannya bisa menjadi pertimbangan ulang dari asumsi-asumsi semacam ini, yang saya percaya, bahwa asumsi semacam itu salah, dan tidak benar-benar menggambarkan posisi Yohanes Salib yang sebenarnya atau kebeanran sebagaimana disampaikan oleh Kitab Suci dan Kuasa Mengajar Gereja. Ada banyak masalah yang harus dibahas, tetapi marilah kita fokus kepada salah satunya saja dulu.
Apakah Yohanes Salib Mengecam Penggunaan Karunia Karismatik?
Dengan membaca Yohanes Salib, kita tahu bahwa perhatian utamanya adalah menunjukkan bagaimana segala yang lain daripada Allah sendiri dapat menjadi suatu kesulitan-suatu halangan, yang memperlambat, atau mengalihkan kita dari kemajuan kea rah tujuan akhir persatuan seperti dalam Beatific Vision (Pandangan Terberkati, atau dalam sejumlah bentuk komunikasi spiritual yang juga merupakan partisipasi aktual dari persatuan semacam itu).
Salah satu kontribusi Yohanes Salib yang paling penting adalah pandangannya yang seperti laser yang menunjukkan kepada kita bahwa pengalaman yang paling rohani sekalipun dapat berfungsi sebagai halangan untuk bersatu dengan Allah jika kita mencarinya atau terikat dengannya. Yohanes mengakui bahwa Allah memberikan pengalaman-pengalaman ini karena berbagai macam alasan, termasuk kelemahan manusiawi kita, tetapi ia mendorong kita agar tidak terikat dengannya, tetapi untuk membiarkan rahmat dari pengalaman itu memperdalam iman, harapan, dan kasih dalam hidup kita.
Penting sekali untuk memperhatikan pembedaan kritis antara pengalaman rohani dimana kita adalah penerimanya atau pengalaman yang diberikan untuk pertumbuhan rohani kita (penghiburan dalam doa, sukacita rohani, berbagai macam visiun/pengelihatan, lokusi, rapture/levitasi, dll) dan pengalaman rohani, dimana kita menjadi penyalur darinya, untuk pertumbuhan Gereja atau karya evangelisasi (sabda pengetahuan atau kebijaksanaan bagi orang lain, karunia penyembuhan, mukjizat, kata-kata nubuat, bahasa roh dan penafsirannya, karunia kemurahan hati, karunia memerintah, karunia pengajaran dan berkhotbah, karunia �membantu� dst). Sementara memang ada suatu wilayah dimana dua jenis pengalaman rohani menjadi tumpang tindih pembedaan diantara keduanya tetaplah penting.
Pengalaman rohani jenis kedua ini disebut sebagai �karisma� atau anugerah dalam Perjanjian Baru. Perjanjian Baru tidak mencoba untuk membuat daftar lengkap dari karisma semacam itu atau karya-karya Roh Kudus bagi kepentingan yang lain, tetapi menyediakan beberapa daftar untuk menunjukkan kekayaan dan keragaman karya Roh Kudus bagi orang Kristen untuk kepentingan sesama. Beberapa daftar utama- dan pengajaran alkitabiah tentang karisma- dapat ditemukan di 1 Korintus 12-14 dan Roma 12:1-8.
Yohanes Salib tidak berniat untuk menulis suatu teologi positif yang menyeluruh dan seimbang mengenai karya karismatik Roh Kudus untuk kepentingan sesama Yohanes Salib membahas mereka dalam bukunya �Mendaki Gunung Karmel� III bab 30-32. Dalam buku ini Yohanes Salib membahas tentang bagaiman kehendak menjadi tertarik dengan karunia-karunia yang asli (sungguh berasal dari Allah) namun dalam suatu cara yang menghalangi kemajuan untuk bersatu dengan Allah. Dalam bab-bab ini ia embahas realitas anugerah-anugerah rohani dan bagaimana kehendak bisa tertarik dengannya, lima dari enam kelompok anugerah dibahasnya. Jadi walaupun tulisannya secara khusus membahas kemungkinan bahaya yang timbul dari karunia karismatik namun ia meyakini realitasnya dan juga kegunaanya (mengikuti terminology Thomistik ia menyebut mereka gratiae gratis datae/rahmat yang diberikan dengan percuma, dalam arti tidak menguduskan dan tidak mensyaratkan kekudusan) dan secara spesifik mengutip karunia karismatik dari 1 Kor 12:9-10 sebagai bentuk karya Roh Kudus yang hendak dibahasnya.
�Contoh dari karunia-karunia ini adalah karunia kebijaksanaan dan pengetahuan yang diberikan Allah kepada Salomo (1 Raj13:7-12) dan rahmat yang diurutkan oleh Santo Paulus: iman, karunia penyembuhan, melakukan mukjizat, nubuat, pengetahuan dan pembedaan roh, penafsiran kata-kata, dan juga bahasa roh (1 Kor 12:9-10).�
Yohanes Salib mengakui pengajaran alkitabah tentang karunia-karunia ini. �Pengunaan karunia-karunia ini secara langsung berkaitan demi kebaikan sesama, dan Allah mencurahkan mereka untuk tujuan itu, seperti dikatakan oleh St. Paulus: �roh dikaruniakan untuk kepentingan sesama(1Kor 12:7). Pernyataan ini dimengerti dalam acuan kepada karunia-karunia ini.� (Mendaki Gunung Karmel, III, 30, 2)
Kemudian ia membahas dua macam manfaat yang diberikan Allah melalui penganugerahan karunia-karunia ini.
�Manfaat sementara termasuk penyembuhan bagi yang sakit, memulihkan pengelihatan bagi yang buta, membangkitkan yang mati, pengusiran setan, menubuatkan masa depan agar orang dapat berhati-hati, dan hal-hal lain serupa itu.
Manfaat kekal dan spiritual termasuk pengetahuan dan cinta akan Allah yang disebabkan oleh karya-karya ini baik dalam diri mereka yang menjalankannya atau dalam diri mereka yang baginya karunia ini dijalankan, atau bagi yang menyaksikan karunia ini dijalankan.� (Mendaki Gunung Karmel, III, 30,3)
Berkaitan dengan orang yang menggunakan karunia-karunia semacam itu, Yohanes Salib menasehati mereka untuk jangan bersukacita karena mereka memiliki dan menggunakan karunia semacam itu, tetapi hendaknya bersukacita hanya karena mereka melakukan kehendak Allah dengan didorong oleh kasih sejati. Dia mengutip peringatan Alkitab yang penting dan umum; 1 Kor 13:1-2 dengan peringatannya untuk tetap mengutakan kasih atas semua hal ini, dan Luk 10:20 bersamaan dengan nasehat Yesus agar bersukacita karena hal-hal yang penting, bukan hanya karena setan-setan tunduk kepada kita dalam karya penginjilan tetapi karena �namamu tertulis di kitab kehidupan.� (Mendaki Gunung Karmel, III, 30, 4-5)
Berkaitan dengan orang yang memperoleh manfaat dari pelaksanaan karunia-karunia ini, Yohanes Salib menekankan bahwa walaupun baik tubuh kita ini disembuhkan, setan diusir dan keaslian nubuat mengilhami dan memperingatkan orang, sukacita karena pemberian sementara ini janganlah terlalu besar (�manfaat sementara dari karya supranatural dan mukjizat hanya sedikit atau bahkan tidak mendatangkan sukacita bagi jiwa�), kecuali jiwa yang mengalami manfaat ini, berbalik kepada Allah dan menjadi dipersatukan atau dipersatukan lebih dalam dengan-Nya. Sebagaimana dinyatakan Yesus, ada sukacita besar di surga jika ada satu orang bertobat. Ungkapan sukacita yang lebih penuh sepatutnya dikhususkan bagi apa yang memiliki nilai abadi seperti pertobatan sejati dan berbalik kepada Allah.
Yohanes Salib secara cerdas menunjuk bahasa bagi jiwa yang menggunakan karunia-karunia ini dengan sukacita yang berlebihan semata karena manfaat sementara dari pemberian-pemberian ini. Dia menujuk bahwa ketertarikan yang berlebihan atau sukacita karena memiliki karunia-karunia ini dapat dengan sangat mudah menuntun orang kepada penggunaannya yang tidak pantas dan bahkan tidak otentik. Yohanes Salib mengatakan: �Orang, yang bersukacita karena karunia-karunia ini, tidak hanya menginginkan untuk mempercayainya lebih lagi, tetapi merasa berbeban untuk menggunakannya diluar waktu yang tepat.� (Mendaki Gunung Karmel, III, 31,2) Yohanes Salib menekankan bahwa hal semacam ini dapat membuat orang untuk menjadikan hal itu dibuat-buat, karena mereka begitu terikat dengan penampilan lahiriah memiliki karunia-karunia tertentu.
Hal itu bahkan dapat membuka bahaya bagi pemalsuan karunia oleh setan dalam penggunaan karunia-karunia. �Saat iblis mengenali keterikatan mereka terhadap keajaiban-keajaiban ini, iblis membuka lahan yang luas, menyediakan bahan-bahan untuk usaha, dan iblis pun campur tangan secara luas.� (Mendaki Gunung Karmel, III, 31, 4) Ketertarikan yang berlebihan ini bahkan dapat menuntun orang kepada kerjasama yang eksplisit dengan setan dan mengubah seseorang menjadi penyihir atau dukun.
Akibat buruk lain dari penggunaan karunia terpisah dari cinta kasih dan ketaatan kepada kehendak Allah dan dorongan Roh Kudus adalah mendatangkan nama jelek bagi sesuatu yang sungguh supranatural. Pelaksanaan karunia yang gagal, karena terpisah dari kehendak Allah, menuntun kepada munculnya ketidakpercayaan dan kurangnya rasa hormat akan hal-hal yang dari Allah dalam hati mereka yang melihatnya. Iman dilemahkan dengan berbagai cara dalam hati mereka yang secara berlebihan terikat dengan karunia-karunia ini dan dalam hati mereka yang menyaksikan pelaksanaan karunia yang tidak otentik ini.
Yohanes salib juga menyebutkan godaan besar kepada kekosongan atau kemuliaan kosong dalam penggunaan secara tidak dewasa dari karunia-karunia ini, hal itu akan menghasilkan dalam diri mereka yang menjalankan karunia-karunia ini suatu motif selain daripada kemuliaan Allah dan kebaikan jiwa-jiwa.
Dengan secara cerdas menunjukkan bahaya-bahaya penggunaan karunia-karunia karismatik- yang adalah tujuan utama pengajarannya- Yohanes Salib juga, secara tanpa sengaja, memberi banyak instruksi positif mengenai bagaimana karunia karismatik ini digunakan. Yohanes menunjukkan pentingnya penggunaan karunia-karunia ini dalam suatu cara yang tepat menurut �waktu dan caranya�.
�Benar bahwa saat Allah memberikan karunia-karunia dan rahmat-rahmat ini, Ia memberikan suatu cahaya bagi mereka dan suatu dorongan sesuai waktu dan cara pelaksanaannya.� (Mendaki Gunung Karmel, III, 31,2)
Yohanes juga menunjuk agar karunia-karunia dapat bekerja secara cocok dibutuhkan suatu penyangkalan akan ide-ide dan keinginan kita mengenai bagaimana hal itu harus bekerja dan kepercayaan mendalam akan Allah, serta ketaatan sejati kepada gerakan Roh-Nya.
�Jadi mereka yang memiliki karunia-karunia supranatural ini harus tidak menginginkan atau bersukacita dalam penggunaanya, juga mereka harus tidak perhatian akan cara pelaksanaanya. Karena Allah, yang memberikan rahmat secara supranatural untuk kebaikan Gereja atau anggota-anggotanya, juga akan memberikan secara supranatural, cara dan waktu dimana karunia-karunia ini harus digunakan. Karena Tuhan memerintahkan para murid-Nya untuk jangan khawatir mengenai apa dan bagaimana harus berbicara, karena urusan ini adalah masalah iman yang supranatural, dan karena karya-karya ini juga termasuk urusan supranatural maka Ia juga mau agar orang-orang yang diberi karunia ini menunggu sampai Dia sendiri menjadi pekerjanya dengan menggerakan hati mereka (Mat 10:19; Mrk 13:11). Karena melalui kuasa Allah-lah setiap kuasa lain harus dijalankan. Dalam Kisah Para Rasul para murid memohon kepada-Nya dalam doa untuk mengulurkan tangan-Nya bagi pelaksanaan mukjizat dan penyembuhan melalui mereka, agar iman akan Tuhan kita Yesus Kristus akan diperkenalkan ke dalam hati [mereka yang menerima mukjizat dan penyembuhan] (Kis4: 29-30).
Dalam semua uraiannya Yohanes Salib tidak digerakkan oleh keinginan untuk �memadamkan� karunia-karunia karismatik Roh Kudus tetapi untuk menjamin penggunaannya yang otentik, agar karunia-karunia ini sungguh mencapai tujuannya, baik di dalam diri yang menggunakan, dan dalam diri yang menerima manfaat dari penggunaannya, dan dalam diri semua orang yang Allah kehendaki.
Jawaban apa yang sekarang dapat kita berikan kepada pertanyaan awal kita? Apakah Yohanes Salib mengecam penggunaan karunia-karunia karismatik? Tidak, ia tidak mengecamnya. Sebaliknya, ia memberi banyak saran yang berguna agar karunia-karunia ini dapat digunakan secara efektif untuk memenuhi tujuan Allah memberikannya.
Jelas bahwa pengajaran Yohanes Salib tentang pengalaman rohani dalam bagian-bagian lain tulisan-tulisannya dan lebih lagi secara khusus pengajarannya tentang karunia-karunia karismatik dalam bagian Mendaki Gunung Karmel yang telah kita bahas dalam artikel ini, akan sangat bermanfaat bagi mereka yang terlibat dalam gerakan pembaruan karismatik. saya telah melakukan yang terbaik dari diri saya selama beberapa tahun terakhir untuk memperkenalkan kebijaksanaan Karmelit kepada gerakan pembaruan karismatik.
Di sisi lain tidakkah dikotomi (pemisahan) yang dianut di sejumlah lingkungan Karmelit antara dimensi kontemplatif dan karismatik karya Roh Kudus perlu ditinjau kembali? Dan hal ini, secara khusus dalam terang- bukan hanya ajaran Yohanes Salib sendiri yang telah kita bahas- tetapi juga dari dia yang oleh banyak orang secara tepat disebut sebagai Paus �Karmelit� yaitu Yohanes Paulus II yang secara tekun memanggil keterbukaan seluruh Gereja terhadap karya karismatik Roh Kudus (sebagaimana juga kepada kedalaman doa kontemplatif!)
Pada Pesta Pentakosta tahun 1998, Paus meminta kepada perwakilan dari semua gerakan pembaruan dalam Gereja untuk bergabung dengannya merayakan pesta ini. Lebih dari 500 ribu orang dari berbagai gerakan datang. Apa yang Paus lakukan adalah untuk mengumpulkan bersama pengajaran Kitab Suci dan Vatikan II tentang karunia Roh Kudus dan menyatakan kepada mereka dengan mendesak dan penuh hasrat. Ia memulainya dengan:
�Kesadaran diri Gereja didasarkan pada kepastian bahwa Yesus Kristus hidup, ia bekerja saat ini dan mengubah hidup�Dengan Konsili Vatikan II, Sang Penghibur baru-baru ini memberikan kepada Gereja� suatu Pentakosta yang diperbarui, Ia mengilhami suatu dinamisme yang tidak dapat diramalkan.
Kapanpun Roh Kudus campur tangan, Ia membuat orang-orang terpesona. Ia membawa peristiwa yang kebaruannya mengagumkan; Ia mengubah orang dan sejarah secara radikal. Ini adalah pengalaman tak terlupakan dalam Konsili Oikumene Vatikan II yang didalmnya, dibawah bimbingan Roh yang sama, Gereja menemukan kembali dimensi karismatiknya sebagai salah satu unsur dasarnya: �Tidak hanya melalui sakramen-sakramen dan pelayanan Gereja Roh Kudus menguduskan umat, memimpin mereka dan memperkaya mereka dengan anugerah-anugerah. Dalam membagikan rahmat-Nya menurut kehendak-Nya (cf. 1Kor 12:11), Dia juga membagikan rahmat istimewa kepada umat beriman dari segala tingkatan� Ia menjadikan mereka mampu dan siap untuk menjalankan berbagai tugas dan jabatan bagi pembaruan dan pembangunan Gereja� (Lumen Gentium 12).�
Dengan kata-kata ini Paus Yohanes Paulus II secara jujur mengakui apa yang telah ditunjukkan oleh banyak teolog, pakar Kitab Suci, dan sejarawan Gereja dalam penelitian-penelitian mereka, yaitu bahwa karya karismatik Roh Kudus adalah esensial dan melengkapi realitas sakramental dan dimensi hierarkis keberadaan Gereja. Paus juga secara jujur mengakui bahwa dimensi karismatik yang penting ini dengan suatu cara pernah terlupakan, tertutup oleh penekanan yang terlalu ekslusif akan dimensi sakramental dan hierarkis, dan diperlukan suatu tindakan khusus Roh Kudus dalam Konsili Vatikan II untuk membawa Gereja kembali sadar akan pentingnya dimensi yang �mendasar� ini.
Dalam pidatonya ini Paus melanjutkan dengan menyatakan secara eksplisit: �Aspek institusional dan karismatik adalah sama mendasarnya bagi pembentukan Gereja. Keduanya berkontribusi, walaupun secara berbeda, bagi hidup, pembaruan dan pengudusan umat Allah. Dari penyelenggaraan ilahi inilah penemuan kembali dimensi karismatik Gereja baik sebelum dan sesudah Konsili, meninggalkan suatu pola pertumbuhan yang dapat dikenali dan telah menghasilkan terbentuknya gerakan-gerakan gerejani dan komunitas-komunitas baru� Kalian yang hadir disini, adalah bukti yang terlihat dari �pencurahan� Roh Kudus ini.
Paus kemudian membuat permohonan luar biasa ini kepada semua orang Kristen dengan susah payah berdiri dari tahtanya, sambil berkata: �Hari ini, saya ingin berseru kepada kalian semua yang berkumpul di sini, di Lapangan Santo Petrus dan kepada semua orang Kristen: Bukalah dirimu dengan sikap ketaatan kepada karunia-karunia Roh Kudus! Terimalah dengan penuh syukur dan ketaatan karisma yang tanpa henti diberikan oleh Roh kepada kita! (L�Observatore Romano, English Language Edition, June 3, 1998; This is the day the Lord has made! Holy Father holds historic meeting with ecclesial movements and new communities; pp. 1-2.)
Dengan menarik manfaat dari kebijaksanaan Yohanes Salib tentang bagaimana karunia-karunia ini dapat bekerja secara murni dan otentik, semoga kita juga menanggapi panggilan dari Paus dan Roh Kudus untuk membuka diri kepada karunia-karunia ini, bukan untuk kepentingan diri kita sendiri tetapi untuk kepentingan Gereja dan dunia.
Ralph Martin
Presiden, Renewal Ministries
Pengajar Teologi
Seminari Tinggi Hati Kudus
rcpmartin@earthlink.net
Tuesday, October 13, 2009
Bagaimana Membaca Kitab Suci
Oleh Uskup Agung Ortodoks Kalistos Ware
Dalam artikel ini Uskup Agung Kalistos Ware dari Gereja Ortodoks menguraikan bagaimana hendaknya kita membaca Kitab Suci. Uraiannya juga berlaku bagi orang Katolik dan mencerminkan prinsip-prinsip yang juga dianut oleh Gereja Katolik.
Teks bahasa inggris dapat dibaca di:
Bishop Kallistos Ware: How To Read The Bible
Kita percaya bahwa Kitab Suci adalah seluruhnya selaras. Dalam Kitab Suci pada yang sama diwahyukan secara ilahi dan diungkapkan secara manusiawi. Kitab Suci membawa kesaksian otoritatif akan pewahyuan diri Allah- dalam penciptaan, dalam Penjelmaan Sabda menjadi daging, dan dalam seluruh sejarah keselamatan. Dan dengan demikian Kitab Suci mengungkapkan Sabda Allah dalam bahasa manusia. Kita mengetahui, meenrima dan menafsirkan Kitab Suci melalui Gereja dan dalam Gereja. Pendekatan kita terhadap Kitab Suci pertama-tama adalah ketaatan.
Kita dapat membedakan empat kunci yang menandai pembacaan Ortodoks akan Kitab Suci yaitu:
-Pembacaan kita harus ditandai dengan ketaatan
-Pembacaan kita harus bersifat Gerejani, yaitu bersama dan dalam Gereja
-Pembacaan kita harus berpusat pada Kristus, dan;
-Pembacaan kita harus bersifat pribadi
Membaca Kitab Suci Dengan Ketaatan
Pertama-tama, saat membaca Kitab Suci, hendaknya kita mendengarnya dengan semangat ketaatan. Gereja Ortodoks percaya akan inspirasi ilahi Kitab Suci. Kitab Suci adalah �surat� dari Allah, dimana Kristus sendiri berbicara. Kitab-kitab Suci adalah kesaksian berwibawa dari Allah tentang diri-Nya sendiri. Kitab-Kitab Suci mengungkapkan Firman Allah dalam bahasa manusia. Karena Allah sendiri berbicara kepada kita dalam Kitab Suci, maka tanggapan kita yang sepatutnya adalah kepatuhan, penerimaan, dan mendengarkan. Saat kita membaca, kita menantikan Roh Kudus.
Tetapi, sementara diinspirasikan secara ilahi, Kitab Suci juga diungkapkan secara manusiawi. Kitab Suci adalah sebuah perpustakaan dengan buku-buku berbeda yang ditulis oleh pengarang yang berbeda pada masa yang berbeda. Setiap buku Kitab Suci mereleksikan cara pandang pada masa ia ditulis dan sudut pandang yang khas pengarang. Allah tidak melakukan apapun sendirian, sebaliknya rahmat ilahi bekerja sama dengan kebebasan manusia. Allah tidak menghapuskan individualitas kita tetapi memperkayanya. Dan itulah yang terjadi dalam penulisan Kitab Suci. Pengarang bukan sekedar alat yang pasif, bukan sebuah mesin dikte yang merekam pesan-pesan. Setiap pengarang Kitab Suci menyumbangkan bakat pribadinya yang khas. Bersamaan dengan sisi ilahi, juga ada unsur manusiawi dalam Kitab Suci. Kita menghargai keduanya.
Masing-masing dari empat buku Injil, misalnya, memiliki pendekatannya sendiri-sendiri. Matius menampilkan suatu pendekatan yang lebih khas Yahudi terhadap Kristus, dengan penekanan akan kerajaan surga. markus memuat gambaran yang spesifik dan hidup akan pelayanan Kristus yang tidak muncul di tempat lain. Lukas mengungkapkan universalitas cinta Kristus, belas kasihan-Nya yang menjangkau semua baik kepada orang Yahudi ataupun kepada bangsa-bangsa lain. Dalam Injil Yohanes kita menemukan suatu pendekatan yang batin dan mistik terhadap Kristus, dengan penekanan akan cahaya ilahi dan diamnya keilahian dalam diri Kristus. Kita menikmati dan mendalami sampai kepada kepenuhan variasi yang memberi hidup ini di dalam Kitab Suci.
Melalui cara ini Kitab Suci adalah ungkapan Firman Allah dalam bahasa manusia, maka juga tersedia ruang untuk suatu penelitian yang jujur dan sulit saat mendalami Kitab Suci. Mendalami sisi manusiawi dari Kitab Suci, kita menggunakan secara penuh akal budi yang diberikan Allah kepada manusia. Gereja Ortodoks tidak menolak penelitian akademis tentang asal mula, waktu, dan kepengarangan buku-buku Kitab Suci.
Bersamaan dengan unsur manusiawi ini, bagaimanapun kita selalu melihat unsur ilahi. Kitab Suci bukan sekedar buku yang ditulis oleh individu-individu pengarangnya. Dalam Kitab Suci kita tidak hanya mendengar kata-kata manusia, yang ditandai dengan kemampuan dan kepekaan yang lebih atau kurang, tetapi juga kita mendengar Sabda Allah sendiri yang abadi dan tidak diciptakan yaitu Sabda keselamatan ilahi. Ketika kita membaca Kitab Suci, maka kita tidak membaca semata-mata karena rasa ingin tahu untuk memperoleh keselamatan. Kita datang kepada Kitab Suci dengan suatu pertanyan yang sangat pribadi: �Bagaimana saya dapat diselamatkan?�
Sebagai Sabda keselamatan ilahi dalam bahasa manusia, Kitab Suci harus membangkitkan dalam diri kita suatu rasa takjub. Pernahkan kamu merasakan, selama kamu membaca atau mendengarkan, bahwa ini semua telah menjadi terlalu biasa? Apakah pembacaan Kitab Suci menjadi berkembang atau malahan membosankan? Maka kita perlu terus menerus membersihkan gerbang persepsi kita dan melihatnya dalam kekaguman dengan cara pandang baru akan apa yang Tuhan tempatkan di hadapan kita.
Kita hendaknya menghampiri Kitab Suci dengan rasa kagum, dengan penuh harapan akan suatu kejutan. Ada begitu banyak ruang dalam Kitab Suci yang belum kita masuki. Ada begitu banyak kedalaman dan kemuliaan yang dapat kita temukan. Jika ketaatan berarti kekaguman, maka hal itu juga berarti mendengarkan.
Kita umumnya lebih baik dalam berbicara daripada mendengarkan. Kita kerap mendengar suara kita sendiri, tetapi seringkali tidak mau berhenti mendengarkan suara orang lain yang berbicara kepada kita. Jadi persyaratan pertama dalam membaca Kitab Suci adalah berhenti berbicara dan mulai mendengarkan- mendengarkan dengan ketaatan.
Saat kita memasuki sebuah Gereja Ortodoks (hal yang sama berlaku untuk Gereja Katolik Byzantine) yang ditata secara tradisional, dan memandang ke panti imam (sanctuary) yang terletak di ujung timur, kita melihat, di dalam apsis (panti imam), sebuah ikon Perawan Maria mengangkat tangan ke surga- sebuah sikap doa ala Kitab Suci yang masih digunakan banyak orang sanat ini. Ikon ini melambangkan sikap yang harus kita miliki saat kita membaca Kitab Suci- suatu sikap penerimaan, dari tangan yang secara tidak terlihat diarahkan ke surga. Dalam membaca Kitab Suci, kita menata diri kita menurut model Santa Perawan Maria, karena dialah yang paling unggul dalam hal mendengarkan. Saat mendengarkan pewartaan dari malaikat Gabriel ia mendengarkan dengan ketaatan dan menanggapi warta malaikat �Jadilah kepadaku menurut perkataanmu�(Luk1:38). Ia tidak dapat mengandung Sabda Allah dalam tubuhnya, jika ia tidak terlebih dahulu mendengarkan Sabda Allah dalam hatinya. Setelah para gembala menyembah Kristus yang baru lahir, dikatakan tentang dia: �Maria menyimpan segala perkara ini dan merenungkannya dalam hatinya� (Luk2:19). Lagi, saat Maria menemukan Yesus di Bait Allah, kita diberi tahu: �Ibu-Nya menyimpan segala perkara ini dalam hatinya�(Luk2:51). Kebutuhan mendengarkan yang sama ditekankan juga dalam kata-kata terakhir yang dikenakan kepada Bunda Allah dalam Kitab Suci dalam pesta perkawinan di Kana: �Apapun yang dikatakan-Nya kepadamu, buatlah itu�{Yoh2:5), katanya kepada pelayan pesta- dan kepada kita semua.
Dalam semua hal ini Santa Perawan Maria menjadi suatu cermin, suatu gambaran hidup dari orang Kristen Alkitabiah. Kita hendaknya menjadi seperti dia dalam mendengarkan Sabda Allah: merenungkan, menyimpan semua hal ini dalam hati kita, dan melakukan apapun yang dikatakan-Nya kepada kita. Kita mendengarkan dengan ketaatan saat Allah berbicara.
Memahami Kitab Suci Melalui Gereja
Di tempat kedua, kita harus menerima dan menafsirkan Kitab Suci melalui Gereja dan di dalam Gereja.
Gerejalah yang memberi tahu kita apa itu Kitab Suci. Sebuah buku tidak menjadi Kitab Suci karena teori-teori tertentu mengenai kapan ditulisnya atau siapa pengarangnya.Bahkan jika hal itu dapat dibuktikan, misalnya, bahwa Injil keempat sebenarnya tidak ditulis oleh Yohanes sang murid terkasih dari Kristus, hal ini tidak akan mengubah kenyataan bahwa kita orang Ortodoks (dan juga kita orang Katolik) menerima Injil keempat sebagai Kitab Suci. Mengapa? Karena Injil Yohanes diterima oleh Gereja dan di dalam Gereja. Adalah Gereja yang mengatakan kepada kita apa itu Kitab Suci, dan Gereja jugalah yang mengatakan kepada kita bagaimana Kitab Suci harus dipahami. Marilah kita melihat kisah orang Ethiopia yang membaca Perjanjian Lama di kereta kudanya, Rasul Filipus menanyainya �Apakah kamu mengerti apa yang kamu baca?� Dan orang Ethiopia itu menjawab �Bagaimana saya dapat mengerti kecuali ada seseorang yang membimbing saya?�(Kis8:30-31). Kita Semua ada dalam posisi orang Ethiopia itu. Kata-kata Kitab Suci tidak selalu menjelaskan dirinya sendiri. Allah berbicara secara langsung kepada setiap kita saat kita membaca Kitab suci. Pembacaan Kitab Suci adalah dialog pribadi antara setiap kita dengan Kristus- tetapi kita juga membutuhkan bimbingan. Dan pembimbing kita adalah Gereja. Kita menggunakan secar apenuh pemahaman pribadi kita sendiri dengan dibantu oleh Roh Kudus, kita menggunakan secara penuh penemuan-penemuan dari penelitian Kitab Suci yang modern, tetapi kita selalu menundukkan pandangan pribadi kita- entah pendapat kita sendiri atau para ahli- kepada keseluruhan pengalaman Gereja selama berabad-abad.
Pandangan Ortodoks ini diringkaskan dalam pertanyaan yang ditanyakan kepada orang yang masuk agama Ortodoks pada upacara penerimaan yang digunakan oleh Gereja Rusia: �Apakah kamu mengakui bahwa Kitab Suci harus diterima dan ditafsirkan sesuai kepercayaan yang telah diturunkan oleh para Bapa-bapa Suci, dan yang masih dan selalu dipegang oleh Gereja Ortodoks Kudus, Bunda kita?� (pandangan yang sama juga dinyatakan dalam berbagai ajaran Gereja Katolik, yang saya ingat Konsili Trente mengungkapkan hal yang sama)
Kita membaca Kitab Suci secara pribadi, tetapi tidak sebagai individu yang terisolasi. Kita membaca Kitab Suci sebagai anggota suatu keluarga, keluarga Gereja Ortodoks yang Universal. Saat membaca Kitab Suci, kita tidak mengatakan �aku� tetapi �kita�. Kita membaca dalam persekutuan dengan semua anggota Tubuh Kristus di seluruh belahan bumi dan di segala masa dan generasi. Batu uji dan kriteria pemahaman kita akan apa yang dimaksudkan Kitab Suci adalah pikiran Gereja karena Kitab Suci adalah buku Gereja.
Untuk menemukan �pikiran Gereja� darimanakah kita harus memulai? Langkah pertama kita adalah melihat bagaimana Kitab Suci digunakan dalam ibadat. bagaimana, secara khusus, Bacaan Kitab Suci dipilih untuk dibacakan pada berbagai pesta? Kita juga harus berkonsultasi dengan tulisan-tulisan para Bapa-bapa Gereja, dan melihat bagaimana mereka menafsirkan Kitab Suci. Cara Ortodoks dalam membaca Kitab Suci bersifat liturgis dan patristik. Kita semua menyadari, bahwa dalam kenyataannya, sulit untuk melakukan hal ini dalam kenyataan karena kita memiliki hanya sedikit tafsiran Ortodoks tentang Kitab Suci yang tersedia dalam bahasa Inggris, dan kebanyakan tafsiran Barat tidak menggunakan pendekatan liturgis dan patristik ini. (Pendekatan yang sama juga ideal bagi kita orang Katolik, walaupun pada kenyataannya kerap kali pendekatan ini ditinggalkan pada masa modern. Namun, ada beberapa pengarang yang mencoba kembali menghidupkan metode ini, di antara pengarang-pengarang tersebut yang cukup ringan dan enak dibaca adalah Scott Hahn, sementara dalam khazanah klasik Catena Aurea karya St. Thomas Aquinas tetap yang terdepan)
Sebagai contoh dari cara menafsirkan Kitab Suci dengan cara liturgis, yaitu dibimbing oleh penggunaanya pada pesta-pesta Gereja, marilah kita melihat bacaan-bacaan Perjanjian Lama yang digunakan untuk Ibadat Sore pada pesta Anunsiasi (Maria dikunjungi oleh Malaikat Gabriel). Jumlah bacaan itu ada 3, yaitu: Kejadian 28: 10-17 tentang mimpi Yakub melihat tangga yang menghubungkan surga dan bumi; Yehezkiel 43:27-44:4 mengenai visi sang nabi tentang tempat kudus di Yerusalem, dengan gerbang tertutup yang tidak dapat dilalui siapapun kecuali oleh Tuhan sendiri; Amsal 9:1-11 salah satu tulisan Kebijaksanaan paling agung dalam Perjanjian Lama yang dimulai dengan kata-kata �Hikmat telah mendirikan rumahnya�.
Teks-teks Perjanjian Lama ini, kemudian, sebagaimana mereka dipilih untuk Pesta Perawan Maria, menunjukkan bahwa teks-teks ini harus dimengerti sebagai nubuat mengenai Penjelmaan Tuhan melalui Sang Perawan. Maria adalah tangga Yakub, yang menyediakan daging yang digunakan dalam Penjelmaan Tuhan untuk memasuki dunia manusia kita. Maria adalah gerbang tertutup dan merupakan satu-satunya wanita yang melahirkan anak sementara ia tetap perawan. Maria menyediakan rumah yang didalamnya Kristus sang Hikmat Allah (1Kor 1:24) mengambilnya sebagai tempat kediaman. Mendalami Kitab Suci dengan mengacu kepada pemilihan bacaan untuk berbagai pesta, kita menemukan suatu bentangan penafsiran Alkitab yang sulit menjadi jelas bagi kita dalam pembacaan pertama.
Mari mengambil contoh lain dari Ibadat Sore pada hari Sabtu Suci, bagian pertama dari Vigili (tuguran) Paskah kuno. Di sini kita memiliki tidak kurang dari 15 bacaan Perjanjian Lama. Rangkaian bacaan disampaikan kepada kita dalam keseluruhan skema sejarah suci, sementara pada saat yang sama menggarisbawahi makna yang lebih mendalam dari Kebangkitan Kristus. Bacaan pertama diambil dari Kejadian 1:1-13, kisah penciptaan, maka Kebangkitan Kristus adalah pencipaan baru. Bacaan keempat adlaah seluruh kitab Yunus, dengan tinggalnya sang nabi di dalam perut ikan paus selama tiga hari sebagai pratanda dari kebangkitan Kristus setelah tiga hari dalam kubur (cf. Mat12:40). Bacaan keenam mengisahkan penyeberangan laut merah oleh orang-orang Israel (Kel13:20-15:29) yang mengantisipasi peralihan baru dari Paskah saat Kristus beralih dari kematian kepada hidup (cf. 1Kor 5:7-10:1-4). Bacaan terakhir adalah kisah tiga pemuda dalam api yang membara (Daniel 3) sekali lagi suatu �type� atau nubuat dari kebangkitan Kristus dari kubur.
Itulah dampak dari membaca Kitab Suci secara gerejani, di dalam Gereja dan bersama Gereja. Mempelajari Kitab Suci dengan cara liturgis ini dan menggunakan para Bapa Gereja untuk membantu kita, dimana-mana kita akan membuka tanda-tanda yang mengarah kepada misteri Kristus dan Bunda-Nya. Membaca Perjanjian Lama dalam terang yang Baru, dan yang baru dalam terang yang Lama- sebagaimana disarankan oleh kalender Gereja- kita menemukan kesatuan Kitab Suci. Salah satu cara terbaik mengenali kesinambungan antara Perjanjian Lama dan Baru adalah menggunakan konkordansi Kitab Suci yang baik. Kadang-kadang ini bisa mengatakan kepada kita arti Kitab Suci lebih dari yang dilakukan tafsiran manapun.
Pada kelompok-kelompok pendalaman Alkitab di paroki-paroki kita, akan berguna untuk memberikan suatu tugas khusus untuk mencermati bacaan-bacaan tertentu dari Perjanjian Lama atau Perjanjian Baru yang digunakan untuk suatu pesta atau hari peringatan orang-orang kudus. Sementara itu seorang lain dalam kelompok bisa diserahi tugas untuk melakukan hal yang sama berkaitan dengan Bapa-bapa Gerea misalnya menggunakan homili-homili Santo Yohanes Krisostomus (yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris). Orang-orang Kristen sungguh perlu memiliki pemikiran yang patristik.
Kristus, Jantung Kitab Suci
Unsur ketiga dalam pembacaan Kitab Suci adalah harus berpusat pada Kristus. Kitab Suci membentuk suatu harmoni yang utuh karena kitab-kitab itu semuanya berpusat pada Kristus. Keselamatan melalui Mesias adalah topik utama yang menyatukan. Itu adalah topik yang berjalan di keseluruhan Kitab Suci, dari kalimat pertama sampai kalimat terakhir. Kami sudah menyebutkan cara dimana Kristus dapat dilihat dipratandakan dalam halaman-halaman Perjanjian Lama.
Kebanyakan studi Kitab Suci yang kritis dan modern di barat telah mengambil suatu pendekatan analitis yang memecahkan setiap buku menurut sumber-sumbernya yang berbeda. Jaringan yang menghubungkan diputuskan, dan Alkitab direduksi menjadi sekedar rangkaian unit-unit. Tentu ada nilai-nilai positif tertentu dalam metode ini. Tetapi kita perlu melihat kesatuan Kitab Suci sebagaimana melihat keragamannya, suatu akhir yang menyatukan semua sebagaimana awal mula yang tersebar. Ortodoksi lebih memilih untuk memandang keseluruhan Kitab Suci sebagai sebuah sintesis daripada pendekatan analitis ini, lebih memilih untuk melihat Kitab Suci sebagai suatu kesatuan yang menyeluruh dengan Kristus dimana-mana sebagai ikatan kesatuan. (Katolisisme juga melakukan hal yang sama walaupun di kalangan para ekseget kita mungkin penilaian terhadap metode historis kristis masih lebih positif dibandingkan penilaian Uskup Kalistos. Bagaimanapun saya kira pandangan Kalistos sangat serupa dengan seorang ahli Katolik yang berpengaruh yaitu Joseph Ratzinger yang misalnya dalam bukunya Yesus dari Nazareth menafsirkan Kitab Suci menggunakan Bapa-bapa Gereja dan memadukannya juga dengan pendekatan historis kristis sembari sesekali mengkritisi metode ini)
Kita menemukan titik sambung antara Perjanjian Lama dan Baru dalam diri Yesus Kristus. Ortodoksi mengenakan signifikansi khusus kepada metode penafsiran �tipologis�, dimana �type� Kristus, tanda dan lambang akan karya-Nya, dikenali di sepanjang Perjanjian Lama. Contoh yang menonjol akan ini adalah Melkisedek, raja dan imam dari Salem, yang mempersembahkan roti dan anggur kepada Abraham (Kej14:18), dan yang dipandang sebagai type Kristus bukan hanya oleh para Bapa Gereja tetapi juga oleh Perjanjian Baru sendiri (Ibrani5;6, 7:1). Contoh lain sebagaimana telah kita lihat adalah Paskah Lama melambangkan Paskah Baru; pembebasan Israel dari Firaun di laut merah menandakan pembebasan kita dari dosa melalui wafat dan Kebangkitan Sang Juruselamat. Ini adalah metode penafsiran yang kita kenakan kepada seluruh Kitab Suci. Mengapa, misalnya, dalam separuh masa Prapaskah bacaan Perjanjian Lama dari kitab Kejadian didominasi oleh figure Yusuf? Mengapa dalam Pekan Suci kita membaca dari kitab Ayub? Karena Yusuf dan Ayub adalah orang-orang yang menderita tanpa bersalah, dan mereka adalah type atau pratanda dari Yesus Kristus, yang menderita tanpa salah di Salib dan yang menjadi pusat perayaan Gereja. Ini semua saling berkaitan.
Seorang Kristen Alkitabiah adalah dia yang, ke manapun ia memandang, di setiap halaman Kitab Suci, menemukan Kristus di mana-mana.
Kitab Suci Sebagai Sesuatu Yang Pribadi
Dalam kata-kata seorang penulis asketis dalam Kekristenan Timur, Santo Markus sang Rahib: �Dia yang rendah hai dan bertekun dalam karya rohani, saat ia membaca Kitab Suci, ia menerapkan segala sesuatu kepada dirinya dan bukan kepada sesamanya.� Sebagai orang Kristen Ortodoks kita juga melihat dalam Kitab Suci sesuatu untuk diterapkan secara pribadi. Kita tidak hanya bertanya �Apa artinya?� tetapi juga �Apa artinya untukku?� Kitab Suci adalah dialog pribadi antara sang Juruselamat dan diriku- Kristus berbicara kepadaku, dan aku menjawab. Inilah kriteria keempat dalam pembacaan Kitab Suci kita.
Saya hendak melihat seluruh kisah Kitab Suci sebagai bagian dari kisah pribadiku sendiri. Siapakah Adam? Nama Adam berarti �manusia�, maka kisah kitab Kejadian mengenai kejatuhan Ada, juga adalah kisah kejatuhan saya. Akulah Adam. Ketika Allah berkata kepada Adam, �Di mana engkau?�(Kej3:9). Kita sering bertanya �Dimana Allah?� Tetapi pertanyaa sebenarnya adalah yang ditanyakan Allah kepada Adam dalam setiap kita: �Dimana engkau?�
Dalam kisah Kain dan Habel, kita membaca kata-kata Allah kepada Kain, �Dimana Habel saudaramu?� (Kej4:9), kata-kata ini juga dialamatkan kepada setiap kita. Siapa Kain? Ia adalah diriku sendiri. Dan Allah bertanya kepada Kain dalam diri setiap kita, �Dimana saudaramu?� Jalan kepada Allah terletak pada cinta kasih kepada sesama, dan tidak ada jalan lain. Jika aku menindas saudaraku, maka aku menggantikan gambar Allah dengan gambar Kain, dan menyangkal sisi kemanusiaanku sendiri yang mendasar.
Dalam membaca Kitab Suci, kita dapat mengambil tiga langkah ini. Pertama, apa yang kita miliki dalam Kitab Suci adalah sejarah suci: sejarah dunia sejak saat Penciptaan, sejarah umat terpilih, sejarah Allah yang menjadi daging di Palestina, dan �perbuatan ajaib� setelah Pentakosta. Kekristenan yang kita temukan dalam Alkitab bukanlah ideologi, bukan teori filsafat, tetapi iman yang menyejarah.
Kemudian kita masuk ke langkah kedua. Sejarah yang disampaikan di Kitab Suci adalah sejarah pribadi. Kita melihat Allah campur tangan pada waktu dan tempat yang khusus, dimana Ia berdialog dengan orang-orang secara pribadi. Ia menyapa setiap orang dengan namanya masing-masing. Kita melihat dalam Kitab Suci suatu panggilan yang secara khusus disampaikan Allah kepada Abraham, Musa dan Daud, Ribka dan Ruth, Yesaya dan para nabi, dan kemudian kepada Maria dan para Rasul. Kita melihat selektifitas dari tindakan ilahi dalam sejarah, bukan sebagai skandal tetapi sebagai berkat. Cinta Allah universal ruang lingkupnya, tetapi Ia memilih menjadi daging di sudut tertentu bumi, di suatu waktu tertentu dan dari seorang Ibu tertentu. Dengan cara ini kita menikmati keunikan tindakan Allah sebagaimana tercatat dalam Kitab Suci. Orang yang mencintai Alkitab mencintai detail sejarah dan geografi Kitab Suci. Itulah sebabnya Ortodoksi memiliki devosi yang kental kepada Tanah Suci, tempat di mana Kristus hidup dan mengajar, mati dan hidup kembali. Sebuah cara gemilang untuk memperdalam pembacaan Kitab Suci kita adalah melakukan peziarahan ke Yerusalem dan Galilea. Berjalan di mana Kristus berjalan. Turun ke Laut Mati, duduk sendirian di batu karang, merasakan apa yang dirasakan Kristus selama 40 hari dicobai di padang gurun. Minum dari sumur dimana Ia berbicara kepada wanita Samaria. Pergi dimalam hari ke taman Getsemani, duduk di kegelapan dibawah pohon zitun kuno dan kemudian memandang lembah melihat cahaya kota. Mengalami secara penuh kenyataan latar belakang sejarah ini, dan mengembalikan pengalaman itu kepada pembacaan Kitab Suci pribadi harianmu.
Kemudian kita mengambil langkha ketiga. Menghidupkan kembali sejarah Kitab Suci dengan segala kekhususannya dengan menerapkannya secara langsung kepada diri kita sendiri. Kita hendaknya berkata kepada diri kita, �Semua tempat dan peristiwa ini bukan saja berlangsung jauh di sana dan pada waktu lampau, tetapi juga bagian dari hubungan pribadiku dengan Kristus. Aku adalah bagian dari cerita ini.�
Pengkhianatan, misalnya, adalah bagian dari kisah hidup semua orang. Apakah kita tidak pernah dikhianati seseorang pada masa hidup kita, dan apakah kita tidak mengalami sama sekali apa artinya berkhianat, dan tidakkah kenangan ini meninggalkan luka dalam jiwa kita? Kemudian bacalah kisah pengkhianatan Santo Petrus kepada Kristus dan pemulihannya sesudah Kebangkitan, kita bisa melihat diri kita sebagai pemeran dalam kisah ini. Bayangkanlah apa yang dialami Yesus dan Petrus segera sesudah pengkhianatan, masuklah ke perasaan mereka dan jadikanlah itu perasaanmu. Sayalah Petrus; atau dalam situasi ini bisakah saya adalah Kristus? Renungkanlah juga proses perdamaiannya- bertanyalah kepada diri sendiri: Bagaimana Kristus- seperti aku melakukan sesuatu terhadap orang yang mengkhianati aku? Dan, setelah tindakan pengkhianatanku sendiri, beranikah aku menerima permintaan maaf dari orang yang telah mengkhianati aku- apakah aku mau memaafkan diriku sendiri? Atau apakah aku enggan memaafkan, selalu membuang muka, tidak pernah siap memberikan diriku secara sepenuhnya untuk apapun entah itu baik atau jahat? Seperti yang dikatakan oleh para Bapa Padang Gurun �Jauh lebih baik orang yang telah berdosa, jika dia tahu dirinya berdosa dan berobat, daripada orang yang tidak berbuat dosa dan berpikir bahwa dirinya adalah orang benar.�
Sudahkah aku memiliki keberanian Santa Maria Magdalena, ketekunan dan kesetiaannya, ketika ia pergi hendak meminyaki tubuh Kristus di makam (Yoh20:1)? Apakah aku mendengar Juruselamat yang Bangkit memanggil namaku, sebagaimana Ia memanggil dia, dan apakah aku menjawab Dia Rabbuni (Guru) bersamanya dengan segala kesederhanaan dan ketulusannya (Yoh20:16)?
Membaca Kitab Suci dengan cara ini- dalam ketaatan, sebagai anggota Gereja, menemukan Kristus, dimana-mana, melihat semua hal dalam Kitab Suci sebagai bagian dari kisah pribadiku sendiri- kita akan merasakan sesuatu pada keragaman dan kedalaman yang dapat kita temukan dalam Alkitab. Namun kita juga akan selalu merasa bahwa pendalaman Kitab Suci kita selalu berada pada tahap awal. Kita bagaikan seorang dengan perahu kecil di tengah lautan tak terbatas.
�Firman-Mu adalah pelita bagi kakiku, dan terang bagi jalanku� (Mazmur 119:105).
Dalam artikel ini Uskup Agung Kalistos Ware dari Gereja Ortodoks menguraikan bagaimana hendaknya kita membaca Kitab Suci. Uraiannya juga berlaku bagi orang Katolik dan mencerminkan prinsip-prinsip yang juga dianut oleh Gereja Katolik.
Teks bahasa inggris dapat dibaca di:
Bishop Kallistos Ware: How To Read The Bible
Kita percaya bahwa Kitab Suci adalah seluruhnya selaras. Dalam Kitab Suci pada yang sama diwahyukan secara ilahi dan diungkapkan secara manusiawi. Kitab Suci membawa kesaksian otoritatif akan pewahyuan diri Allah- dalam penciptaan, dalam Penjelmaan Sabda menjadi daging, dan dalam seluruh sejarah keselamatan. Dan dengan demikian Kitab Suci mengungkapkan Sabda Allah dalam bahasa manusia. Kita mengetahui, meenrima dan menafsirkan Kitab Suci melalui Gereja dan dalam Gereja. Pendekatan kita terhadap Kitab Suci pertama-tama adalah ketaatan.
Kita dapat membedakan empat kunci yang menandai pembacaan Ortodoks akan Kitab Suci yaitu:
-Pembacaan kita harus ditandai dengan ketaatan
-Pembacaan kita harus bersifat Gerejani, yaitu bersama dan dalam Gereja
-Pembacaan kita harus berpusat pada Kristus, dan;
-Pembacaan kita harus bersifat pribadi
Membaca Kitab Suci Dengan Ketaatan
Pertama-tama, saat membaca Kitab Suci, hendaknya kita mendengarnya dengan semangat ketaatan. Gereja Ortodoks percaya akan inspirasi ilahi Kitab Suci. Kitab Suci adalah �surat� dari Allah, dimana Kristus sendiri berbicara. Kitab-kitab Suci adalah kesaksian berwibawa dari Allah tentang diri-Nya sendiri. Kitab-Kitab Suci mengungkapkan Firman Allah dalam bahasa manusia. Karena Allah sendiri berbicara kepada kita dalam Kitab Suci, maka tanggapan kita yang sepatutnya adalah kepatuhan, penerimaan, dan mendengarkan. Saat kita membaca, kita menantikan Roh Kudus.
Tetapi, sementara diinspirasikan secara ilahi, Kitab Suci juga diungkapkan secara manusiawi. Kitab Suci adalah sebuah perpustakaan dengan buku-buku berbeda yang ditulis oleh pengarang yang berbeda pada masa yang berbeda. Setiap buku Kitab Suci mereleksikan cara pandang pada masa ia ditulis dan sudut pandang yang khas pengarang. Allah tidak melakukan apapun sendirian, sebaliknya rahmat ilahi bekerja sama dengan kebebasan manusia. Allah tidak menghapuskan individualitas kita tetapi memperkayanya. Dan itulah yang terjadi dalam penulisan Kitab Suci. Pengarang bukan sekedar alat yang pasif, bukan sebuah mesin dikte yang merekam pesan-pesan. Setiap pengarang Kitab Suci menyumbangkan bakat pribadinya yang khas. Bersamaan dengan sisi ilahi, juga ada unsur manusiawi dalam Kitab Suci. Kita menghargai keduanya.
Masing-masing dari empat buku Injil, misalnya, memiliki pendekatannya sendiri-sendiri. Matius menampilkan suatu pendekatan yang lebih khas Yahudi terhadap Kristus, dengan penekanan akan kerajaan surga. markus memuat gambaran yang spesifik dan hidup akan pelayanan Kristus yang tidak muncul di tempat lain. Lukas mengungkapkan universalitas cinta Kristus, belas kasihan-Nya yang menjangkau semua baik kepada orang Yahudi ataupun kepada bangsa-bangsa lain. Dalam Injil Yohanes kita menemukan suatu pendekatan yang batin dan mistik terhadap Kristus, dengan penekanan akan cahaya ilahi dan diamnya keilahian dalam diri Kristus. Kita menikmati dan mendalami sampai kepada kepenuhan variasi yang memberi hidup ini di dalam Kitab Suci.
Melalui cara ini Kitab Suci adalah ungkapan Firman Allah dalam bahasa manusia, maka juga tersedia ruang untuk suatu penelitian yang jujur dan sulit saat mendalami Kitab Suci. Mendalami sisi manusiawi dari Kitab Suci, kita menggunakan secara penuh akal budi yang diberikan Allah kepada manusia. Gereja Ortodoks tidak menolak penelitian akademis tentang asal mula, waktu, dan kepengarangan buku-buku Kitab Suci.
Bersamaan dengan unsur manusiawi ini, bagaimanapun kita selalu melihat unsur ilahi. Kitab Suci bukan sekedar buku yang ditulis oleh individu-individu pengarangnya. Dalam Kitab Suci kita tidak hanya mendengar kata-kata manusia, yang ditandai dengan kemampuan dan kepekaan yang lebih atau kurang, tetapi juga kita mendengar Sabda Allah sendiri yang abadi dan tidak diciptakan yaitu Sabda keselamatan ilahi. Ketika kita membaca Kitab Suci, maka kita tidak membaca semata-mata karena rasa ingin tahu untuk memperoleh keselamatan. Kita datang kepada Kitab Suci dengan suatu pertanyan yang sangat pribadi: �Bagaimana saya dapat diselamatkan?�
Sebagai Sabda keselamatan ilahi dalam bahasa manusia, Kitab Suci harus membangkitkan dalam diri kita suatu rasa takjub. Pernahkan kamu merasakan, selama kamu membaca atau mendengarkan, bahwa ini semua telah menjadi terlalu biasa? Apakah pembacaan Kitab Suci menjadi berkembang atau malahan membosankan? Maka kita perlu terus menerus membersihkan gerbang persepsi kita dan melihatnya dalam kekaguman dengan cara pandang baru akan apa yang Tuhan tempatkan di hadapan kita.
Kita hendaknya menghampiri Kitab Suci dengan rasa kagum, dengan penuh harapan akan suatu kejutan. Ada begitu banyak ruang dalam Kitab Suci yang belum kita masuki. Ada begitu banyak kedalaman dan kemuliaan yang dapat kita temukan. Jika ketaatan berarti kekaguman, maka hal itu juga berarti mendengarkan.
Kita umumnya lebih baik dalam berbicara daripada mendengarkan. Kita kerap mendengar suara kita sendiri, tetapi seringkali tidak mau berhenti mendengarkan suara orang lain yang berbicara kepada kita. Jadi persyaratan pertama dalam membaca Kitab Suci adalah berhenti berbicara dan mulai mendengarkan- mendengarkan dengan ketaatan.
Saat kita memasuki sebuah Gereja Ortodoks (hal yang sama berlaku untuk Gereja Katolik Byzantine) yang ditata secara tradisional, dan memandang ke panti imam (sanctuary) yang terletak di ujung timur, kita melihat, di dalam apsis (panti imam), sebuah ikon Perawan Maria mengangkat tangan ke surga- sebuah sikap doa ala Kitab Suci yang masih digunakan banyak orang sanat ini. Ikon ini melambangkan sikap yang harus kita miliki saat kita membaca Kitab Suci- suatu sikap penerimaan, dari tangan yang secara tidak terlihat diarahkan ke surga. Dalam membaca Kitab Suci, kita menata diri kita menurut model Santa Perawan Maria, karena dialah yang paling unggul dalam hal mendengarkan. Saat mendengarkan pewartaan dari malaikat Gabriel ia mendengarkan dengan ketaatan dan menanggapi warta malaikat �Jadilah kepadaku menurut perkataanmu�(Luk1:38). Ia tidak dapat mengandung Sabda Allah dalam tubuhnya, jika ia tidak terlebih dahulu mendengarkan Sabda Allah dalam hatinya. Setelah para gembala menyembah Kristus yang baru lahir, dikatakan tentang dia: �Maria menyimpan segala perkara ini dan merenungkannya dalam hatinya� (Luk2:19). Lagi, saat Maria menemukan Yesus di Bait Allah, kita diberi tahu: �Ibu-Nya menyimpan segala perkara ini dalam hatinya�(Luk2:51). Kebutuhan mendengarkan yang sama ditekankan juga dalam kata-kata terakhir yang dikenakan kepada Bunda Allah dalam Kitab Suci dalam pesta perkawinan di Kana: �Apapun yang dikatakan-Nya kepadamu, buatlah itu�{Yoh2:5), katanya kepada pelayan pesta- dan kepada kita semua.
Dalam semua hal ini Santa Perawan Maria menjadi suatu cermin, suatu gambaran hidup dari orang Kristen Alkitabiah. Kita hendaknya menjadi seperti dia dalam mendengarkan Sabda Allah: merenungkan, menyimpan semua hal ini dalam hati kita, dan melakukan apapun yang dikatakan-Nya kepada kita. Kita mendengarkan dengan ketaatan saat Allah berbicara.
Memahami Kitab Suci Melalui Gereja
Di tempat kedua, kita harus menerima dan menafsirkan Kitab Suci melalui Gereja dan di dalam Gereja.
Gerejalah yang memberi tahu kita apa itu Kitab Suci. Sebuah buku tidak menjadi Kitab Suci karena teori-teori tertentu mengenai kapan ditulisnya atau siapa pengarangnya.Bahkan jika hal itu dapat dibuktikan, misalnya, bahwa Injil keempat sebenarnya tidak ditulis oleh Yohanes sang murid terkasih dari Kristus, hal ini tidak akan mengubah kenyataan bahwa kita orang Ortodoks (dan juga kita orang Katolik) menerima Injil keempat sebagai Kitab Suci. Mengapa? Karena Injil Yohanes diterima oleh Gereja dan di dalam Gereja. Adalah Gereja yang mengatakan kepada kita apa itu Kitab Suci, dan Gereja jugalah yang mengatakan kepada kita bagaimana Kitab Suci harus dipahami. Marilah kita melihat kisah orang Ethiopia yang membaca Perjanjian Lama di kereta kudanya, Rasul Filipus menanyainya �Apakah kamu mengerti apa yang kamu baca?� Dan orang Ethiopia itu menjawab �Bagaimana saya dapat mengerti kecuali ada seseorang yang membimbing saya?�(Kis8:30-31). Kita Semua ada dalam posisi orang Ethiopia itu. Kata-kata Kitab Suci tidak selalu menjelaskan dirinya sendiri. Allah berbicara secara langsung kepada setiap kita saat kita membaca Kitab suci. Pembacaan Kitab Suci adalah dialog pribadi antara setiap kita dengan Kristus- tetapi kita juga membutuhkan bimbingan. Dan pembimbing kita adalah Gereja. Kita menggunakan secar apenuh pemahaman pribadi kita sendiri dengan dibantu oleh Roh Kudus, kita menggunakan secara penuh penemuan-penemuan dari penelitian Kitab Suci yang modern, tetapi kita selalu menundukkan pandangan pribadi kita- entah pendapat kita sendiri atau para ahli- kepada keseluruhan pengalaman Gereja selama berabad-abad.
Pandangan Ortodoks ini diringkaskan dalam pertanyaan yang ditanyakan kepada orang yang masuk agama Ortodoks pada upacara penerimaan yang digunakan oleh Gereja Rusia: �Apakah kamu mengakui bahwa Kitab Suci harus diterima dan ditafsirkan sesuai kepercayaan yang telah diturunkan oleh para Bapa-bapa Suci, dan yang masih dan selalu dipegang oleh Gereja Ortodoks Kudus, Bunda kita?� (pandangan yang sama juga dinyatakan dalam berbagai ajaran Gereja Katolik, yang saya ingat Konsili Trente mengungkapkan hal yang sama)
Kita membaca Kitab Suci secara pribadi, tetapi tidak sebagai individu yang terisolasi. Kita membaca Kitab Suci sebagai anggota suatu keluarga, keluarga Gereja Ortodoks yang Universal. Saat membaca Kitab Suci, kita tidak mengatakan �aku� tetapi �kita�. Kita membaca dalam persekutuan dengan semua anggota Tubuh Kristus di seluruh belahan bumi dan di segala masa dan generasi. Batu uji dan kriteria pemahaman kita akan apa yang dimaksudkan Kitab Suci adalah pikiran Gereja karena Kitab Suci adalah buku Gereja.
Untuk menemukan �pikiran Gereja� darimanakah kita harus memulai? Langkah pertama kita adalah melihat bagaimana Kitab Suci digunakan dalam ibadat. bagaimana, secara khusus, Bacaan Kitab Suci dipilih untuk dibacakan pada berbagai pesta? Kita juga harus berkonsultasi dengan tulisan-tulisan para Bapa-bapa Gereja, dan melihat bagaimana mereka menafsirkan Kitab Suci. Cara Ortodoks dalam membaca Kitab Suci bersifat liturgis dan patristik. Kita semua menyadari, bahwa dalam kenyataannya, sulit untuk melakukan hal ini dalam kenyataan karena kita memiliki hanya sedikit tafsiran Ortodoks tentang Kitab Suci yang tersedia dalam bahasa Inggris, dan kebanyakan tafsiran Barat tidak menggunakan pendekatan liturgis dan patristik ini. (Pendekatan yang sama juga ideal bagi kita orang Katolik, walaupun pada kenyataannya kerap kali pendekatan ini ditinggalkan pada masa modern. Namun, ada beberapa pengarang yang mencoba kembali menghidupkan metode ini, di antara pengarang-pengarang tersebut yang cukup ringan dan enak dibaca adalah Scott Hahn, sementara dalam khazanah klasik Catena Aurea karya St. Thomas Aquinas tetap yang terdepan)
Sebagai contoh dari cara menafsirkan Kitab Suci dengan cara liturgis, yaitu dibimbing oleh penggunaanya pada pesta-pesta Gereja, marilah kita melihat bacaan-bacaan Perjanjian Lama yang digunakan untuk Ibadat Sore pada pesta Anunsiasi (Maria dikunjungi oleh Malaikat Gabriel). Jumlah bacaan itu ada 3, yaitu: Kejadian 28: 10-17 tentang mimpi Yakub melihat tangga yang menghubungkan surga dan bumi; Yehezkiel 43:27-44:4 mengenai visi sang nabi tentang tempat kudus di Yerusalem, dengan gerbang tertutup yang tidak dapat dilalui siapapun kecuali oleh Tuhan sendiri; Amsal 9:1-11 salah satu tulisan Kebijaksanaan paling agung dalam Perjanjian Lama yang dimulai dengan kata-kata �Hikmat telah mendirikan rumahnya�.
Teks-teks Perjanjian Lama ini, kemudian, sebagaimana mereka dipilih untuk Pesta Perawan Maria, menunjukkan bahwa teks-teks ini harus dimengerti sebagai nubuat mengenai Penjelmaan Tuhan melalui Sang Perawan. Maria adalah tangga Yakub, yang menyediakan daging yang digunakan dalam Penjelmaan Tuhan untuk memasuki dunia manusia kita. Maria adalah gerbang tertutup dan merupakan satu-satunya wanita yang melahirkan anak sementara ia tetap perawan. Maria menyediakan rumah yang didalamnya Kristus sang Hikmat Allah (1Kor 1:24) mengambilnya sebagai tempat kediaman. Mendalami Kitab Suci dengan mengacu kepada pemilihan bacaan untuk berbagai pesta, kita menemukan suatu bentangan penafsiran Alkitab yang sulit menjadi jelas bagi kita dalam pembacaan pertama.
Mari mengambil contoh lain dari Ibadat Sore pada hari Sabtu Suci, bagian pertama dari Vigili (tuguran) Paskah kuno. Di sini kita memiliki tidak kurang dari 15 bacaan Perjanjian Lama. Rangkaian bacaan disampaikan kepada kita dalam keseluruhan skema sejarah suci, sementara pada saat yang sama menggarisbawahi makna yang lebih mendalam dari Kebangkitan Kristus. Bacaan pertama diambil dari Kejadian 1:1-13, kisah penciptaan, maka Kebangkitan Kristus adalah pencipaan baru. Bacaan keempat adlaah seluruh kitab Yunus, dengan tinggalnya sang nabi di dalam perut ikan paus selama tiga hari sebagai pratanda dari kebangkitan Kristus setelah tiga hari dalam kubur (cf. Mat12:40). Bacaan keenam mengisahkan penyeberangan laut merah oleh orang-orang Israel (Kel13:20-15:29) yang mengantisipasi peralihan baru dari Paskah saat Kristus beralih dari kematian kepada hidup (cf. 1Kor 5:7-10:1-4). Bacaan terakhir adalah kisah tiga pemuda dalam api yang membara (Daniel 3) sekali lagi suatu �type� atau nubuat dari kebangkitan Kristus dari kubur.
Itulah dampak dari membaca Kitab Suci secara gerejani, di dalam Gereja dan bersama Gereja. Mempelajari Kitab Suci dengan cara liturgis ini dan menggunakan para Bapa Gereja untuk membantu kita, dimana-mana kita akan membuka tanda-tanda yang mengarah kepada misteri Kristus dan Bunda-Nya. Membaca Perjanjian Lama dalam terang yang Baru, dan yang baru dalam terang yang Lama- sebagaimana disarankan oleh kalender Gereja- kita menemukan kesatuan Kitab Suci. Salah satu cara terbaik mengenali kesinambungan antara Perjanjian Lama dan Baru adalah menggunakan konkordansi Kitab Suci yang baik. Kadang-kadang ini bisa mengatakan kepada kita arti Kitab Suci lebih dari yang dilakukan tafsiran manapun.
Pada kelompok-kelompok pendalaman Alkitab di paroki-paroki kita, akan berguna untuk memberikan suatu tugas khusus untuk mencermati bacaan-bacaan tertentu dari Perjanjian Lama atau Perjanjian Baru yang digunakan untuk suatu pesta atau hari peringatan orang-orang kudus. Sementara itu seorang lain dalam kelompok bisa diserahi tugas untuk melakukan hal yang sama berkaitan dengan Bapa-bapa Gerea misalnya menggunakan homili-homili Santo Yohanes Krisostomus (yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris). Orang-orang Kristen sungguh perlu memiliki pemikiran yang patristik.
Kristus, Jantung Kitab Suci
Unsur ketiga dalam pembacaan Kitab Suci adalah harus berpusat pada Kristus. Kitab Suci membentuk suatu harmoni yang utuh karena kitab-kitab itu semuanya berpusat pada Kristus. Keselamatan melalui Mesias adalah topik utama yang menyatukan. Itu adalah topik yang berjalan di keseluruhan Kitab Suci, dari kalimat pertama sampai kalimat terakhir. Kami sudah menyebutkan cara dimana Kristus dapat dilihat dipratandakan dalam halaman-halaman Perjanjian Lama.
Kebanyakan studi Kitab Suci yang kritis dan modern di barat telah mengambil suatu pendekatan analitis yang memecahkan setiap buku menurut sumber-sumbernya yang berbeda. Jaringan yang menghubungkan diputuskan, dan Alkitab direduksi menjadi sekedar rangkaian unit-unit. Tentu ada nilai-nilai positif tertentu dalam metode ini. Tetapi kita perlu melihat kesatuan Kitab Suci sebagaimana melihat keragamannya, suatu akhir yang menyatukan semua sebagaimana awal mula yang tersebar. Ortodoksi lebih memilih untuk memandang keseluruhan Kitab Suci sebagai sebuah sintesis daripada pendekatan analitis ini, lebih memilih untuk melihat Kitab Suci sebagai suatu kesatuan yang menyeluruh dengan Kristus dimana-mana sebagai ikatan kesatuan. (Katolisisme juga melakukan hal yang sama walaupun di kalangan para ekseget kita mungkin penilaian terhadap metode historis kristis masih lebih positif dibandingkan penilaian Uskup Kalistos. Bagaimanapun saya kira pandangan Kalistos sangat serupa dengan seorang ahli Katolik yang berpengaruh yaitu Joseph Ratzinger yang misalnya dalam bukunya Yesus dari Nazareth menafsirkan Kitab Suci menggunakan Bapa-bapa Gereja dan memadukannya juga dengan pendekatan historis kristis sembari sesekali mengkritisi metode ini)
Kita menemukan titik sambung antara Perjanjian Lama dan Baru dalam diri Yesus Kristus. Ortodoksi mengenakan signifikansi khusus kepada metode penafsiran �tipologis�, dimana �type� Kristus, tanda dan lambang akan karya-Nya, dikenali di sepanjang Perjanjian Lama. Contoh yang menonjol akan ini adalah Melkisedek, raja dan imam dari Salem, yang mempersembahkan roti dan anggur kepada Abraham (Kej14:18), dan yang dipandang sebagai type Kristus bukan hanya oleh para Bapa Gereja tetapi juga oleh Perjanjian Baru sendiri (Ibrani5;6, 7:1). Contoh lain sebagaimana telah kita lihat adalah Paskah Lama melambangkan Paskah Baru; pembebasan Israel dari Firaun di laut merah menandakan pembebasan kita dari dosa melalui wafat dan Kebangkitan Sang Juruselamat. Ini adalah metode penafsiran yang kita kenakan kepada seluruh Kitab Suci. Mengapa, misalnya, dalam separuh masa Prapaskah bacaan Perjanjian Lama dari kitab Kejadian didominasi oleh figure Yusuf? Mengapa dalam Pekan Suci kita membaca dari kitab Ayub? Karena Yusuf dan Ayub adalah orang-orang yang menderita tanpa bersalah, dan mereka adalah type atau pratanda dari Yesus Kristus, yang menderita tanpa salah di Salib dan yang menjadi pusat perayaan Gereja. Ini semua saling berkaitan.
Seorang Kristen Alkitabiah adalah dia yang, ke manapun ia memandang, di setiap halaman Kitab Suci, menemukan Kristus di mana-mana.
Kitab Suci Sebagai Sesuatu Yang Pribadi
Dalam kata-kata seorang penulis asketis dalam Kekristenan Timur, Santo Markus sang Rahib: �Dia yang rendah hai dan bertekun dalam karya rohani, saat ia membaca Kitab Suci, ia menerapkan segala sesuatu kepada dirinya dan bukan kepada sesamanya.� Sebagai orang Kristen Ortodoks kita juga melihat dalam Kitab Suci sesuatu untuk diterapkan secara pribadi. Kita tidak hanya bertanya �Apa artinya?� tetapi juga �Apa artinya untukku?� Kitab Suci adalah dialog pribadi antara sang Juruselamat dan diriku- Kristus berbicara kepadaku, dan aku menjawab. Inilah kriteria keempat dalam pembacaan Kitab Suci kita.
Saya hendak melihat seluruh kisah Kitab Suci sebagai bagian dari kisah pribadiku sendiri. Siapakah Adam? Nama Adam berarti �manusia�, maka kisah kitab Kejadian mengenai kejatuhan Ada, juga adalah kisah kejatuhan saya. Akulah Adam. Ketika Allah berkata kepada Adam, �Di mana engkau?�(Kej3:9). Kita sering bertanya �Dimana Allah?� Tetapi pertanyaa sebenarnya adalah yang ditanyakan Allah kepada Adam dalam setiap kita: �Dimana engkau?�
Dalam kisah Kain dan Habel, kita membaca kata-kata Allah kepada Kain, �Dimana Habel saudaramu?� (Kej4:9), kata-kata ini juga dialamatkan kepada setiap kita. Siapa Kain? Ia adalah diriku sendiri. Dan Allah bertanya kepada Kain dalam diri setiap kita, �Dimana saudaramu?� Jalan kepada Allah terletak pada cinta kasih kepada sesama, dan tidak ada jalan lain. Jika aku menindas saudaraku, maka aku menggantikan gambar Allah dengan gambar Kain, dan menyangkal sisi kemanusiaanku sendiri yang mendasar.
Dalam membaca Kitab Suci, kita dapat mengambil tiga langkah ini. Pertama, apa yang kita miliki dalam Kitab Suci adalah sejarah suci: sejarah dunia sejak saat Penciptaan, sejarah umat terpilih, sejarah Allah yang menjadi daging di Palestina, dan �perbuatan ajaib� setelah Pentakosta. Kekristenan yang kita temukan dalam Alkitab bukanlah ideologi, bukan teori filsafat, tetapi iman yang menyejarah.
Kemudian kita masuk ke langkah kedua. Sejarah yang disampaikan di Kitab Suci adalah sejarah pribadi. Kita melihat Allah campur tangan pada waktu dan tempat yang khusus, dimana Ia berdialog dengan orang-orang secara pribadi. Ia menyapa setiap orang dengan namanya masing-masing. Kita melihat dalam Kitab Suci suatu panggilan yang secara khusus disampaikan Allah kepada Abraham, Musa dan Daud, Ribka dan Ruth, Yesaya dan para nabi, dan kemudian kepada Maria dan para Rasul. Kita melihat selektifitas dari tindakan ilahi dalam sejarah, bukan sebagai skandal tetapi sebagai berkat. Cinta Allah universal ruang lingkupnya, tetapi Ia memilih menjadi daging di sudut tertentu bumi, di suatu waktu tertentu dan dari seorang Ibu tertentu. Dengan cara ini kita menikmati keunikan tindakan Allah sebagaimana tercatat dalam Kitab Suci. Orang yang mencintai Alkitab mencintai detail sejarah dan geografi Kitab Suci. Itulah sebabnya Ortodoksi memiliki devosi yang kental kepada Tanah Suci, tempat di mana Kristus hidup dan mengajar, mati dan hidup kembali. Sebuah cara gemilang untuk memperdalam pembacaan Kitab Suci kita adalah melakukan peziarahan ke Yerusalem dan Galilea. Berjalan di mana Kristus berjalan. Turun ke Laut Mati, duduk sendirian di batu karang, merasakan apa yang dirasakan Kristus selama 40 hari dicobai di padang gurun. Minum dari sumur dimana Ia berbicara kepada wanita Samaria. Pergi dimalam hari ke taman Getsemani, duduk di kegelapan dibawah pohon zitun kuno dan kemudian memandang lembah melihat cahaya kota. Mengalami secara penuh kenyataan latar belakang sejarah ini, dan mengembalikan pengalaman itu kepada pembacaan Kitab Suci pribadi harianmu.
Kemudian kita mengambil langkha ketiga. Menghidupkan kembali sejarah Kitab Suci dengan segala kekhususannya dengan menerapkannya secara langsung kepada diri kita sendiri. Kita hendaknya berkata kepada diri kita, �Semua tempat dan peristiwa ini bukan saja berlangsung jauh di sana dan pada waktu lampau, tetapi juga bagian dari hubungan pribadiku dengan Kristus. Aku adalah bagian dari cerita ini.�
Pengkhianatan, misalnya, adalah bagian dari kisah hidup semua orang. Apakah kita tidak pernah dikhianati seseorang pada masa hidup kita, dan apakah kita tidak mengalami sama sekali apa artinya berkhianat, dan tidakkah kenangan ini meninggalkan luka dalam jiwa kita? Kemudian bacalah kisah pengkhianatan Santo Petrus kepada Kristus dan pemulihannya sesudah Kebangkitan, kita bisa melihat diri kita sebagai pemeran dalam kisah ini. Bayangkanlah apa yang dialami Yesus dan Petrus segera sesudah pengkhianatan, masuklah ke perasaan mereka dan jadikanlah itu perasaanmu. Sayalah Petrus; atau dalam situasi ini bisakah saya adalah Kristus? Renungkanlah juga proses perdamaiannya- bertanyalah kepada diri sendiri: Bagaimana Kristus- seperti aku melakukan sesuatu terhadap orang yang mengkhianati aku? Dan, setelah tindakan pengkhianatanku sendiri, beranikah aku menerima permintaan maaf dari orang yang telah mengkhianati aku- apakah aku mau memaafkan diriku sendiri? Atau apakah aku enggan memaafkan, selalu membuang muka, tidak pernah siap memberikan diriku secara sepenuhnya untuk apapun entah itu baik atau jahat? Seperti yang dikatakan oleh para Bapa Padang Gurun �Jauh lebih baik orang yang telah berdosa, jika dia tahu dirinya berdosa dan berobat, daripada orang yang tidak berbuat dosa dan berpikir bahwa dirinya adalah orang benar.�
Sudahkah aku memiliki keberanian Santa Maria Magdalena, ketekunan dan kesetiaannya, ketika ia pergi hendak meminyaki tubuh Kristus di makam (Yoh20:1)? Apakah aku mendengar Juruselamat yang Bangkit memanggil namaku, sebagaimana Ia memanggil dia, dan apakah aku menjawab Dia Rabbuni (Guru) bersamanya dengan segala kesederhanaan dan ketulusannya (Yoh20:16)?
Membaca Kitab Suci dengan cara ini- dalam ketaatan, sebagai anggota Gereja, menemukan Kristus, dimana-mana, melihat semua hal dalam Kitab Suci sebagai bagian dari kisah pribadiku sendiri- kita akan merasakan sesuatu pada keragaman dan kedalaman yang dapat kita temukan dalam Alkitab. Namun kita juga akan selalu merasa bahwa pendalaman Kitab Suci kita selalu berada pada tahap awal. Kita bagaikan seorang dengan perahu kecil di tengah lautan tak terbatas.
�Firman-Mu adalah pelita bagi kakiku, dan terang bagi jalanku� (Mazmur 119:105).
Monday, October 12, 2009
Purgatory Dalam Pandangan Timur
Oleh Anthony Dragani
Versi asli silahkan dibaca di
http://www.east2west.org/doctrine.htm#Purgatory
Dapatkah Anda menjelaskan perbedaan antara teologi Latin mengenai Dogma Api Penyucian dengan berbagai Gereja-gereja Timur?
Secara umum, semua orang Kristen Timur tidak menggunakan kata �Api Penyucian�. Hal ini berlaku baik orang Katolik Timur maupun Ortodoks Timur. Kata �Api penyucian� sendiri merupakan suatu hal yang khusus bagi tradisi Latin, dan memiliki sejumlah muatan historis yang tidak nyaman bagi orang-orang Kristen Timur.
Di lingkungan Barat pada abad pertengahan, banyak teolog ternama yang mendefinisikan Api Penyucian sebagai suatu tempa khusus, di mana orang-orang pada dasarnya ditempatkan didalamnya dan mengalami penderitaan. Sejumlah teolog bahkan melangkah lebih jauh hendak mengatakan bahwa secara literal memang ada api yang membakar mereka yang menderita di Api Penyucian. Juga merupakan suatu hal yang populer untuk mengaitkan sejumlah periode waktu yang akan dijalani seseorang di Api Penyucian untuk berbagai pelanggaran. Perlu diperhatikan bahwa teologi Latin sekarang ini (syukurlah) telah meninggalkan pendekatan semacam itu, dan beralih kepada pendekatan yang lebih berakar pada ajaran para Bapa Gereja mengenai Api Penyucian.
Dalam pemahaman Katolik, hanya dua hal yang dogmatis berkenaan dengan Api Penyucian ini: 1) Bahwa ada tempat (atau keadaan) peralihan/transformasi bagi mereka yang akan masuk Surga, dan 2) Doa-doa berguna bagi arwah yang berada dalam keadaan ini.
Gereja-gereja Katolik Timur dan Ortodoks Timur sepenuhnya sepakat dengan Gereja Latin mengenai hal-hal ini. Praktisnya, kami secara rutin merayakan Liturgi Ilahi bagi mereka yang telah meninggal, dan mempersembahkan sejumlah doa bagi arwah-arwah itu. Kami tidak akan berbuat demikian jika kami tidak setuju dengan dua poin dogmatis di atas.
Tetapi sekali lagi kami sampaikan bahwa kami tidak menggunakan istilah Api Penyucian karena dua alasan. Pertama, hal itu adalah sebuah kata Latin yang pertama kali digunakan di Barat pada abad pertengahan, dan kami menggunakan bahasa Yunani untuk menggambarkan teologi kami. Kedua, kata Api Penyucian masih membawa muatan abad pertengahan yang kami merasa tidak nyaman dengannya.
Penting untuk diperhaikan bahwa Gereja Katolik Byzantine saya sendiri tidak pernah disyaratkan untuk menggunakan kata Api Penyucian. Piagam persatuan kami dengan Roma, �Traktar Brest: yang secara resmi diterima oleh Paus Klemens VII, tidak mewajibkan kami untuk menerima pengertian Barat tentang Api Penyucian.
Pasal V dari Traktat Brest menyatakan �Kita tidak boleh berdebat mengenai Api Penyucian�� menandakan bahwa kedua pihak dapat sepakat untuk tidak sepakat mengenai detail dari apa yang oleh orang-orang Barat disebut sebagai Api Penyucian.
Di Timur, kami memiliki kecenderungan untuk memandang secara lebih positif peralihan dari kematian ke Surga. Daripada menyebutnya �Api Penyucian� kami memilih menyebutnya �Pengilahian Terakhir� (Final Theosis). Hal ini mengacu kepada proses pengilahian dimana sisa-sisa kodrat manusiawi kita diubah sehingga kita dapat berbagai hidup dengan Tritunggal Mahakudus. Ketimbang memandangnya sebagai tempat untuk �menanti dan menderita�, para Bapa Gereja Timur mendefiniskan Pengilahian Terakhir ini sebagai suatu perjalanan. dan sekalipun perjalanan ini dapat mengandung kesulitan, namun juga ada secercah sukacita yang kuat.
Yang menarik adalah Muder Angelica (seorang biarawati pendiri stasiun televisi Katolik EWTN) telah berulangkali mengungkapkan pengertian yang sangat positif akan Api Penyucian sebagai keadaan yang penuh sukacita daripada sebagai tempat penderitaan. Dalam arti tertentu pengertiannya sungguh sejalan dengan pemahaman Timur mengenai Pengilahian Terakhir.
Walaupun kami tidak menggunakan kata-kata yang sama, orang Ortodoks Timur dan Katolik Timur serta Latin secara mendasar mempercayai hal yang sama dalam hal yang penting ini.
Harap diperhatikan juga bahwa teologi Timur mengajarkan bahwa pengilahian adalah proses tidak terbatas (infinite), dan tidak berhenti saat orang memasuki surga. Istilah �Pengilahian Terakhir� tidak dimaksudkan untuk menunjukkan hal yang sebaliknya.
Catatan Penerjemah:
Pandangan Dr. Dragani mewakili tradisi teologi Byzantine, sementara tradisi Alexandria (Koptik) dan Antiokhia (Syria) tampak seperti suatu jalan tengah antara pandangan Latin dan Byzantine. Tradisi Oriental (Syria dan Koptik) misalnya meskipun secara dominan masih menekankan aspek sukacita dari �Api Penyucian� namun memiliki tekanan yang lebih akan penderitaan dan hukuman dibandingkan tradisi Byzantine, dan karena itu juga lebih mendekati tradisi Latin walaupun secara umum mereka tetap lebih dekat dengan tradisi Byzantine.
Versi asli silahkan dibaca di
http://www.east2west.org/doctrine.htm#Purgatory
Dapatkah Anda menjelaskan perbedaan antara teologi Latin mengenai Dogma Api Penyucian dengan berbagai Gereja-gereja Timur?
Secara umum, semua orang Kristen Timur tidak menggunakan kata �Api Penyucian�. Hal ini berlaku baik orang Katolik Timur maupun Ortodoks Timur. Kata �Api penyucian� sendiri merupakan suatu hal yang khusus bagi tradisi Latin, dan memiliki sejumlah muatan historis yang tidak nyaman bagi orang-orang Kristen Timur.
Di lingkungan Barat pada abad pertengahan, banyak teolog ternama yang mendefinisikan Api Penyucian sebagai suatu tempa khusus, di mana orang-orang pada dasarnya ditempatkan didalamnya dan mengalami penderitaan. Sejumlah teolog bahkan melangkah lebih jauh hendak mengatakan bahwa secara literal memang ada api yang membakar mereka yang menderita di Api Penyucian. Juga merupakan suatu hal yang populer untuk mengaitkan sejumlah periode waktu yang akan dijalani seseorang di Api Penyucian untuk berbagai pelanggaran. Perlu diperhatikan bahwa teologi Latin sekarang ini (syukurlah) telah meninggalkan pendekatan semacam itu, dan beralih kepada pendekatan yang lebih berakar pada ajaran para Bapa Gereja mengenai Api Penyucian.
Dalam pemahaman Katolik, hanya dua hal yang dogmatis berkenaan dengan Api Penyucian ini: 1) Bahwa ada tempat (atau keadaan) peralihan/transformasi bagi mereka yang akan masuk Surga, dan 2) Doa-doa berguna bagi arwah yang berada dalam keadaan ini.
Gereja-gereja Katolik Timur dan Ortodoks Timur sepenuhnya sepakat dengan Gereja Latin mengenai hal-hal ini. Praktisnya, kami secara rutin merayakan Liturgi Ilahi bagi mereka yang telah meninggal, dan mempersembahkan sejumlah doa bagi arwah-arwah itu. Kami tidak akan berbuat demikian jika kami tidak setuju dengan dua poin dogmatis di atas.
Tetapi sekali lagi kami sampaikan bahwa kami tidak menggunakan istilah Api Penyucian karena dua alasan. Pertama, hal itu adalah sebuah kata Latin yang pertama kali digunakan di Barat pada abad pertengahan, dan kami menggunakan bahasa Yunani untuk menggambarkan teologi kami. Kedua, kata Api Penyucian masih membawa muatan abad pertengahan yang kami merasa tidak nyaman dengannya.
Penting untuk diperhaikan bahwa Gereja Katolik Byzantine saya sendiri tidak pernah disyaratkan untuk menggunakan kata Api Penyucian. Piagam persatuan kami dengan Roma, �Traktar Brest: yang secara resmi diterima oleh Paus Klemens VII, tidak mewajibkan kami untuk menerima pengertian Barat tentang Api Penyucian.
Pasal V dari Traktat Brest menyatakan �Kita tidak boleh berdebat mengenai Api Penyucian�� menandakan bahwa kedua pihak dapat sepakat untuk tidak sepakat mengenai detail dari apa yang oleh orang-orang Barat disebut sebagai Api Penyucian.
Di Timur, kami memiliki kecenderungan untuk memandang secara lebih positif peralihan dari kematian ke Surga. Daripada menyebutnya �Api Penyucian� kami memilih menyebutnya �Pengilahian Terakhir� (Final Theosis). Hal ini mengacu kepada proses pengilahian dimana sisa-sisa kodrat manusiawi kita diubah sehingga kita dapat berbagai hidup dengan Tritunggal Mahakudus. Ketimbang memandangnya sebagai tempat untuk �menanti dan menderita�, para Bapa Gereja Timur mendefiniskan Pengilahian Terakhir ini sebagai suatu perjalanan. dan sekalipun perjalanan ini dapat mengandung kesulitan, namun juga ada secercah sukacita yang kuat.
Yang menarik adalah Muder Angelica (seorang biarawati pendiri stasiun televisi Katolik EWTN) telah berulangkali mengungkapkan pengertian yang sangat positif akan Api Penyucian sebagai keadaan yang penuh sukacita daripada sebagai tempat penderitaan. Dalam arti tertentu pengertiannya sungguh sejalan dengan pemahaman Timur mengenai Pengilahian Terakhir.
Walaupun kami tidak menggunakan kata-kata yang sama, orang Ortodoks Timur dan Katolik Timur serta Latin secara mendasar mempercayai hal yang sama dalam hal yang penting ini.
Harap diperhatikan juga bahwa teologi Timur mengajarkan bahwa pengilahian adalah proses tidak terbatas (infinite), dan tidak berhenti saat orang memasuki surga. Istilah �Pengilahian Terakhir� tidak dimaksudkan untuk menunjukkan hal yang sebaliknya.
Catatan Penerjemah:
Pandangan Dr. Dragani mewakili tradisi teologi Byzantine, sementara tradisi Alexandria (Koptik) dan Antiokhia (Syria) tampak seperti suatu jalan tengah antara pandangan Latin dan Byzantine. Tradisi Oriental (Syria dan Koptik) misalnya meskipun secara dominan masih menekankan aspek sukacita dari �Api Penyucian� namun memiliki tekanan yang lebih akan penderitaan dan hukuman dibandingkan tradisi Byzantine, dan karena itu juga lebih mendekati tradisi Latin walaupun secara umum mereka tetap lebih dekat dengan tradisi Byzantine.
Sunday, October 11, 2009
Audiensi Umum Paus Benediktus XVI: St. Syemon Sang Teolog Baru
Audiensi Umum Benediktus XVI
Aula Paulus VI
Rabu, 16 September 2009
Saudara-saudari terkasih,
Hari ini kita berhenti sejenak untuk merefleksikan seorang rahib Timur, Syemon sang Teolog baru, yang tulisan-tulisannya memiliki pengaruh sangat besar dalam teologi dan spiritualitas Timur, secara khusus berkaitan dengan persatuan mistik dengan Allah. Syemon sang Teolog baru lahir tahun 949 di Galatai, Paphlagonia, di Asia Kecil, dalam sebuah keluarga bangsawan provinsial. Ketika masih muda ia pindah ke Konstantinopel untuk menyelesaikan pendidikannya dan memasuki birokrasi Kekaisaran. Akhirnya, ia tidak tertarik dengan karier pemerintahan yang menantinya. Dibawah pengaruh penerangan batin yang dialaminya, dia bersiap mencari seseorang yang dapat membimbingnya dalam periode kebingungan dan ketidakjelasan. Ia menemukan pembimbing rohaninya dalam diri Syemon si saleh (Eulabes), seorang biarawan sederhana di Studios di Konstantinopel yang menyarankannya membaca traktat dari Markus sang rahib, Hukum Rohani. Syemon sang Teolog baru menemukan dalam teks ini ajaran yang memberikan kesan mendalam baginya: �Jika kamu mencari penyembuhan rohani, dengarkanlah suara hatimu,� ia membaca di dalamnya. �Lakukan semua yang ia katakan kepadamu dank au akan mendapati bahwa ia melayanimu�. Sejak saat itu, ia sendiri mengatakan bahwa ia tidak pernah pergi tidur tanpa terlebih dulu bertanya kepada dirinya sendiri apakah hati nuraninya memiliki suatu kritikan terhadap dirinya atau tidak.
Syemon memasuki biara Studite dan di sana ia mendapatkan sejumlah kesulitan karena pengalaman-pengalaman mistik dan devosinya yang luar biasa kepada pembimbing rohaninya. Ia lalu pindahk ke sebuah biara kecil yaitu St. Mamas, juga di Konstantinopel., dimana tiga tahun kemudian ia menjadi abbas, hegumen. Disana ia mengalami suatu pencarian intensif akan persatuan rohani dengan Kristus yang memberikan bagi dirinya suatu kuasa yang besar. Menarik juga untuk mencatat bahwa ia diberi gelar �Teolog baru� dalam suatu tradisi yang mengkhususkan gelar ini bagi dua orang yaitu Yohanes pengarang Injil dan Gregorius dari Nazianze. Syemon menderita beberapa kesalahpahaman dan pengucilan tetapi direhabilitasi oleh Patriarkh Sergius II dari Konstantinopel.
Syemon sang Teolog baru menghabiskan masa-masa akhir hidupnya di Biara St. Marina dimana ia menulis sebagian besar karyanya dan menjadi lebih dikenal karena pengajaran dan mukjizat-mukjizatnya. Ia meninggal pada 12 Maret 1022.
Muridnya yang paling terkenal, Niceta Stethatos, yang mengumpulkan dan menyalin tulisan-tulisan Syemon, mengkompilasi suatu edisi yang lengkap dan selanjutnya menulis biografinya. Karya Syemon terdiri dari 9 volume yang terbagi menjadi karya teologis, gnostik dan hal-hal praktis, tiga buku berupa katekese bagi para rahib, dua buku tentang traktat teologi dan etika serta sebuah buku madah. Lebih lagi sejumlah besar Surat-Surat-nya tidak boleh dilupakan. Semua karya ini memiliki tempat penting dalam tradisi monastik Timur sampai pada zaman kita.
Syemon memusatkan refleksinya pada kehadiran Roh Kudus dalam diri orang terbaptis dan pada kesadaran yang harus dimiliki umat terbaptis akan kenyataan rohani ini. �Hidup Kristen�, ia memberi penekanan, �adalah hubungan intim dan pribadi dengan Allah, dimana rahmat Ilahi menerangi hati umat beriman dan menuntunnya kepada visiun mistik Tuhan�. Bersamaan dengan ini, Syemon sang Teolog baru berkeras bahwa pengetahuan sejati akan Allah tidak datang melalui buku-buku tetapi dari pengalaman rohani, dari hidup rohani. Pengetahuan akan Allah lahir dari suatu proses penerangan batin yang dimulai dengan pertobatan hati melalui kuasa iman dan kasih. Proses ini berjalan melalui penyesalan yang mendalam akan dosa-dosa dan kerinduan untuk memperoleh persatuan dengan Kristus, sumber kedamaian dan sukacita yang disinari oleh cahaya kehadiran-Nya dalam diri kita. Bagi Syemon pengalaman rahmat Ilahi buknalah suatu anugerah khusus bagi para mistikus saja tetapi merupakan buah Pembaptisan dalam hidup setiap orang beriman yang memiliki komitmen akan imannya.
Satu hal yang perlu direnungkan, saudara-saudari terkasih! Rahib Timur ini memanggil kita untuk memberi perhatian kepada hidup rohani kita, kepada kehadiran Allah yang tersembunyi dalam kita, kepada ketulusan hati nurani dan pemurnian, kepada pertobatan hati, sehingga kehadiran Roh Kudus menjadi lebih nyata dalam diri kita dan membimbing kita. Jika kita sungguh memberi perhatian kepada perkembangan fisik, manusiawi dan intelektual kita, juga lebih penting untuk tidak mengabaikan perkembangan batin kita. Hal ini terdapat dalam pengetahuan akan Allah, dalam pengetahuan yang sejati, bukan hanya dengan belajar dari buku-buku tetapi dari dan dalam persekutuan dengan Allah, untuk mengalami pertolongan-Nya dalam setiap saat dan setiap keadaan. Pada dasarnya inilah yang digambarkan oleh Syemon saa ia membahas pengalaman mistiknya sendiri. Sebagai seorang muda sebelum ia masuk biara, ia mengalami di rumahnya sendiri pada malam ia bertekun dalam doa dan berseru kepada Tuhan agar membantu-Nya memerangi godaan, ia melihat ruangannya dipenuhi dengan cahaya. Kemudian, saat ia masuk biara, ia diberi buku-buku rohani untuk pengajaran bagi dirinya namun membaca buku-buku itu tidak memberinya damai yang ia cari. Ia merasa, seperti ia sendiri katakan, bagaikan burung kecil malang yang tidak memiliki sayap. Maka ia menerima situasi ini dengan rendah hati tanpa memberontak dan suatu saat ia menerima visiun cahaya sekali lagi dan hal itu mulai berkembang. Ketika ia ingin memastikan keaslian dari pengalaman ini, ia bertanya kepada Kristus seara langsung: �Tuhan, apakah itu sungguh Engkau yang ada di sini?� Dan ia mendengar jawaban yang meneguhkan bergema dalam hatinya dan jawaban itu sungguh menentramkannya. �Tuhan, saat itu�, tulisnya kemudian �adalah saat pertama dimana Engkau menganggap aku, anak yang hilang ini, layak mendengar suara-Mu�. Meskipun begitu pewahyuan ini tidak memberinya rasa damai yang penuh. Ia bertanya, atau lebih tepat, ia mempertimbangkan bahwa pengalaman itu adalah suatu ilusi atau bukan. Akhirnya, pada suatu hari terjadilah pengalaman yang menentukan dalam pengalaman-pengalaman mistiknya. Ia mulai merasa seperti �orang miskin yang mencintai saudara-saudaranya� (ptochos philadelphos). Saat itu ia melihat dirinya dikelilingi musuh yang berusaha mengancam dia dan melukainya, namun ia merasa dalam dirinya adalah dorongan cinta yang besar kepada mereka. Bagaimana hal ini dapat dijelaskan? Sesungguhnya, cinta sebesar itu tidak dapat datang dari dirinya sendiri tetapi harus berasal dari sumber lain. Syemon menyadari bahwa hal itu daang dari Kristus yang hadir dalam dirinya dan segalanya menajdi jelas: ia memiliki bukti yang pasti bahwa sumber cinta dalam dirinya adalah kehadiran Kristus. Dia yakin bahwa dengan memiliki cinta yang melampaui pemikiran dan kehendak manusiawi menyatakan kepada kita bahwa Sumber Cinta ada dalam diri kita. Maka di satu sisi kita dapat mengatakan bahwa jika kita tidak memiliki suatu keterbukaan kepada cinta, Kristus tidak memasuki diri kita, dan di sisi lain menjadi jelas bahwa Kristus adalah sumber dari cinta yang mengubah kita. Teman-teman terkasih, pengalaman ini tetap penting bagi kita saat ini jika kita hendak mencari kriteria yang menolong kita untuk mengetahui apakah kita sungguh dekat kepada Allah, apakah Allah hadir dan berdiam dalam diri kita. Cinta Allah berkembang dalam diri kita jika tetap bersatu dengan Dia dalam doa dan dengan mendengarkan sabda-Nya dengan hati terbuka. Hanya cinta Ilahi saja yang memampukan kita untuk membuka hati kita kepada sesama dan membuat kita peka terhadap kebutuhan mereka, membawa kita untuk mengakui semua orang sebagai saudara dan saudari dan mengundang kita untuk menanggapi kebencian dengan cinta dan pelanggaran dengan pengampunan.
Dalam berpikir tentang sosok Syemon sang Teolog baru, kita dapat menambahkan suatu catatan khusus mengenai spiritualitasnya. Jalan hidup asketiks yang dipilih dan diatempuhnya, sang rahib memberi perhatian kepada pengalaman batin dan menekankan pentingnya peranan pembimbing rohani dalam kehidupan biara. Sewatu masih muda, Syemon, seperti dikatakannya sendiri, telah menemukan pembimbing rohani yang memberinya bantuan yang mendasar dan yang selalu dipegangnya dengan rasa hormat yang tinggi dan memberi penghormatan kepadanya, bahkan di hadapan umum. Dan saya ingin mengatakan bahwa undangan Syemon untuk memiliki seorang pembimbing rohani yang baik, yang dapa membantu setiap individu untuk memiliki pengetahuan yang mendalam tentang dirinya sendiri dan untuk membantunya memiliki persatuan dengan Allah sehingga dalam hidupnya dia dapat hidup lebih selaras dengan Injil masih berlaku bagi setiap imam, biarawan-biarawati dan awam. Untuk menuju kepada Allah kita selalu membutuhkan bimbingan, sebuah dialog. Kita tidak dapat melakukannya dengan pemikiran kita sendiri. Hal ini juga merupakan makna dari sifat gerejani iman kita, yaitu untuk menemukan suatu bimbingan.
Untuk menutupnya kita dapat meringkaskan ajaran dan pengalaman Syemon sang Teolog baru dengan kata-kata ini: dalam pencarian tanpa henti akan Allah, bahkan ditengah segala kesulitan yang ia hadapi dan kritikan yang bernada keberatan terhadap dirinya, pada akhirnya ia membiarkan dirinya dibimbing oleh cinta. Ia sendiri mampu untuk hidup dan mengajar para rahibnya bahwa bagi setiap murid Yesus adalah sangat mendasar untuk bertumbuh dalam cinta; maka kita bertumbuh dalam pengetahuan akan Kristus sendiri, agar bersama Santo Paulus kita dapat mengatakan: �Bukan lagi Kristus yang hidup dalam aku, tetapi Kristus yang hidup dalam aku� (Gal 2:20).