BENEDICTUS, EPISCOPUS
SERVUS SERVORUM DEI
Para Paus sejak dulu sampai sekarang selalu memberi perhatian untuk memastikan agar Gereja Kristus mempersembahkan ritual yang layak ke hadapan keagungan Ilahi, �agar nama-Nya dipuji dan dimuliakan� dan �agar berguna bagi seluruh Gereja-Nya yang kudus.�
Sejak dulu pula, sebagaimana juga nanti untuk masa mendatang- telah dipandang perlu untuk memelihara suatu prinsip dimana �setiap Gereja partikulir harus sejalan dengan Gereja universal, bukan sekedar dalam hal ajaran iman dan tanda-tanda sakramental, tetapi juga mengenai penggunaannya secara universal sebagaimana disaksikan oleh tradisi apostolik yang tidak terputus, yang harus ditaati bukan sekedar untuk menghindarkan kesalahan tetapi juga untuk meneruskan iman secara menyeluruh, karena aturan doa Gereja berkaitan erat dengan aturan imannya.� [1]
Diantara para Paus yang telah menunjukkan perhatian mengenai hal tersebut di atas, nama St. Gregorius Agung sangat menonjol, karena ia telah melakukan segala usaha untuk memastikan bahwa generasi baru di Eropa menerima baik iman Katolik maupun harta karun ibadat dan kebudayaan yang telah dikembangkan oleh orang-orang Romawi pada abad-abad sebelumnya. Ia memerintahkan agar bentuk perayaan liturgi Ilahi sebagaimana dirayakan di kota Roma (baik menyangkut Kurban Misa dan Ibadat harian) dipelihara. Ia mengambil perhatian besar untuk menyebarkan para biarawan dan biarawati yang mengikuti peraturan hidup St. Benediktus dan mewartakan Injil dengan hidup mereka yang mencerminkan kebijaksanaan dari Aturan mereka yang menyatakan � tidak ada sesuatu yang ditempatkan diatas karya Allah.� Melalui cara ini, liturgi ilahi, yang dirayakan menurut tata cara kota Roma, tidak hanya memperkaya iman dan kesalehan tetapi juga kebudayaan dari banyak bangsa. Sudah diketahui umum, bahwa liturgi Latin, dalam banyak bentuknya, di setiap abad dari zaman Kristen, telah menjadi penguat bagi kehidupan rohani banyak orang kudus, dan telah mengembalikan mereka kepada kebajikan keagamaan dan menyuburkan kesalehan mereka.
Banyak Uskup Roma lainnya yang sepanjang sejarah telah menunjukkan perhatian khusus untuk memastikan agar liturgi ilahi dapat melaksanakan tugas ini secara lebih efektif. Diantara mereka menonjol nama St. Pius V, yang didorong oleh semangat pastoral yang besar dan mengikuti anjuran dari Konsili Trente, telah memperbarui seluruh liturgi Gereja, dan memerintahkan penerbitan buku liturgi yang telah diperbarui sesuai aturan para bapa Gereja dan menyediakannya untuk digunakan oleh Gereja Latin.
Salah satu buku liturgi bagi ritus Romawi adalah Misale Romawi, yang dikembangkan di kota Roma, dan sering dengan perkembangan selama berabad-abad, sedikit demi sedikit mencapai bentuk yang serupa dengan yang ada sekarang.
�Kepada tujuan yang sama inilah para Paus Roma selanjutnya mengerahkan tenaga mereka pada abad-abad yang selanjutnya untuk memastikan agar ritus dan buku-buku liturgi menjadi sesuai dengan zaman dan apabila perlu diperjelas isinya. Sejak permulaan abad ini mereka telah melakukan suatu pembaruan yang bersifat lebih umum.�[2] Sehingga, para pendahulu kami; Klemens VIII, Urbanus VIII, St. Pius X[3], Benediktus XV, Pius XII, dan Beato Yohanes XXIII semuanya ambil bagian dalam pembaruan tersebut.
Dalam waktu yang lebih kini lagi, Konsili Vatikan II mengungkapkan suatu niat agar rasa hormat yang sesuai terhadap ibadat ilahi harus diperbarui dan disesuaikan dengan kebutuhan zaman kita. Digerakkan oleh keinginan ini, pendahulu kami, Imam Agung Paulus VI, menyetujui dan pada tahun 1970 memperbarui dan mengubah sebagian buku-buku liturgi untuk Gereja Latin. Buku-buku ini, kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia, dan diterima dengan rela oleh para uskup, imam, dan umat beriman. Yohanes Paulus II memperbarui edisi acuan ketiga dari Misale Romawi ini. Jadi, para Paus Roma telah bekerja sedemikian untuk menjamin �bentuk liturgi yang diperbarui ini..harus sekali lagi bersinar dalam keagungan dan harmoninya.� [4]
Tetapi, di beberapa wilayah, ada sejumlah umat yang tetap memiliki rasa cinta dan kesetiaan yang besar kepada bentuk liturgi yang lebih awak. Liturgi kuno ini telah begitu dalam meresap dalam kebudayaan dan semangat hidup mereka sehingga akhirnya pada tahun 1984, Paus Yohanes Paulus II, yang tergerak oleh kepedulian pastoral kepada umat beriman ini, memberikan izin khusus �Quattor abhinc anno,� yang dikeluarkan oleh Konggregasi Ibadat Ilahi, untuk memberikan izin penggunaan Misale Romawi yang diterbitkan oleh Beato Yohanes XXIII pada tahun 1962. Kemudian, pada tahun 1988, melalui Surat Apostolik berupa Motu Proprio �Ecclesia Dei,� mendorong para uskup untuk dengan murah hati menggunakan kekuasannya untuk memberi izin kepada umat yang menginginkan perayaan liturgi kuno.
Sekarang, dengan mengikuti doa yang tekun dari umat beriman ini, dan sebagaimana telah sejak dulu diinginkan oleh Yohanes Paulus II, dan setelah mendengarkan pandangan-pandangan dari para bapa Kardinal dalam konsistori tanggal 22 Maret 2006, dan setelah merenungkan semua sisi masalahnya secara mendalam, dan dengan berseru kepada Roh Kudus serta mempercayai pertolongan Allah, melalui Surat Apostolik ini kami menetapkan yang berikut ini:
Pasal 1. Misale Romawi yang disahkan oleh Paulus VI adalah ungkapan biasa dari �Lex orandi� (aturan doa) Gereja Katolik ritus Latin. Walaupun demikian, Misale Romanum yang disahkan oleh Pius V dan disahkan kembali oleh Beato Yohanes XXIII dianggap sebagai ungkapan luar biasa dari �Lex orandi� yang sama dan harus diberi penghormatan karena penggunaannya yang kuno dan terhormat. Dua ungkapan Lex orandi Gereja ini tidak akan dengan cara apapun menimbulkan perpecahan dalam Lex credendi (aturan iman) Gereja. Sesungguhnya, mereka adalah dua cara penggunaan dari satu ritus Romawi.
Karena itu, diizinkan untuk merayakan Kurban Misa menurut edisi acuan Misale Romawi yang disahkan oleh Beato Yohanes XXIII pada tahun 1962 dan yang tidak pernah dibatalkan, sebagai suatu bentuk luar biasa dari Liturgi Gereja. Kondisi bagi penggunaan Misale ini sebagaimana telah diatur dalam dokumen sebelumnya yaitu �Quattor abhinc annis� dan �Ecclesia Dei� sekarang digantikan sebagai berikut:
Pasal 2. Dalam Misa-Misa yang dirayakan tanpa umat, setiap imam Katolik ritus Latin, entah sekuler ataupun regular, dapat menggunakan Misale Romawi yang diterbitkan oleh Beato Paus Yohanes XXIII pada tahun 1962, atau Misale Romawi yang disahkan oleh Paus Paulus VI pada tahun 1970, dan dapat melakukannya pada hari apapun kecuali pada Triduum Paskah. Dalam perayaan-perayaan Misa tanpa umat, imam dapat menggunakan salah satu Misale tanpa membutuhkan izin dari Tahta Apostolik ataupun dari Ordinarisnya.
Pasal 3. Komunitas-komunitas hidup bakti dan Serikat-serikat hidup kerasulan, baik dengan pengakuan pontifical atau diosesan, yang ingin merayakan Misa menurut Misale Romawi edisi 1962, baik secara konventual atau �dalam komunitas� yang dirayakan di tempat doa mereka, dapat melakukannya. Jika suatu komunitas atau seluruh Institut atau Serikat ingin melakukan perayaan tersebut secara sering, rutin atau permanen maka keputusan harus diambil oleh Superior Maior sesuai dengan hukum dan dengan mengikuti dekrit dan statute mereka.
Pasal 4. Perayaan Misa sebagaimana disebutkan dalam art.2 dapat- dengan mematuhi semua norma hukum- juga dapat dihadiri oleh umat beriman, yang atas kehendak bebas mereka sendiri, ingin hadir.
Pasal. 5. � 1 Di paroki-paroki yang terdapat sekelompok umat yang mencintai tradisi liturgi yang lebih lama, maka para gembala harus dengan rela menerima keinginan mereka untuk merayakan Misa menurut ritus Misale Romawi yang diterbitkan pada tahun 1962, dan memastikan agar kesejahteraan rohani umat ini selaras dengan pelayanan pastoral biasa paroki, dibawah bimbingan uskup sesuai dengan kanon 392, dan dengan menghindarkan perpecahan dan menjaga kesatuan seluruh Gereja
� 2 Perayaan menurut Misale Beato Yohanes XXIII dapat berlangsung pada hari-hari kerja; sementara pada hari Minggu dan pesta, perayaan semacam itu juga dapat diadakan.
� 3 Pastor paroki juga harus memberi izin perayaan bentuk luar biasa ini kepada para imam dan umat beriman yang memintanya dalam situasi khusus seperti pernikahan, pemakaman, dan perayaan-perayaan khusus seperti dalam suatu ziarah.
� 4 Imam yang menggunakan Misale Beato Yohanes XXIII harus mampu melakukannya dan tidak terhalang secara hukum.
� 5 Di gereja-gereja yang bukan paroki atau gereja biara, adalah tugas Rektor gereja untuk memberikan izin semacam itu.
Pasal 6. Dalam Misa-misa yang dirayakan bersama umat menurut Misale Beato Yohanes XXIII, bacaan-bacaan dapat dinyanyikan dalam bahasa lokal, menurut edisi yang disahkan oleh Tahta Apostolik.
Pasal 7. Jika sekelompok umat awam sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 � 1 tidak memperoleh jawaban memuaskan dari pastor paroki terhadap permintaan mereka, mereka harus memberitahukan hal ini kepada uskup diosesan. Sangat diharapkan supaya uskup dioses memenuhi keinginan mereka. Jika uskup tidak mampu mengadakan perayaan tersebut, ia harus menyerahkan masalah ini kepada Komisi Kepausan �Ecclesia Dei�.
Pasal 8. Seorang uskup, yang ingin memenuhi permintaan itu, namun karena berbagai alasan tidak mampu melakukannya, dapat menyerahkan masalah ini kepada Komisi �Ecclesia Dei� untuk mendapatkan bimbingan dan bantuan.
Pasal9. � 1 Pastor paroki juga dapat memberikan izin pada penggunaan ritual kuno bagi pelayanan Sakramen Baptis, Pernikahan, Pengakuan Dosa dan Pengurapan Orang Sakit, setelah meneliti semua aspeknya dan jika diperlukan bagi kesejahteraan rohani jiwa-jiwa.
� 2 Ordinaris diberi hak untuk merayakan Sakramen Krisma menurut Ponticale Romanum yang lebih kuno, jika kesejahteraan rohani jiwa-jiwa memerlukannya.
� 3 Para klerus yang ditahbisan �in sacris constitutis� (dalam penetapan suci) dapat menggunakan Breviarium Romanum yang disahkan oleh Beato Yohanes XXIII pada tahun 1962.
Pasal 10. Ordinaris di tempat-tempat tertentu dapat mendirikan paroki personal sesuai dengan kanon 518 bagi perayaan menurut bentuk kuno ritus Romawi, atau menunjuk seorang kapelan dengan menaati semua norma-norma hukum.
Pasal. 11. Komisi Kepausan �Ecclesia Dei�, yang didirikan oleh Yohanes Paulus II pada tahun 1998 [5], tetap melanjutkan tugas-tugasnya. Komisi tersebut akan memiliki bentuk, tugas dan norma sesuai yang dikehendaki oleh Uskup Roma.
Pasal. 12. Komisi ini, terlepas dari kekuasaan yang dimilikinya, akan menjalankan otoritas Tahta Suci, dalam mengawasi pelaksanaan dan penerapan peraturan-peraturan ini.
Kami memerintahkan, agar semua yang telah kami tetapkan dalam Surat Apostolik ini, yang diterbitkan sebagai Motu Proprio (atas inisiatif sendiri) dianggap sebagai �ditetapkan dan didekritkan�, dan agar dipatuhi sejak tanggal 14 September pada tahun ini, bertepatan dengan Pesta Pemuliaan Salib.
Dari Roma, di Santo Petrus, 7 Juli 2007, pada tahun ketiga masa kepausan Kami.
Benedictus PP XVI
(1) General Instruction of the Roman Missal, 3rd ed., 2002, no. 397. [back to text]
(2) John Paul II, Apostolic Letter "Vicesimus quintus annus," 4 December 1988, 3: AAS 81 (1989), 899. [back to text]
(3) Ibid. [back to text]
(4) St. Pius X, Apostolic Letter Motu propio data, "Abhinc duos annos," 23 October 1913: AAS 5 (1913), 449-450; cf John Paul II, Apostolic Letter "Vicesimus quintus annus," no. 3: AAS 81 (1989), 899. [back to text]
(5) Cf John Paul II, Apostolic Letter Motu proprio data "Ecclesia Dei," 2 July 1988, 6: AAS 80 (1988), 1498. [back to text]
Diterjemahkan dari teks bahasa Inggris di ewtn.com (kali ini rasanya terjemahannya kacau deh hehehe)
Thursday, January 6, 2011
Friday, March 12, 2010
Peranan Uskup Roma Dalam Persekutuan Gereja Sepanjang Milenium Pertama
Kami menerjemahkan sebuah draft dari Komisi dialog teologis antara Gereja Katolik dan Ortodoks mengenai peranan Uskup Roma dalam persekutuan Gereja sepanjang milenium pertama. Draft ini bukan pernyataan resmi, dan di kalangan Ortodoks juga terdapat beberapa reaksi negatif terhadap draft ini, sementara di kalangan Katolik, menurut pengetahuan kami, sambutannya cukup positif.
Komisi Koordinasi Gabungan Untuk Dialog Teologis Antara Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks
Aghios Nikolaos, Creta Yunani, 27 September- 4 Oktober 2008
Pendahuluan
1. Dalam dokumen Ravenna, �Konsekuensi Eklesiologis Dan Kanonik Dari Kodrat Sakramental Gereja- Persekutuan Gerejani, Konsiliaritas Dan Otoritas�, Katolik dan Ortodoks mengakui hubungan tak terpisahkan antara konsiliaritas dan primat pada setiap tingkat kehidupan Gereja: �Primat dan konsiliaritas saling bergantung satu sama lain. Itulah sebabnya mengapa primat pada berbagai tingkatan kehidupan Gereja, lokal, regional, dan universal, harus dipertimbangkan dalam konteks konsiliaritas, dan konsiliaritas juga dipertimbangkan dalam konteks primat (dokumen Ravenna, n. 43). Mereka juga mengakui bahwa �dalam tatanan kanonik (taxis) yang dihayati oleh Gereja awali�, yang �diakui oleh semua pada masa Gereja yang tidak terbagi�. �Roma, sebagai Gereja yang menurut ungkapan St. Ignatius Antiokhia, �memimpin dalam cinta kasih� (Surat kepada Roma, prolog), menempati urutan pertama dalam taxis, dan karenanya Uskup Roma menjadi protos di antara para Patriarkh� (nn. 40,41). Dokumen tersebut mengacu kepada peranan aktif dan hak prerogative Uskup Roma sebagai �protos di antara Patriarkh�, �protos di antara para Uskup dari Tahta-tahta Utama� (nn. 41,42,44), dan menyimpulkan bahwa �peranan Uskup Roma dalam persekutuan seluruh Gereja-gereja� harus dipelajari secara lebih mendalam�. �Apakah fungsi khusus dari Uskup �Tahta Pertama� dalam suatu eklesiologi koinonia?� (n. 45)
2. Maka topik dalam dialog teologis tahap selanjutnya adalah: �Peranan Uskup Roma Dalam Persekutuan Gereja Milenium Pertama�. Tujuannya adalah untuk memahami peranan Uskup Roma secara lebih mendalam pada masa dimana Gereja Timur dan Barat berada dalam persekutuan, sementara ada sejumlah perbedaan di antara keduanya, dan untuk menjawab pertanyaan di atas.
3. Teks yang sekarang ini akan membahas topik tersebut dengan memperhatikan empat hal berikut:
- Gereja Roma, prima sedes;
- Uskup Roma sebagai pengganti Petrus;
- Peranan Uskup Roma pada masa krisis persekutuan gerejani;
- Pengaruh faktor-faktor non-teologis.
Gereja Roma, �prima sedes�
4. Katolik dan Ortodoks sepakat bahwa, sejak masa apostolik, Gereja Roma telah diakui sebagai yang pertama di antara Gereja-gereja lokal, baik di Timur maupun di Barat. Tulisan para bapa apostolik dengan jelas memberikan kesaksian akan fakta ini. Roma, ibu kota kekaisaran, dengan cepat memperoleh kemasyhuran dalam Gereja awali sebagai tempat kemartiran Santo Petrus dan Paulus (cf. Wahyu 11: 3-12). Roma menempati tempat yang unik di antara Gereja-gereja lokal dan menjalankan suatu pengaruh yang unik pula. Pada akhir abad pertama, dengan menyerukan teladan para martir, Petrus dan Paulus, Gereja Roma menulis surat panjang kepada Gereja Korintus, yang telah menolak penatua-penatuanya (1Klemens 1,44), dan mendorong agar kesatuan dan keselarasan (homonoia) dipulihkan. Surat yang ditulis oleh Klemens, yang selanjutnya dikenal sebagai Uskup Roma (cf. Irenaeus, Adv.Haer 3,3,2), walaupun bentuk kepemimpinan Klemens di Roma pada masa itu tidaklah jelas.
5. Tak lama sesudah itu, dalam perjalanannya untuk dimartir di Roma, Ignatius dari Antiokhia menulis kepada Gereja Roma dengan penuh penghargaan, sebagai yang �layak bagi Allah, layak dihormati, layak disebut yang terberkati, layak akan keberhasilan, layak akan kemurnian�. Ia menyebutnya sebagai �yang memimpin di wilayah orang Romawi� dan juga sebagai �yang memimpin dalam cinta kasih� (�prokathemene tes agapes�; Roma, Salam). Ungkapan ini ditafsirkan dengan berbagai cara, tetapi ungkapan ini tampak menunjukkan bahwa Roma memiliki peranan sebagai senior dan pemimpin regional, dan juga pembedaan yang mendasar dalam Kekristenan, yaitu iman dan cinta kasih. Ignatius juga berbicara mengenai Petrus dan Paulus, yang berkhotbah kepada orang Romawi (Roma, 4).
6. Irenaeus menekankan bahwa Gereja Roma merupakan acuan pasti bagi pengajaran apostolik. Dengan Gereja ini, yang didirikan oleh Petrus dan Paulus, merupakan hal yang perlu bahwa setiap Gereja setuju dengannya (convenire), �propter potentiorem principalitatem�, suatu ungkapan yang secara berbeda-beda dapat dipahami sebagai �karena asal-usulnya yang lebih kuat� atau �karena otoritasnya yang lebih besar� (Adv. Haer., 3,3,2). Tertullianus juga memuji Gereja Roma �yang atasnya Rasul (Petrus dan Paulus) mencurahkan seluruh ajaran mereka bersama-sama dengan mencurahkan darahnya�. Roma merupakan yang paling utama di antara Gereja-gereja Apostolik dan tidak satupun dari banyak bidaah yang pergi ke sana mencari pengakuan pernah diterima (cf. De Praescrip. 36). Maka, Gereja Roma merupakan suatu titik acuan baik bagi �pedoman iman� dan juga dalam mencari penyelesaian damai bagi kesulitan-kesulitan di dalam atau antar Gereja-gereja tertentu.
7. Kadang-kadang Uskup Roma terlibat dalam ketidaksetujuan dengan Uskup-uskup lain. Anicetus dari Roma dan Polikarpus dari Smyrna gagal untuk menyepakati tanggal Paskah pada tahun 154 AD namun tetap memelihara persekutuan Ekaristis. Empat puluh tahun kemudian, Uskup Viktor dari Roma memerintahkan sinode-sinode untuk menyelesaikan masalah ini- suatu contoh awali mengenai sinodalitas dan juga para Paus yang mendorong sinode-sinode- dan mengekskomunikasi Polikrates dari Efesus dan Uskup-Uskup Asia saat sinode mereka menolak mengadopsi posisi Roma. Viktor kemudian dikecam oleh Irenaeus karena sikap kerasnya dan tampak kemudian ia mencabut hukumannya dan persekutuan dipertahankan. Pada pertengahan abad ke 3, muncul sebuah konflik besar mengenai apakah mereka yang dibaptis oleh kaum bidaah harus dibaptis kembali saat mereka masuk Gereja. Dengan mengacu kepada tradisi lokal, Cyprianus dari Karthago dan para Uskup Afrika Utara, didukung oleh sinode-sinode Timur di sekeliling Uskup Firmilianus dari Kaisarea, mempertahankan pendapat bahwa mereka harus dibaptis kembali, sementara itu Uskup Stephanus dari Roma, dengan mengacu kepada tradisi Roma dan karenanya kepada Petrus dan Paulus (Cyprianus, Ep. 75,6,2), mengatakan bahwa mereka tidak boleh dibaptis kembali. Persekutuan antara Stephanus dan Cyprianus kemudian merenggang namun tidak putus secara formal. Jadi, abad-abad pertama menunjukkan kepada kita bahwa kadang-kadang pandangan dan keputusan Uskup Roma ditentang oleh para Uskup lain. Masa-masa itu juga menunjukkan suburnya kehidupan sinodal Gereja awali. Misalnya, pada masa itu ada banyak Sinode Afrika, dan surat-menyurat yang sering antara Cyprianus dan Stephanus, terutama dengan pendahulunya yaitu Kornelius, menampakkan semangat kerekanan yang tinggi (cf. Cyprianus, Ep. 55,6,1-2).
8. Semua Gereja-gereja Timur dan Barat percaya bahwa Roma menempati tempat pertama (i.e primat) di antara Gereja-gereja. Primat ini berasal dari sejumlah faktor: pendirian Gereja oleh Petrus dan Paulus dan cita rasa kehadiran mereka yang hidup di sana; kemartiran dari dua Rasul paling utama (koryphes) di kota itu dan lokasi kuburan (tropaia) mereka di kota itu; serta kenyataan bahwa Roma adalah ibukota Kekaisaran dan pusat komunikasi.
9. Abad-abad pertama menunjukkan hubungan mendasar dan tak terpisahkan antara primat Tahta Roma dan primat Uskupnya; setiap Uskup mewakili, mempribadikan, dan mengungkapkan Tahtanya (cf. Ignatius dari Antiokia, Smyrnaeans 8; Cyprianus, Ep. 66,8). Maka, adalah tidak mungkin berbicara mengenai primat seorang Uskup tanpa mengacu kepada Tahtanya. Sejak paruh abad kedua, diajarkan bahwa kelanjutan Tradisi Apostolik ditandai dan diungkapkan dengan pergantian Uskup di Tahta-Tahta yang didirikan oleh Para Rasul. Baik Timur dan Barat memelihara pandangan bahwa keutamaan Tahta mendahului keutamaan Uskup dan merupakan sumber dari keutamaan Uskup.
10. Cyprianus percaya bahwa kesatuan episkopat (jabatan Uskup) dan Gereja disimbolisasikan dalam pribadi Petrus, yang kepadanya primat diberikan, dan dalam tahtanya, dan bahwa semua Uskup bersama-sama ambil bagian dalam tugas ini (�in solidium�; De Unit. Ecc., 4-5). Maka, Tahta Petrus dapat ditemukan di semua Tahta, tetapi teristimewa di Roma. Mereka yang datang ke Roma, datang �kepada Tahta Petrus, kepada Gereja asali, kepada sumber asli dari kesatuan episkopat� (Ep. 59,14,1).
11. Primat Tahta Roma diungkapkan dalam berbagai konsep: Cathedra Petri, Sedes Apostolica, Prima Sedes. Bagaimanapun juga, perkataan Paus Gelasius: �Tahta Pertama tidak diadili oleh siapapun� (�Prima Sedes a nemine iudicatur; Cf. Ep. 4, PL 58, 28B; Ep. 13, PL 59, 64A), yang kemudian diterapkan dalam konteks gerejani dan menjadi pertentangan antara Timur dan Barat, pada awalnya hanya berarti bahwa Paus tidak dapat diadili oleh Kaisar.
12. Tradisi Timur dan Barat mengakui suatu �kehormatan� (timi) tertentu dari yang pertama di antara Tahta-tahta Patriarkal, yang jelas tidak murni hanya kehormatan belaka (Konsili Nicaea, kan. 6; Konsili Konstantinopel, kan. 3; dan Konsili Kalsedon, kan. 28). Kehormatan ini memuat juga suatu �otoritas� (exousia; cf. Dokumen Ravenna, n.12), yang bagaimanapun juga �tanpa dominasi, tanpa tekanan fisik dan moral� (Dokumen Ravenna, n. 14). Walaupun dalam milenium pertama Konsili-konsili Oikumene dipanggil oleh Kaisar, tidak ada Konsili yang dapat diakui sebagai Oikumene jika tidak mendapatkan persetujuan Paus, baik yang diberikan sebelumnya maupun sesudahnya. Hal ini dapat dipandang sebagai penerapan prinip yang dinyatakan dalam Kanon Apostolik 34 pada tingkatan universal kehidupan Gereja: �Para Uskup dari tiap provinsi (ethnos) harus mengakui satu yang menjadi yang pertama (protos) di antara mereka, dan menganggapnya sebagai kepala (kephale) mereka, dan tidak melakukan apapun yang penting tanpa persetujuannya (gnome); setiap Uskup hanya dapat melakukan sesuatu yang berhubungan dengan Keuskupannya (paroikia) dan wilayahnya. Tetapi yang pertama (protos) tidak dapat melakukan apapun tanpa persetujuan yang lainnya. Dengan cara ini keselarasan (homonoia) akan bertahan, dan Allah akan dipuji melalui Tuhan dalam Roh Kudus� (cf. Dokumen Ravenna, n.24). Pada tiap tingkatan kehidupan Gereja primat dan konsiliaritas saling bergantung satu sama lain.
13. Kaisar Yustinianus (527-565) membakukan urutan limat Tahta utama, Roma, Konstantinopel, Alexandria, Antiokhia, Yerusalem, dalam hukum Kekaisaran (Novellae 131, 2; cf 109 praef; 123, 3), dan dengan demikian membentuk apa yang dikenal sebagai Pentarkhi. Uskup Roma dipandang sebagai yang pertama dalam tatanan (taxis), namun tanpa menyebutkan tradisi Petrine.
14. Pada masa Paus Gregorius I (590-604), berlangsung suatu perselisihan yang telah dimulai sejak masa Paus Pelagius II (579-590), mengenai gelar �Patriarkh Oikumene� bagi Patriarkh Konstantinople. Pemahaman yang berbeda di Timur dan Barat memicu perselisihan ini. Gregorius memandang bahwa dalam gelar ini ada suatu gagasan yang tidak dapat ditoleransi dan suatu pelanggaran hak-hak kanonik dari Tahta-tahta lain di Timur, sementara di Timur gelar ini dipahami bahwa gelar ini merupakan ungkapan hak-hak utama kepatriarkhan. Kemudian, Roma menerima gelar ini. Gregorius sendiri mengatakan bahwa ia sendiri menolak gelar �Paus Universal�, dan ia merasa dirinya dihormati saat setiap Uskup menerima kehormatan yang sepatutnya bagi mereka (�kehormatanku adalah kehormatan saudara-saudaraku�, Ep. 8, 29). Ia menyebut dirinya sendiri sebagai �hamba dari hamba-hamba Allah (servus servorum Dei).
15. Pemahkotaan Karolus Agung pada tahun 800 oleh Paus Leo III menandai suatu era baru dalam sejarah klaim-klaim kepausan. Satu faktor yang menuntun kepada perbedaan Timur dan Barat adalah kemunculan Dekretal Palsu (c. 850), yang bertujuan memperkuat otoritas Roma untuk melindungi para Uskup. Dekretal ini memainkan peranan yang besar pada abad-abad selanjutnya, karena para Paus mulai bertindak dalam semangat Dekretal yang menyatakan, misalnya, bahwa semua masalah-masalah besar (causae maiores), khususnya mengenai penggeseran Uskup dan Metropolitan, merupakan tanggung jawab utama Uskup Roma, dan semua Konsili dan Sinode menerima otoritas hukum mereka melalui peneguhan dari Tahta Roma. Para Patriarkh Konstantinopel tidak menerima pandangan semacam itu yang bertentangan dengan prinsip sinodalitas. Walaupun Dekretal tersebut tidak mengacu ke Timur, namun pada masa-masa yang kemudian, di milenium kedua, sejumlah tokoh Barat menerapkannya ke Timur. Walaupun ketegangan meningkat, namun pada tahun 1000 orang Kristen di Timur dan Barat masih merasa bahwa mereka tergabung dalam satu Gereja yang tidak terbagi.
Uskup Roma Sebagai Pengganti Petrus
16. Penekanan mengenai hubungan Tahta Romawi dengan Petrus dan Paulus pada masa-masa awal, kemudian secara bertahap, di Barat, dikembangkan menjadi suatu hubungan spesifik antara Uskup Roma dan Rasul Petrus. Paus Stephanus (pertengahan abad ke 3) adalah yang pertama kali menerapkan Matius 16: 18 (�engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini akan Kudirikan Gereja-Ku�) kepada jabatannya sendiri. Konsili Konstantinopel tahun 381 menyebutkan bahwa Konstantinopel memiliki tempat kedua setelah Roma: �karena ia merupakan Roma Baru, maka Uskup Konstantinopel memiliki urutan kehormatan kedua setelah Uskup Roma� (kanon 3). Kriteria yang menjadi acuan Konsili dalam menetapkan tatanan Tahta-tahta bukanlah pendirian apostolik namun status kota tersebut dalam organisasi sipil Kekaisaran Romawi. Kriteria yang berbeda bagi penataan Tahta-tahta utama disebutkan dalam Sinode yang berkumpul di Roma tahun 382 di bawah kepemimpinan Paus Damasus (cf. Decretum Gelasianum 3). Di sini Tahta-tahta utama disebutkan antara lain Roma, Alexandria, dan Antiokhia, tanpa menyebutkan apapun mengenai Konstantinopel. Dinyatakan juga bahwa Gereja Roma diberikan tempat pertama karena sabda Kristus kepada Petrus (Mat 16:18), dan karena pendiriannya oleh Petrus dan Paulus. Tempat kedua diberikan kepada Alexandria, karena didirikan oleh Markus murid Petrus, dan tempat ketiga diberikan kepada Antiokhia, di mana Petrus tinggal sebelum ia pindah ke Roma. Gagasan mengenai tiga tahta Petrine ini kemudian diulangi oleh para Paus di abad kelima seperti Bonifatius, Leo, dan Gelasius. Maka sejak 381-382 telah muncul dua kriteria untuk menentukan urutan gerejani suatu Gereja, yang pertama mengandaikan bahwa urutan gerejani harus sesuai dengan urutan sipil kota yang dipermasalahkan, sementara yang kedua mengacu kepada asal-usul apostolik, atau lebih khusus lagi asal-usul Petrine.
17. Gagasan Petrine ini kemudian secara signifikan dikembangkan dan diperdalam oleh Paus Leo (440-461). Ia membuat pembedaan tajam antara pelayanan Petrus dan orang yang menjalankan pelayanan tersebut, yang ia pandang sebagai pewaris (haeres) tak pantas dari Santo Petrus (Serm. 3,4). Dengan menjadi pewaris, Paus menjadi �apostolicus� dan ia mewarisi �consortium� dari kesatuan tak terbagi antara Kristus dan Petrus (Serm. 5,4;4,2). Konsekuensinya, adalah tugas Paus untuk memperhatikan semua Gereja-gereja (cf 2Kor 11:28; Ep. 120,4). Keutamaan Petrus ini berdasar pada fakta bahwa Kristus mempercayakan domba-dombanya kepadanya dan hanya kepadanya (Yoh 21:17; cf Serm. 83). Uskup Roma menjaga keistimewaan tradisi Gereja Roma, tradisi Santo Petrus (cf Ep. 9; Serm.96,3). Leo memandang dirinya sebagai �penjaga iman Katolik dan penetapan para Bapa� (Ep. 114), yang berkewajiban untuk meningkatkan hormat dan pelaksanaan Konsili-konsili.
18. Pada Konsili Oikumene keempat (451), pembacaan Surat Leo ditanggapi dengan seruan: �Petrus telah berbicara melalui Leo�. Bagaimanapun juga, hal ini bukanlah definisi formal mengenai suksesi Petrus. Hal ini merupakan suatu pengakuan, bahwa Leo, uskup Roma, telah menyuarakan iman Petrus, yang secara khusus ditemukan dalam Gereja Roma. Setelah Konsili yang sama, para Uskup mengatakan bahwa Leo adalah �penyambung lidah Santo Petrus bagi semua�menyampaikan kekudusan imannya bagi semua� (Epistola concilii Chalcedoniensis ad Leonem papam= Ep.98 dari Leo). Agustinus juga lebih suka memfokuskan pada iman daripada sekedar pribadi Petrus saat ia mengatakan bahwa Petrus adalah �figura ecclesiae� (Dalam Jo. 7, 14; Sermo 149, 6) dan �typus ecclesiae� (Sermo 149, 6) dalam pengakuannya akan iman dalam Kristus. Maka, merupakan suatu penyederhaan yang berlebihan untuk mengatakan bahwa orang-orang Barat menafsirkan �batu karang� di Matius 16: 18 sebagai pribadi Petrus sementara orang-orang Timur menafsirkannya sebagai iman Petrus. Dalam Gereja awali, baik Timur dan Barat, pergantian (suksesi) iman Petrus-lah yang dianggap sangat penting.
19. Penting untuk diperhatikan bahwa semua suksesi apostolik adalah suksesi iman apostolik dalam suatu Gereja lokal tertentu. Dari sudut pandang eklesiologi, tidaklah mungkin untuk memahami suatu suksesi antar pribadi secara terpisah atau di luar suksesi iman apostolik dan suatu Gereja lokal. Maka, mengatakan Petrus berbicara melalui Uskup Roma pertama-tama berarti Uskup Roma mengungkapkan iman apostolik yang diterima Gereja dari Rasul Petrus. Dalam arti inilah terutama Uskup Roma dipahami sebagai pengganti Petrus.
20. Di Barat, penekanan yang ditempatkan pada hubungan antara Uskup Roma dan Rasul Petrus, sejak abad keempat dan seterusnya, disertai juga dengan meningkatnya acuan yang lebih spesifik terhadap peranan Petrus dalam dewan para Rasul. Primat uskup Roma diantara para Uskup secara bertahap ditafsirkan sebagai suatu keistimewaan karena ia adalah pengganti Petrus, yang pertama diantara para Rasul (cf. Hieronimus, In Isaiam 14, 53; Leo, Sermo 94, 2; 95, 3). Kedudukan Uskup Roma diantara para Uskup dipahami dalam konteks kedudukan Petrus diantara para Rasul. Di Timur, perkembangan (evolusi) dalam penafsiran semacam ini mengenai pelayanan Uskup Roma tidak muncul. Penafsiran semacam ini juga tidak pernah secara eksplisit ditolak di Timur sepanjang milenium pertama, tetapi orang Timur cenderung memahami bahwa setiap Uskup adalah pengganti semua Rasul, termasuk Petrus (cf. Cyprianus, De unit. ecc. 4-5; Origenes, Comm. in Matt).
21. Serupa dengan itu, Barat juga tidak menolak gagasan Pentarkhi (lihat atas n. 13)- sebaliknya Barat dengan cermat menaati taxis lima Tahta utama, Roma, Konstantinopel, Alexandria, Antiokhia, dan Yerusalem, bersama dengan lima kepatriarkhan yang dikembangkan Gereja kuno (cf. dokumen Ravenna, n.28). Bagaimanapun juga, Barat tidak pernah memberikan signifikansi yang sama kepada Pentarkhi sebagai suatu cara pemerintahan Gereja seperti yang dilakukan oleh Timur.
22. Penting untuk diperhatikan bahwa perbedaan pemahaman mengenai keududukan Uskup Roma dan hubungan Tahta-tahta utama di Timur dan Barat ini, yang masing-masing didasarkan kepada penafsiran alkitabiah, teologis, dan kanonis, yang cukup berbeda, tetap tinggal berdampingan (co-exist) selama beberapa abad sampai akhir milenium pertama, tanpa menyebabkan putusnya persekutuan.
Peranan Uskup Roma Pada Masa �masa Krisis Dalam Persekutuan Gerejani
23. Pada milenium pertama, Gereja mengalami banyak kesempatan saat persekutuan gerejani terancam, misalnya, saat definisi-definisi Nicaea ditantang dengan pengecaman para Uskup ortodoks oleh sejumlah konsili yang diadakan di Timur pada abad keempat, dan saat rumusan kristologis Kalsedon ditantang oleh monofisitisme dan �Henotikon� (yang menimbulkan skisma Acacian) di abad kelima, dan kemudian oleh monoenergisme dan monothelitisme di abad ketujuh, juga pada masa krisis ikonoklasme di abad kedelapan dan kesembilan. Orang-orang Katolik dan Ortodoks mengakui pentingnya peranan yang dijalankan oleh Uskup Roma pada masa-masa tersebut.
24. Pada kenyataannya, sejak abad keempat dan seterusnya, ada suatu pertumbuhan terhadap pengakuan akan Roma sebagai pusat di mana pengaduan atau permintaan bantuan dalam berbagai situasi dapat disampaikan dari seluruh dunia Kristen. Pada tahun 339-340, Uskup Alexandria, mengajukan pengaduan kepada Paus Yulius. Dalam kata-kata Paus, yang dikutip oleh Athanasius �Dia (Athanasius) datang bukan karena kemauannya sendiri, tetapi karena ia diundang oleh surat kami� (Athanasius, Apologia contra Arianos 29;cf 20. 33. dan 35). Hal ini memperlihatkan bahwa Yulius tidak sekedar menanggapi permohonan dari Athanasius, tetapi ia sendiri mengambil inisiatif untuk �mengundang� Uskup dari Alexandria itu. Maka, tampak bahwa peranan Paus lebih dari sekedar menerima pengaduan.
25. Permintaan bantuan kepada Roma disaat terjadi krisis kadang juga disertai dengan permintaan seruma kepada Tahta-tahta utama gerejani lainnya. Yohanes Krisostomus (404), misalnya, mengadu tidak hanya kepada Roma melainkan juga kepada Uskup dari Milan dan Aquilela. Maka, tindakan yang diambil oleh Uskup Roma ditujukan untuk dikoordinasikan, dalam semangat konsiliar, dengan tindakan oleh Tahta-tahta utama lainnya. Lebih jauh lagi, inisiatif Uskup Roma pada umumnya cenderung dijalankan dalam konteks Sinode Romawi dan biasanya mengacu kepada sinode itu. Misalnya, dalam korespondensi pada masa perselisihan Photius, para Uskup Roma menekankan bahwa mereka telah mengambil keputusan sejalan dengan aturan atau kanon dan secara sinodal (�regulariter et synodaliter� atau �canonice et synodaliter�).
26. Prosedur yang harus diikuti dalam mengajukan permohonan kepada Roma dikembangkan oleh Konsili Sardica (342-343, kanon 3-5). Dalam keputusan konsili itu ditetapkan bahwa seorang Uskup yang telah dihukum (condemned) dapat mengajukan banding kepada Paus, dan jika Paus memandangnya perlu, dapat memerintahkan pengadilan ulang, untuk dijalankan oleh para Uskup dari keuskupan-keuskupan yang dekat dengan keuskupan dari Uskup yang dihukum tersebut. Jika diminta oleh Uskup terhukum tersebut, Paus juga dapat mengirimkan wakilnya untuk mendampingi para Uskup dari keuskupan-keuskupan tetangga. Walaupun pada awalnya dikehendaki menjadi Konsili Oikumene, namun Sardica sebenarnya adalah konsili lokal yang diadakan di Barat. Kanon-kanon Sardica diterima di Timur pada Konsili di Trullo (692).
27. Deskripsi paling jelas mengenai kondisi yang dibutuhkan agar sebuah konsili dapat diakui sebagai oikumene diberikan oleh Konsili Oikumene VII (Nicaea II, 787), konsili terakhir yang diakui sebagai oikumene baik di Timur dan di Barat:
- konsili itu harus diterima oleh kepala-kepala (proedroi) Gereja-gereja, dan mereka harus bersepakat (symphonia) dengannya;
- Paus Roma harus menjadi �rekan kerja� (synergos) dengan konsili;
- para Patriarkh dari Timur harus berada �dalam kesepakatan� (symphronountes);
- ajaran-ajaran konsili harus sejalan dengan Konsili-konsili Oikumene sebelumnya;
-konsili harus menerima angka urutan yang spesifik, agar dapat ditempatkan dalam kelanjutan dari konsili-konsili yang diterima oleh Gereja secara keseluruhan.
28. Dapat ditegaskan bahwa pada milenium pertama, peranan Uskup Roma sebagai yang pertama (protos) diantara para Patriarkh, menjalankan suatu fungsi koordinasi dan stabilitator dalam masalah yang berkaitan dengan iman dan persekutuan, dalam kesetiaan kepada tradisi dan dengan penuh hormat terhadap konsiliaritas.
Pengaruh Faktor-faktor Non-teologis
29. Sepanjang milenium pertama, sejumlah faktor yang tidak secara langsung bersifat teologis telah memainkan peranan yang cukup penting dalam hubungan antara Gereja-gereja di Timur dan Barat, dan mempengaruhi pemahaman dan pelaksanaan primat Uskup Roma. Faktor-faktor ini bermacam-macam jenisnya, misalnya faktor politis, historis, sosial-ekonomi, dan budaya.
30. Sebagai indikasi faktor-faktor yang berkaitan, dapat dinyatakan sebagai berikut:
- peristilahan, mentalitas, dan ideologi Kekaisaran Romawi;
- perubahan politik kerajaan berkaitan dengan kehidupan Gereja;
- pemindahan ibuka Kekaisaran ke Timur;
-kemunduran dan kejatuhan Kekaisaran Romawi di Barat, serta konsekuensinya bagi keseimbangan politik dan kebudayaan antara Timur dan Barat, yang menuntun kepada saling keterasingan, ketidaktahuan, dan kesalahpahaman diantara keduanya;
- ekspansi Muslim di wilayah kepatriarkhan Alexandria, Antiokhia dan Yerusalem, serta Afrika Utara dan Spanyol.
- kemunculan Kekaisaran Barat di bawah Karolus Agung;
- pengaruh pribadi dari sejumlah tokoh sejarah tertentu.
Suatu kesadaran akan faktor-faktor non-teologis yang berkerja dalam hubungan antara orang-orang Kristen Timur dan Barat serta apresiasi terhadap bagaimana mereka berinteraksi dengan berbagai faktor teologi memungkinkan suatu pemahaman yang lebih dalam akan kehidupan dan iman Gereja, dan secara khusus perbedaan yang berkembang antara Timur dan Barat.
Kesimpulan
31. Sepanjang milenium pertama, Timur dan Barat tetap bersatu dalam perbedaan fundamental mengenai prinsip teologis, misalnya, mengenai pentingnya kelanjutan dalam iman apostolik, ke-saling tergantung-an antara primat dan konsiliaritas/sinodalitas dalam setiap tingkat kehidupan Gereja, dan suatu pemahaman mengenai otoritas sebagai �pelayanan (diakonia) cinta kasih�, dengan �penghimpunan seluruh umat manusia dalam Yesus Kristus� sebagai tujuannya (cf. dokumen Ravenna, nn. 13-14). Walaupun kesatuan Timur dan Barat terganggu beberapa kali, para Uskup dari Timur dan Barat tidak pernah gagal untuk menyadari bahwa mereka tergabung dalam Gerejayang sama dan menjadi pengganti para Rasul dalam satu jabatan Uskup. Kerekanan para Uskup diungkapkan dalam suburnya kehidupan sinodal Gereja pada semua tingkatan baik lokal, regional, dan universal. Pada tingkat universal, Uskup Roma bertindak sebagai protos diantara para kepala Tahta-tahta utama. Ada anyak contoh mengenai berbagai jenis permohonan yang diajukan kepada Uskup Roma untuk meningkatkan damai dan memelihara persekutuan Gereja dalam iman apostolik.
32. Pengalaman milenium pertama secara mendalam mempengaruhi pola hubungan antara Gereja-gereja Timur dan Barat. Walaupun perbedaan bertambah dan kadang-kadang terjadi skisma pada masa ini, namun persekutuan tetap dipelihara antara Timur dan Barat. Prinsip perbedaan-dalam-persatuan, yang secara eksplisit diterima dalam Konsili Konstantinopel yang diadakan pada tahun 879-880, memiliki dampak penting yang khusus bagi tema dari tahapan dialog kita yang berlangsung sekarang ini. Perbedaan pemahaman dan penafsiran yang jelas, tidak mencegah Timur dan Barat untuk teap tinggal dalam persekutuan. Ada perasaan yang lebih kuat sebagai satu Gereja, dan ketetapan untuk tetap ada dalam kesatuan, sebagai satu kawanan dengan satu gembala (cf. Yoh 10:16). Milenium pertama, yang telah diperiksa dalam tahap dialog kami ini, adalah tradisi bersama dari kedua Gereja kita. Dalam prinsip teologis dan eklesioginya yang dasar telah diidentifikasikan di sini, tradisi bersama ini harus melayani sebagai model bagi pemulihan persekutuan penuh kita.
3 Oktober 2008.
Diterjemahkan dari:
http://chiesa.espresso.repubblica.it/articolo/1341814?eng=y
Komisi Koordinasi Gabungan Untuk Dialog Teologis Antara Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks
Aghios Nikolaos, Creta Yunani, 27 September- 4 Oktober 2008
Pendahuluan
1. Dalam dokumen Ravenna, �Konsekuensi Eklesiologis Dan Kanonik Dari Kodrat Sakramental Gereja- Persekutuan Gerejani, Konsiliaritas Dan Otoritas�, Katolik dan Ortodoks mengakui hubungan tak terpisahkan antara konsiliaritas dan primat pada setiap tingkat kehidupan Gereja: �Primat dan konsiliaritas saling bergantung satu sama lain. Itulah sebabnya mengapa primat pada berbagai tingkatan kehidupan Gereja, lokal, regional, dan universal, harus dipertimbangkan dalam konteks konsiliaritas, dan konsiliaritas juga dipertimbangkan dalam konteks primat (dokumen Ravenna, n. 43). Mereka juga mengakui bahwa �dalam tatanan kanonik (taxis) yang dihayati oleh Gereja awali�, yang �diakui oleh semua pada masa Gereja yang tidak terbagi�. �Roma, sebagai Gereja yang menurut ungkapan St. Ignatius Antiokhia, �memimpin dalam cinta kasih� (Surat kepada Roma, prolog), menempati urutan pertama dalam taxis, dan karenanya Uskup Roma menjadi protos di antara para Patriarkh� (nn. 40,41). Dokumen tersebut mengacu kepada peranan aktif dan hak prerogative Uskup Roma sebagai �protos di antara Patriarkh�, �protos di antara para Uskup dari Tahta-tahta Utama� (nn. 41,42,44), dan menyimpulkan bahwa �peranan Uskup Roma dalam persekutuan seluruh Gereja-gereja� harus dipelajari secara lebih mendalam�. �Apakah fungsi khusus dari Uskup �Tahta Pertama� dalam suatu eklesiologi koinonia?� (n. 45)
2. Maka topik dalam dialog teologis tahap selanjutnya adalah: �Peranan Uskup Roma Dalam Persekutuan Gereja Milenium Pertama�. Tujuannya adalah untuk memahami peranan Uskup Roma secara lebih mendalam pada masa dimana Gereja Timur dan Barat berada dalam persekutuan, sementara ada sejumlah perbedaan di antara keduanya, dan untuk menjawab pertanyaan di atas.
3. Teks yang sekarang ini akan membahas topik tersebut dengan memperhatikan empat hal berikut:
- Gereja Roma, prima sedes;
- Uskup Roma sebagai pengganti Petrus;
- Peranan Uskup Roma pada masa krisis persekutuan gerejani;
- Pengaruh faktor-faktor non-teologis.
Gereja Roma, �prima sedes�
4. Katolik dan Ortodoks sepakat bahwa, sejak masa apostolik, Gereja Roma telah diakui sebagai yang pertama di antara Gereja-gereja lokal, baik di Timur maupun di Barat. Tulisan para bapa apostolik dengan jelas memberikan kesaksian akan fakta ini. Roma, ibu kota kekaisaran, dengan cepat memperoleh kemasyhuran dalam Gereja awali sebagai tempat kemartiran Santo Petrus dan Paulus (cf. Wahyu 11: 3-12). Roma menempati tempat yang unik di antara Gereja-gereja lokal dan menjalankan suatu pengaruh yang unik pula. Pada akhir abad pertama, dengan menyerukan teladan para martir, Petrus dan Paulus, Gereja Roma menulis surat panjang kepada Gereja Korintus, yang telah menolak penatua-penatuanya (1Klemens 1,44), dan mendorong agar kesatuan dan keselarasan (homonoia) dipulihkan. Surat yang ditulis oleh Klemens, yang selanjutnya dikenal sebagai Uskup Roma (cf. Irenaeus, Adv.Haer 3,3,2), walaupun bentuk kepemimpinan Klemens di Roma pada masa itu tidaklah jelas.
5. Tak lama sesudah itu, dalam perjalanannya untuk dimartir di Roma, Ignatius dari Antiokhia menulis kepada Gereja Roma dengan penuh penghargaan, sebagai yang �layak bagi Allah, layak dihormati, layak disebut yang terberkati, layak akan keberhasilan, layak akan kemurnian�. Ia menyebutnya sebagai �yang memimpin di wilayah orang Romawi� dan juga sebagai �yang memimpin dalam cinta kasih� (�prokathemene tes agapes�; Roma, Salam). Ungkapan ini ditafsirkan dengan berbagai cara, tetapi ungkapan ini tampak menunjukkan bahwa Roma memiliki peranan sebagai senior dan pemimpin regional, dan juga pembedaan yang mendasar dalam Kekristenan, yaitu iman dan cinta kasih. Ignatius juga berbicara mengenai Petrus dan Paulus, yang berkhotbah kepada orang Romawi (Roma, 4).
6. Irenaeus menekankan bahwa Gereja Roma merupakan acuan pasti bagi pengajaran apostolik. Dengan Gereja ini, yang didirikan oleh Petrus dan Paulus, merupakan hal yang perlu bahwa setiap Gereja setuju dengannya (convenire), �propter potentiorem principalitatem�, suatu ungkapan yang secara berbeda-beda dapat dipahami sebagai �karena asal-usulnya yang lebih kuat� atau �karena otoritasnya yang lebih besar� (Adv. Haer., 3,3,2). Tertullianus juga memuji Gereja Roma �yang atasnya Rasul (Petrus dan Paulus) mencurahkan seluruh ajaran mereka bersama-sama dengan mencurahkan darahnya�. Roma merupakan yang paling utama di antara Gereja-gereja Apostolik dan tidak satupun dari banyak bidaah yang pergi ke sana mencari pengakuan pernah diterima (cf. De Praescrip. 36). Maka, Gereja Roma merupakan suatu titik acuan baik bagi �pedoman iman� dan juga dalam mencari penyelesaian damai bagi kesulitan-kesulitan di dalam atau antar Gereja-gereja tertentu.
7. Kadang-kadang Uskup Roma terlibat dalam ketidaksetujuan dengan Uskup-uskup lain. Anicetus dari Roma dan Polikarpus dari Smyrna gagal untuk menyepakati tanggal Paskah pada tahun 154 AD namun tetap memelihara persekutuan Ekaristis. Empat puluh tahun kemudian, Uskup Viktor dari Roma memerintahkan sinode-sinode untuk menyelesaikan masalah ini- suatu contoh awali mengenai sinodalitas dan juga para Paus yang mendorong sinode-sinode- dan mengekskomunikasi Polikrates dari Efesus dan Uskup-Uskup Asia saat sinode mereka menolak mengadopsi posisi Roma. Viktor kemudian dikecam oleh Irenaeus karena sikap kerasnya dan tampak kemudian ia mencabut hukumannya dan persekutuan dipertahankan. Pada pertengahan abad ke 3, muncul sebuah konflik besar mengenai apakah mereka yang dibaptis oleh kaum bidaah harus dibaptis kembali saat mereka masuk Gereja. Dengan mengacu kepada tradisi lokal, Cyprianus dari Karthago dan para Uskup Afrika Utara, didukung oleh sinode-sinode Timur di sekeliling Uskup Firmilianus dari Kaisarea, mempertahankan pendapat bahwa mereka harus dibaptis kembali, sementara itu Uskup Stephanus dari Roma, dengan mengacu kepada tradisi Roma dan karenanya kepada Petrus dan Paulus (Cyprianus, Ep. 75,6,2), mengatakan bahwa mereka tidak boleh dibaptis kembali. Persekutuan antara Stephanus dan Cyprianus kemudian merenggang namun tidak putus secara formal. Jadi, abad-abad pertama menunjukkan kepada kita bahwa kadang-kadang pandangan dan keputusan Uskup Roma ditentang oleh para Uskup lain. Masa-masa itu juga menunjukkan suburnya kehidupan sinodal Gereja awali. Misalnya, pada masa itu ada banyak Sinode Afrika, dan surat-menyurat yang sering antara Cyprianus dan Stephanus, terutama dengan pendahulunya yaitu Kornelius, menampakkan semangat kerekanan yang tinggi (cf. Cyprianus, Ep. 55,6,1-2).
8. Semua Gereja-gereja Timur dan Barat percaya bahwa Roma menempati tempat pertama (i.e primat) di antara Gereja-gereja. Primat ini berasal dari sejumlah faktor: pendirian Gereja oleh Petrus dan Paulus dan cita rasa kehadiran mereka yang hidup di sana; kemartiran dari dua Rasul paling utama (koryphes) di kota itu dan lokasi kuburan (tropaia) mereka di kota itu; serta kenyataan bahwa Roma adalah ibukota Kekaisaran dan pusat komunikasi.
9. Abad-abad pertama menunjukkan hubungan mendasar dan tak terpisahkan antara primat Tahta Roma dan primat Uskupnya; setiap Uskup mewakili, mempribadikan, dan mengungkapkan Tahtanya (cf. Ignatius dari Antiokia, Smyrnaeans 8; Cyprianus, Ep. 66,8). Maka, adalah tidak mungkin berbicara mengenai primat seorang Uskup tanpa mengacu kepada Tahtanya. Sejak paruh abad kedua, diajarkan bahwa kelanjutan Tradisi Apostolik ditandai dan diungkapkan dengan pergantian Uskup di Tahta-Tahta yang didirikan oleh Para Rasul. Baik Timur dan Barat memelihara pandangan bahwa keutamaan Tahta mendahului keutamaan Uskup dan merupakan sumber dari keutamaan Uskup.
10. Cyprianus percaya bahwa kesatuan episkopat (jabatan Uskup) dan Gereja disimbolisasikan dalam pribadi Petrus, yang kepadanya primat diberikan, dan dalam tahtanya, dan bahwa semua Uskup bersama-sama ambil bagian dalam tugas ini (�in solidium�; De Unit. Ecc., 4-5). Maka, Tahta Petrus dapat ditemukan di semua Tahta, tetapi teristimewa di Roma. Mereka yang datang ke Roma, datang �kepada Tahta Petrus, kepada Gereja asali, kepada sumber asli dari kesatuan episkopat� (Ep. 59,14,1).
11. Primat Tahta Roma diungkapkan dalam berbagai konsep: Cathedra Petri, Sedes Apostolica, Prima Sedes. Bagaimanapun juga, perkataan Paus Gelasius: �Tahta Pertama tidak diadili oleh siapapun� (�Prima Sedes a nemine iudicatur; Cf. Ep. 4, PL 58, 28B; Ep. 13, PL 59, 64A), yang kemudian diterapkan dalam konteks gerejani dan menjadi pertentangan antara Timur dan Barat, pada awalnya hanya berarti bahwa Paus tidak dapat diadili oleh Kaisar.
12. Tradisi Timur dan Barat mengakui suatu �kehormatan� (timi) tertentu dari yang pertama di antara Tahta-tahta Patriarkal, yang jelas tidak murni hanya kehormatan belaka (Konsili Nicaea, kan. 6; Konsili Konstantinopel, kan. 3; dan Konsili Kalsedon, kan. 28). Kehormatan ini memuat juga suatu �otoritas� (exousia; cf. Dokumen Ravenna, n.12), yang bagaimanapun juga �tanpa dominasi, tanpa tekanan fisik dan moral� (Dokumen Ravenna, n. 14). Walaupun dalam milenium pertama Konsili-konsili Oikumene dipanggil oleh Kaisar, tidak ada Konsili yang dapat diakui sebagai Oikumene jika tidak mendapatkan persetujuan Paus, baik yang diberikan sebelumnya maupun sesudahnya. Hal ini dapat dipandang sebagai penerapan prinip yang dinyatakan dalam Kanon Apostolik 34 pada tingkatan universal kehidupan Gereja: �Para Uskup dari tiap provinsi (ethnos) harus mengakui satu yang menjadi yang pertama (protos) di antara mereka, dan menganggapnya sebagai kepala (kephale) mereka, dan tidak melakukan apapun yang penting tanpa persetujuannya (gnome); setiap Uskup hanya dapat melakukan sesuatu yang berhubungan dengan Keuskupannya (paroikia) dan wilayahnya. Tetapi yang pertama (protos) tidak dapat melakukan apapun tanpa persetujuan yang lainnya. Dengan cara ini keselarasan (homonoia) akan bertahan, dan Allah akan dipuji melalui Tuhan dalam Roh Kudus� (cf. Dokumen Ravenna, n.24). Pada tiap tingkatan kehidupan Gereja primat dan konsiliaritas saling bergantung satu sama lain.
13. Kaisar Yustinianus (527-565) membakukan urutan limat Tahta utama, Roma, Konstantinopel, Alexandria, Antiokhia, Yerusalem, dalam hukum Kekaisaran (Novellae 131, 2; cf 109 praef; 123, 3), dan dengan demikian membentuk apa yang dikenal sebagai Pentarkhi. Uskup Roma dipandang sebagai yang pertama dalam tatanan (taxis), namun tanpa menyebutkan tradisi Petrine.
14. Pada masa Paus Gregorius I (590-604), berlangsung suatu perselisihan yang telah dimulai sejak masa Paus Pelagius II (579-590), mengenai gelar �Patriarkh Oikumene� bagi Patriarkh Konstantinople. Pemahaman yang berbeda di Timur dan Barat memicu perselisihan ini. Gregorius memandang bahwa dalam gelar ini ada suatu gagasan yang tidak dapat ditoleransi dan suatu pelanggaran hak-hak kanonik dari Tahta-tahta lain di Timur, sementara di Timur gelar ini dipahami bahwa gelar ini merupakan ungkapan hak-hak utama kepatriarkhan. Kemudian, Roma menerima gelar ini. Gregorius sendiri mengatakan bahwa ia sendiri menolak gelar �Paus Universal�, dan ia merasa dirinya dihormati saat setiap Uskup menerima kehormatan yang sepatutnya bagi mereka (�kehormatanku adalah kehormatan saudara-saudaraku�, Ep. 8, 29). Ia menyebut dirinya sendiri sebagai �hamba dari hamba-hamba Allah (servus servorum Dei).
15. Pemahkotaan Karolus Agung pada tahun 800 oleh Paus Leo III menandai suatu era baru dalam sejarah klaim-klaim kepausan. Satu faktor yang menuntun kepada perbedaan Timur dan Barat adalah kemunculan Dekretal Palsu (c. 850), yang bertujuan memperkuat otoritas Roma untuk melindungi para Uskup. Dekretal ini memainkan peranan yang besar pada abad-abad selanjutnya, karena para Paus mulai bertindak dalam semangat Dekretal yang menyatakan, misalnya, bahwa semua masalah-masalah besar (causae maiores), khususnya mengenai penggeseran Uskup dan Metropolitan, merupakan tanggung jawab utama Uskup Roma, dan semua Konsili dan Sinode menerima otoritas hukum mereka melalui peneguhan dari Tahta Roma. Para Patriarkh Konstantinopel tidak menerima pandangan semacam itu yang bertentangan dengan prinsip sinodalitas. Walaupun Dekretal tersebut tidak mengacu ke Timur, namun pada masa-masa yang kemudian, di milenium kedua, sejumlah tokoh Barat menerapkannya ke Timur. Walaupun ketegangan meningkat, namun pada tahun 1000 orang Kristen di Timur dan Barat masih merasa bahwa mereka tergabung dalam satu Gereja yang tidak terbagi.
Uskup Roma Sebagai Pengganti Petrus
16. Penekanan mengenai hubungan Tahta Romawi dengan Petrus dan Paulus pada masa-masa awal, kemudian secara bertahap, di Barat, dikembangkan menjadi suatu hubungan spesifik antara Uskup Roma dan Rasul Petrus. Paus Stephanus (pertengahan abad ke 3) adalah yang pertama kali menerapkan Matius 16: 18 (�engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini akan Kudirikan Gereja-Ku�) kepada jabatannya sendiri. Konsili Konstantinopel tahun 381 menyebutkan bahwa Konstantinopel memiliki tempat kedua setelah Roma: �karena ia merupakan Roma Baru, maka Uskup Konstantinopel memiliki urutan kehormatan kedua setelah Uskup Roma� (kanon 3). Kriteria yang menjadi acuan Konsili dalam menetapkan tatanan Tahta-tahta bukanlah pendirian apostolik namun status kota tersebut dalam organisasi sipil Kekaisaran Romawi. Kriteria yang berbeda bagi penataan Tahta-tahta utama disebutkan dalam Sinode yang berkumpul di Roma tahun 382 di bawah kepemimpinan Paus Damasus (cf. Decretum Gelasianum 3). Di sini Tahta-tahta utama disebutkan antara lain Roma, Alexandria, dan Antiokhia, tanpa menyebutkan apapun mengenai Konstantinopel. Dinyatakan juga bahwa Gereja Roma diberikan tempat pertama karena sabda Kristus kepada Petrus (Mat 16:18), dan karena pendiriannya oleh Petrus dan Paulus. Tempat kedua diberikan kepada Alexandria, karena didirikan oleh Markus murid Petrus, dan tempat ketiga diberikan kepada Antiokhia, di mana Petrus tinggal sebelum ia pindah ke Roma. Gagasan mengenai tiga tahta Petrine ini kemudian diulangi oleh para Paus di abad kelima seperti Bonifatius, Leo, dan Gelasius. Maka sejak 381-382 telah muncul dua kriteria untuk menentukan urutan gerejani suatu Gereja, yang pertama mengandaikan bahwa urutan gerejani harus sesuai dengan urutan sipil kota yang dipermasalahkan, sementara yang kedua mengacu kepada asal-usul apostolik, atau lebih khusus lagi asal-usul Petrine.
17. Gagasan Petrine ini kemudian secara signifikan dikembangkan dan diperdalam oleh Paus Leo (440-461). Ia membuat pembedaan tajam antara pelayanan Petrus dan orang yang menjalankan pelayanan tersebut, yang ia pandang sebagai pewaris (haeres) tak pantas dari Santo Petrus (Serm. 3,4). Dengan menjadi pewaris, Paus menjadi �apostolicus� dan ia mewarisi �consortium� dari kesatuan tak terbagi antara Kristus dan Petrus (Serm. 5,4;4,2). Konsekuensinya, adalah tugas Paus untuk memperhatikan semua Gereja-gereja (cf 2Kor 11:28; Ep. 120,4). Keutamaan Petrus ini berdasar pada fakta bahwa Kristus mempercayakan domba-dombanya kepadanya dan hanya kepadanya (Yoh 21:17; cf Serm. 83). Uskup Roma menjaga keistimewaan tradisi Gereja Roma, tradisi Santo Petrus (cf Ep. 9; Serm.96,3). Leo memandang dirinya sebagai �penjaga iman Katolik dan penetapan para Bapa� (Ep. 114), yang berkewajiban untuk meningkatkan hormat dan pelaksanaan Konsili-konsili.
18. Pada Konsili Oikumene keempat (451), pembacaan Surat Leo ditanggapi dengan seruan: �Petrus telah berbicara melalui Leo�. Bagaimanapun juga, hal ini bukanlah definisi formal mengenai suksesi Petrus. Hal ini merupakan suatu pengakuan, bahwa Leo, uskup Roma, telah menyuarakan iman Petrus, yang secara khusus ditemukan dalam Gereja Roma. Setelah Konsili yang sama, para Uskup mengatakan bahwa Leo adalah �penyambung lidah Santo Petrus bagi semua�menyampaikan kekudusan imannya bagi semua� (Epistola concilii Chalcedoniensis ad Leonem papam= Ep.98 dari Leo). Agustinus juga lebih suka memfokuskan pada iman daripada sekedar pribadi Petrus saat ia mengatakan bahwa Petrus adalah �figura ecclesiae� (Dalam Jo. 7, 14; Sermo 149, 6) dan �typus ecclesiae� (Sermo 149, 6) dalam pengakuannya akan iman dalam Kristus. Maka, merupakan suatu penyederhaan yang berlebihan untuk mengatakan bahwa orang-orang Barat menafsirkan �batu karang� di Matius 16: 18 sebagai pribadi Petrus sementara orang-orang Timur menafsirkannya sebagai iman Petrus. Dalam Gereja awali, baik Timur dan Barat, pergantian (suksesi) iman Petrus-lah yang dianggap sangat penting.
19. Penting untuk diperhatikan bahwa semua suksesi apostolik adalah suksesi iman apostolik dalam suatu Gereja lokal tertentu. Dari sudut pandang eklesiologi, tidaklah mungkin untuk memahami suatu suksesi antar pribadi secara terpisah atau di luar suksesi iman apostolik dan suatu Gereja lokal. Maka, mengatakan Petrus berbicara melalui Uskup Roma pertama-tama berarti Uskup Roma mengungkapkan iman apostolik yang diterima Gereja dari Rasul Petrus. Dalam arti inilah terutama Uskup Roma dipahami sebagai pengganti Petrus.
20. Di Barat, penekanan yang ditempatkan pada hubungan antara Uskup Roma dan Rasul Petrus, sejak abad keempat dan seterusnya, disertai juga dengan meningkatnya acuan yang lebih spesifik terhadap peranan Petrus dalam dewan para Rasul. Primat uskup Roma diantara para Uskup secara bertahap ditafsirkan sebagai suatu keistimewaan karena ia adalah pengganti Petrus, yang pertama diantara para Rasul (cf. Hieronimus, In Isaiam 14, 53; Leo, Sermo 94, 2; 95, 3). Kedudukan Uskup Roma diantara para Uskup dipahami dalam konteks kedudukan Petrus diantara para Rasul. Di Timur, perkembangan (evolusi) dalam penafsiran semacam ini mengenai pelayanan Uskup Roma tidak muncul. Penafsiran semacam ini juga tidak pernah secara eksplisit ditolak di Timur sepanjang milenium pertama, tetapi orang Timur cenderung memahami bahwa setiap Uskup adalah pengganti semua Rasul, termasuk Petrus (cf. Cyprianus, De unit. ecc. 4-5; Origenes, Comm. in Matt).
21. Serupa dengan itu, Barat juga tidak menolak gagasan Pentarkhi (lihat atas n. 13)- sebaliknya Barat dengan cermat menaati taxis lima Tahta utama, Roma, Konstantinopel, Alexandria, Antiokhia, dan Yerusalem, bersama dengan lima kepatriarkhan yang dikembangkan Gereja kuno (cf. dokumen Ravenna, n.28). Bagaimanapun juga, Barat tidak pernah memberikan signifikansi yang sama kepada Pentarkhi sebagai suatu cara pemerintahan Gereja seperti yang dilakukan oleh Timur.
22. Penting untuk diperhatikan bahwa perbedaan pemahaman mengenai keududukan Uskup Roma dan hubungan Tahta-tahta utama di Timur dan Barat ini, yang masing-masing didasarkan kepada penafsiran alkitabiah, teologis, dan kanonis, yang cukup berbeda, tetap tinggal berdampingan (co-exist) selama beberapa abad sampai akhir milenium pertama, tanpa menyebabkan putusnya persekutuan.
Peranan Uskup Roma Pada Masa �masa Krisis Dalam Persekutuan Gerejani
23. Pada milenium pertama, Gereja mengalami banyak kesempatan saat persekutuan gerejani terancam, misalnya, saat definisi-definisi Nicaea ditantang dengan pengecaman para Uskup ortodoks oleh sejumlah konsili yang diadakan di Timur pada abad keempat, dan saat rumusan kristologis Kalsedon ditantang oleh monofisitisme dan �Henotikon� (yang menimbulkan skisma Acacian) di abad kelima, dan kemudian oleh monoenergisme dan monothelitisme di abad ketujuh, juga pada masa krisis ikonoklasme di abad kedelapan dan kesembilan. Orang-orang Katolik dan Ortodoks mengakui pentingnya peranan yang dijalankan oleh Uskup Roma pada masa-masa tersebut.
24. Pada kenyataannya, sejak abad keempat dan seterusnya, ada suatu pertumbuhan terhadap pengakuan akan Roma sebagai pusat di mana pengaduan atau permintaan bantuan dalam berbagai situasi dapat disampaikan dari seluruh dunia Kristen. Pada tahun 339-340, Uskup Alexandria, mengajukan pengaduan kepada Paus Yulius. Dalam kata-kata Paus, yang dikutip oleh Athanasius �Dia (Athanasius) datang bukan karena kemauannya sendiri, tetapi karena ia diundang oleh surat kami� (Athanasius, Apologia contra Arianos 29;cf 20. 33. dan 35). Hal ini memperlihatkan bahwa Yulius tidak sekedar menanggapi permohonan dari Athanasius, tetapi ia sendiri mengambil inisiatif untuk �mengundang� Uskup dari Alexandria itu. Maka, tampak bahwa peranan Paus lebih dari sekedar menerima pengaduan.
25. Permintaan bantuan kepada Roma disaat terjadi krisis kadang juga disertai dengan permintaan seruma kepada Tahta-tahta utama gerejani lainnya. Yohanes Krisostomus (404), misalnya, mengadu tidak hanya kepada Roma melainkan juga kepada Uskup dari Milan dan Aquilela. Maka, tindakan yang diambil oleh Uskup Roma ditujukan untuk dikoordinasikan, dalam semangat konsiliar, dengan tindakan oleh Tahta-tahta utama lainnya. Lebih jauh lagi, inisiatif Uskup Roma pada umumnya cenderung dijalankan dalam konteks Sinode Romawi dan biasanya mengacu kepada sinode itu. Misalnya, dalam korespondensi pada masa perselisihan Photius, para Uskup Roma menekankan bahwa mereka telah mengambil keputusan sejalan dengan aturan atau kanon dan secara sinodal (�regulariter et synodaliter� atau �canonice et synodaliter�).
26. Prosedur yang harus diikuti dalam mengajukan permohonan kepada Roma dikembangkan oleh Konsili Sardica (342-343, kanon 3-5). Dalam keputusan konsili itu ditetapkan bahwa seorang Uskup yang telah dihukum (condemned) dapat mengajukan banding kepada Paus, dan jika Paus memandangnya perlu, dapat memerintahkan pengadilan ulang, untuk dijalankan oleh para Uskup dari keuskupan-keuskupan yang dekat dengan keuskupan dari Uskup yang dihukum tersebut. Jika diminta oleh Uskup terhukum tersebut, Paus juga dapat mengirimkan wakilnya untuk mendampingi para Uskup dari keuskupan-keuskupan tetangga. Walaupun pada awalnya dikehendaki menjadi Konsili Oikumene, namun Sardica sebenarnya adalah konsili lokal yang diadakan di Barat. Kanon-kanon Sardica diterima di Timur pada Konsili di Trullo (692).
27. Deskripsi paling jelas mengenai kondisi yang dibutuhkan agar sebuah konsili dapat diakui sebagai oikumene diberikan oleh Konsili Oikumene VII (Nicaea II, 787), konsili terakhir yang diakui sebagai oikumene baik di Timur dan di Barat:
- konsili itu harus diterima oleh kepala-kepala (proedroi) Gereja-gereja, dan mereka harus bersepakat (symphonia) dengannya;
- Paus Roma harus menjadi �rekan kerja� (synergos) dengan konsili;
- para Patriarkh dari Timur harus berada �dalam kesepakatan� (symphronountes);
- ajaran-ajaran konsili harus sejalan dengan Konsili-konsili Oikumene sebelumnya;
-konsili harus menerima angka urutan yang spesifik, agar dapat ditempatkan dalam kelanjutan dari konsili-konsili yang diterima oleh Gereja secara keseluruhan.
28. Dapat ditegaskan bahwa pada milenium pertama, peranan Uskup Roma sebagai yang pertama (protos) diantara para Patriarkh, menjalankan suatu fungsi koordinasi dan stabilitator dalam masalah yang berkaitan dengan iman dan persekutuan, dalam kesetiaan kepada tradisi dan dengan penuh hormat terhadap konsiliaritas.
Pengaruh Faktor-faktor Non-teologis
29. Sepanjang milenium pertama, sejumlah faktor yang tidak secara langsung bersifat teologis telah memainkan peranan yang cukup penting dalam hubungan antara Gereja-gereja di Timur dan Barat, dan mempengaruhi pemahaman dan pelaksanaan primat Uskup Roma. Faktor-faktor ini bermacam-macam jenisnya, misalnya faktor politis, historis, sosial-ekonomi, dan budaya.
30. Sebagai indikasi faktor-faktor yang berkaitan, dapat dinyatakan sebagai berikut:
- peristilahan, mentalitas, dan ideologi Kekaisaran Romawi;
- perubahan politik kerajaan berkaitan dengan kehidupan Gereja;
- pemindahan ibuka Kekaisaran ke Timur;
-kemunduran dan kejatuhan Kekaisaran Romawi di Barat, serta konsekuensinya bagi keseimbangan politik dan kebudayaan antara Timur dan Barat, yang menuntun kepada saling keterasingan, ketidaktahuan, dan kesalahpahaman diantara keduanya;
- ekspansi Muslim di wilayah kepatriarkhan Alexandria, Antiokhia dan Yerusalem, serta Afrika Utara dan Spanyol.
- kemunculan Kekaisaran Barat di bawah Karolus Agung;
- pengaruh pribadi dari sejumlah tokoh sejarah tertentu.
Suatu kesadaran akan faktor-faktor non-teologis yang berkerja dalam hubungan antara orang-orang Kristen Timur dan Barat serta apresiasi terhadap bagaimana mereka berinteraksi dengan berbagai faktor teologi memungkinkan suatu pemahaman yang lebih dalam akan kehidupan dan iman Gereja, dan secara khusus perbedaan yang berkembang antara Timur dan Barat.
Kesimpulan
31. Sepanjang milenium pertama, Timur dan Barat tetap bersatu dalam perbedaan fundamental mengenai prinsip teologis, misalnya, mengenai pentingnya kelanjutan dalam iman apostolik, ke-saling tergantung-an antara primat dan konsiliaritas/sinodalitas dalam setiap tingkat kehidupan Gereja, dan suatu pemahaman mengenai otoritas sebagai �pelayanan (diakonia) cinta kasih�, dengan �penghimpunan seluruh umat manusia dalam Yesus Kristus� sebagai tujuannya (cf. dokumen Ravenna, nn. 13-14). Walaupun kesatuan Timur dan Barat terganggu beberapa kali, para Uskup dari Timur dan Barat tidak pernah gagal untuk menyadari bahwa mereka tergabung dalam Gerejayang sama dan menjadi pengganti para Rasul dalam satu jabatan Uskup. Kerekanan para Uskup diungkapkan dalam suburnya kehidupan sinodal Gereja pada semua tingkatan baik lokal, regional, dan universal. Pada tingkat universal, Uskup Roma bertindak sebagai protos diantara para kepala Tahta-tahta utama. Ada anyak contoh mengenai berbagai jenis permohonan yang diajukan kepada Uskup Roma untuk meningkatkan damai dan memelihara persekutuan Gereja dalam iman apostolik.
32. Pengalaman milenium pertama secara mendalam mempengaruhi pola hubungan antara Gereja-gereja Timur dan Barat. Walaupun perbedaan bertambah dan kadang-kadang terjadi skisma pada masa ini, namun persekutuan tetap dipelihara antara Timur dan Barat. Prinsip perbedaan-dalam-persatuan, yang secara eksplisit diterima dalam Konsili Konstantinopel yang diadakan pada tahun 879-880, memiliki dampak penting yang khusus bagi tema dari tahapan dialog kita yang berlangsung sekarang ini. Perbedaan pemahaman dan penafsiran yang jelas, tidak mencegah Timur dan Barat untuk teap tinggal dalam persekutuan. Ada perasaan yang lebih kuat sebagai satu Gereja, dan ketetapan untuk tetap ada dalam kesatuan, sebagai satu kawanan dengan satu gembala (cf. Yoh 10:16). Milenium pertama, yang telah diperiksa dalam tahap dialog kami ini, adalah tradisi bersama dari kedua Gereja kita. Dalam prinsip teologis dan eklesioginya yang dasar telah diidentifikasikan di sini, tradisi bersama ini harus melayani sebagai model bagi pemulihan persekutuan penuh kita.
3 Oktober 2008.
Diterjemahkan dari:
http://chiesa.espresso.repubblica.it/articolo/1341814?eng=y
Sunday, November 1, 2009
Qurbono: Minggu Pemberkatan Gereja
Liturgi Maronite, berbeda dengan Latin, dimulai 8 pekan sebelum Natal, dengan perayaan Minggu Pemberkatan Gereja. Dalam Minggu Pemberkatan ini secara khusus direnungkan misteri Gereja dan ibadat yang sejati yang berkenan kepada Allah. Berikut ini adalah teks khusus dari liturgi Qurbono Minggu Pemberkatan Gereja.
Mazmur Pembukaan : Mazmur 84
Doa Pembukaan
Ya Tuhan Allah, jadikanlah kami layak untuk masuk ke kediaman kudus-Mu dengan kemurnian dan kekudusan. Jadikanlah hukum-Mu sebagai pakaian kami, dan hiasilah kami dengan ketetapan-ketetapan-Mu, agar anak-anak terang dapat bersukacita bersama dengan sahabat-sahabat Pengantin Pria pada pesta perkawinan-Mu yang gemilang; sehingga kami akan mengakui kebaikan-Mu yang tak terkatakan bagi kami, ya Kristus, dan memuji kemuliaan kerajaan-Mu, dan Bapa-Mu, dan Roh Kudus-Mu, sekarang dan selama-lamanya.
HOOSOYO
Proemion
Pujian dan kemuliaan bagi Tritunggal Mahakudus. Semga kami layak untuk memuliakan, bersyukur, dan menghormati Perancang bijak yang dengan rahmat-Nya membangun Gereja Kudus-Nya sebagai benteng pengampunan dan melindungi umat imami-Nya dengan penuh perhatian sebagai penopang iman. Dalam belaskasih-Nya, Ia membangun menara penebusan bagi umat-Nya dan dalam komunitas ini hidup umat yang telah ditebus dilindungi dari segala kejahatan oleh salib-Nya. Maka, sudah sepantasnyalah Dia dipuji dan dihormati pada saat ini dan di setiap waktu, musim, jam, peristiwa dan sepanjang hari hidup kita, sekarang dan selama-lamanya.
Amin.
Sedro
Ya Kristus Allah kami, Engkau membangun Yerusalem yang dikenal sebagai Gereja Kudus dan mengumpulkan Israel yang terpencar didalamnya. Bangsa-bangsa mengakui kabar gembira keselamatan dari Kristus yang menjanjikan bahwa Gereja-Nya tak akan dikuasai alam maut dan kuasa-kuasa di bumi atau di atas bumi, karena Allah berdiam di dalam-Nya sehingga Gereja tidak gentar.
Kristus akan menegakkan Gereja untuk selama-lamanya menurut janji-Nya: �Lihatlah, Aku menyertai kamu sampai akhir zaman.� Para Nabi suci menubuatkan kedatangan Gereja, dan para Rasul ilahi mewartakan penebusan-Nya. Para Martir kudus menerima mahkota karena iman Gereja yang benar.
Karena itulah, pada hari ini, kita merayakan pengudusan Gereja yang mulia dan berkata: Bangkit dan bersinarlah, ya Gereja Kudus, karena Perancang bijak yang meletakkan dasar-dasar-Mu telah membangun pilar-pilar gerbang-Mu. Bangkit dan bersinarlah, karena Allah yang perkasa telah memilihmu sebagai kediaman-Nya untuk selama-lamanya. Bangkit dan bersinarlah, karena Ia menetapkan batas-batas-Mu dalam dami, ya Harapan sampai ke ujung-ujung bumi.
Maka, kami meminta dan memohon kepada-Mu, ya Tuhan, sekali lagi ingatlah akan Gereja-Mu. Dalam belas kasih-Mu, tebuslah para ahli waris-Mu dan bebaskanlah kawanan-Mu dari segala kesulitan. Berilah istirahat kepada yang telah dipanggil dari Gereja ke dalam kerajaan-Mu. Berilah kedamaian di kediaman-Mu yang suci kepada mereka yang telah melayani kehendak-Mu dan kumpulkanlah mereka di sisi kanan-Mu untuk menikmati wewangian dalam perjamuan-Mu. Dan kemudian bersama-sama kami akan memuliakan-Mu selama-lamanya.
Amin.
Qolo
Terberkatilah engkau, Gereja yang kudus dan setia: Pengantin Pria yang menikahimu mempersembahkan kepadamu padang yang baik dan subur; Ia membawa minuman yang memuaskan dahaga para tamu perjamuan pernikahanmu. Datanglah: makanlah api dan roti dan minumlah roh dalam anggur. Engkau dimulaikan dalam api dan roh dank au akan memasuki Kerajaan dalam kawanan-Nya.
Ya Tuhan, berilah damai kepada Gereja-Mu di seluruh penjuru dan jagat. Singkirkanlah pertikaian, perpecahan, dan penyebab pergunjingan di dalamnya. Tegakkanlah para gembala di tengah-tengahnya yang akan menuntun Gereja dalam jalan-Mu; kumpulkanlah semua putera-puterinya dalam iman yang sejati di dalamnya. Maka, saat Engkau datang dalam kemuliaan, Gereja akan menemukan sukacita kawanan-Mu dalam kerajaan-Mu.
Etro
Ya Kristus, Engkaulah wewangian yang berkenan kepada Allah dan keharuman yang manis bagi-Nya. Terimalah aroma dupa ini, yang kami persembahkan kepada-Mu sebagai tanda syukur kami. Berilah damai dan keselarasan kepada Gereja Kudus-Mu, dan kepada para Imam dan Uskup yang melayani di Altar-Mu, agar mereka dapat memerintah Gereja menurut Roh-Mu. Maka, ya Kristus, kepala para Uskup, kami akan memuji dan memuliakan-Mu, Bapa-Mu, dan Roh Kudus-Mu yang memberi hidup, sekarang dan selama-lamanya.
Mazmooro
Bagaikan awan para Imam pendupaan dan Diakon mengelilingi Altar pendamaian sementara sang Roh menaungi di atasnya. Segala bangsa, dengarlah ini: para Imam mengelilingi Altar. Semua penduduk bumi berilah telinga: Roh Kudus menaunginya. Tuhan mendirikan Gereja-Nya di atas batu karang iman. Petrus memasukinya dan meletakkan dasarnya, dan Paulus menghiasi bangunannya.
Epistel: Ibrani 9: 1-12
Fetgomo
Alleluia! Alleluia! Dan aku berkata kepadamu, engkaulah Petrus, dan di atas batu karang ini akan Ku dirikan Gereja-Ku, dan alam maut tidak akan menguasainya.
Injil: Matius 16: 12-30
Mazmur Pembukaan : Mazmur 84
Doa Pembukaan
Ya Tuhan Allah, jadikanlah kami layak untuk masuk ke kediaman kudus-Mu dengan kemurnian dan kekudusan. Jadikanlah hukum-Mu sebagai pakaian kami, dan hiasilah kami dengan ketetapan-ketetapan-Mu, agar anak-anak terang dapat bersukacita bersama dengan sahabat-sahabat Pengantin Pria pada pesta perkawinan-Mu yang gemilang; sehingga kami akan mengakui kebaikan-Mu yang tak terkatakan bagi kami, ya Kristus, dan memuji kemuliaan kerajaan-Mu, dan Bapa-Mu, dan Roh Kudus-Mu, sekarang dan selama-lamanya.
HOOSOYO
Proemion
Pujian dan kemuliaan bagi Tritunggal Mahakudus. Semga kami layak untuk memuliakan, bersyukur, dan menghormati Perancang bijak yang dengan rahmat-Nya membangun Gereja Kudus-Nya sebagai benteng pengampunan dan melindungi umat imami-Nya dengan penuh perhatian sebagai penopang iman. Dalam belaskasih-Nya, Ia membangun menara penebusan bagi umat-Nya dan dalam komunitas ini hidup umat yang telah ditebus dilindungi dari segala kejahatan oleh salib-Nya. Maka, sudah sepantasnyalah Dia dipuji dan dihormati pada saat ini dan di setiap waktu, musim, jam, peristiwa dan sepanjang hari hidup kita, sekarang dan selama-lamanya.
Amin.
Sedro
Ya Kristus Allah kami, Engkau membangun Yerusalem yang dikenal sebagai Gereja Kudus dan mengumpulkan Israel yang terpencar didalamnya. Bangsa-bangsa mengakui kabar gembira keselamatan dari Kristus yang menjanjikan bahwa Gereja-Nya tak akan dikuasai alam maut dan kuasa-kuasa di bumi atau di atas bumi, karena Allah berdiam di dalam-Nya sehingga Gereja tidak gentar.
Kristus akan menegakkan Gereja untuk selama-lamanya menurut janji-Nya: �Lihatlah, Aku menyertai kamu sampai akhir zaman.� Para Nabi suci menubuatkan kedatangan Gereja, dan para Rasul ilahi mewartakan penebusan-Nya. Para Martir kudus menerima mahkota karena iman Gereja yang benar.
Karena itulah, pada hari ini, kita merayakan pengudusan Gereja yang mulia dan berkata: Bangkit dan bersinarlah, ya Gereja Kudus, karena Perancang bijak yang meletakkan dasar-dasar-Mu telah membangun pilar-pilar gerbang-Mu. Bangkit dan bersinarlah, karena Allah yang perkasa telah memilihmu sebagai kediaman-Nya untuk selama-lamanya. Bangkit dan bersinarlah, karena Ia menetapkan batas-batas-Mu dalam dami, ya Harapan sampai ke ujung-ujung bumi.
Maka, kami meminta dan memohon kepada-Mu, ya Tuhan, sekali lagi ingatlah akan Gereja-Mu. Dalam belas kasih-Mu, tebuslah para ahli waris-Mu dan bebaskanlah kawanan-Mu dari segala kesulitan. Berilah istirahat kepada yang telah dipanggil dari Gereja ke dalam kerajaan-Mu. Berilah kedamaian di kediaman-Mu yang suci kepada mereka yang telah melayani kehendak-Mu dan kumpulkanlah mereka di sisi kanan-Mu untuk menikmati wewangian dalam perjamuan-Mu. Dan kemudian bersama-sama kami akan memuliakan-Mu selama-lamanya.
Amin.
Qolo
Terberkatilah engkau, Gereja yang kudus dan setia: Pengantin Pria yang menikahimu mempersembahkan kepadamu padang yang baik dan subur; Ia membawa minuman yang memuaskan dahaga para tamu perjamuan pernikahanmu. Datanglah: makanlah api dan roti dan minumlah roh dalam anggur. Engkau dimulaikan dalam api dan roh dank au akan memasuki Kerajaan dalam kawanan-Nya.
Ya Tuhan, berilah damai kepada Gereja-Mu di seluruh penjuru dan jagat. Singkirkanlah pertikaian, perpecahan, dan penyebab pergunjingan di dalamnya. Tegakkanlah para gembala di tengah-tengahnya yang akan menuntun Gereja dalam jalan-Mu; kumpulkanlah semua putera-puterinya dalam iman yang sejati di dalamnya. Maka, saat Engkau datang dalam kemuliaan, Gereja akan menemukan sukacita kawanan-Mu dalam kerajaan-Mu.
Etro
Ya Kristus, Engkaulah wewangian yang berkenan kepada Allah dan keharuman yang manis bagi-Nya. Terimalah aroma dupa ini, yang kami persembahkan kepada-Mu sebagai tanda syukur kami. Berilah damai dan keselarasan kepada Gereja Kudus-Mu, dan kepada para Imam dan Uskup yang melayani di Altar-Mu, agar mereka dapat memerintah Gereja menurut Roh-Mu. Maka, ya Kristus, kepala para Uskup, kami akan memuji dan memuliakan-Mu, Bapa-Mu, dan Roh Kudus-Mu yang memberi hidup, sekarang dan selama-lamanya.
Mazmooro
Bagaikan awan para Imam pendupaan dan Diakon mengelilingi Altar pendamaian sementara sang Roh menaungi di atasnya. Segala bangsa, dengarlah ini: para Imam mengelilingi Altar. Semua penduduk bumi berilah telinga: Roh Kudus menaunginya. Tuhan mendirikan Gereja-Nya di atas batu karang iman. Petrus memasukinya dan meletakkan dasarnya, dan Paulus menghiasi bangunannya.
Epistel: Ibrani 9: 1-12
Fetgomo
Alleluia! Alleluia! Dan aku berkata kepadamu, engkaulah Petrus, dan di atas batu karang ini akan Ku dirikan Gereja-Ku, dan alam maut tidak akan menguasainya.
Injil: Matius 16: 12-30
Saturday, October 31, 2009
Dari Ortodoks Koptik Menjadi Katolik Koptik
Diterjemahkan dari
Catholic Answer Forum: My Witness by mardukm
Keterangan Istilah:
Ortodoks Timur= Gereja-gereja Ortodoks yang mengakui 7 Konsili Oikumenis pertama dan berada dalam persekutuan dengan Patriarkh Konstantinopel, serta baru memisahkan diri dari Gereja Katolik sejak tahun 1054.
Ortodoks Oriental= Gereja-gereja Ortodoks yang memisahkan diri sejak Konsili Chalcedon, dan karenanya juga disebut sebagai non-Chalcedonian. Termasuk ke dalam Gereja-gereja ini adalah Gereja Ortodoks Koptik dan Gereja Ortodoks Syria.
Katolik Koptik= Salah satu dari 22 gereja otonom dalam persekutuan Gereja Katolik. Gereja ini terdiri dari orang-orang Koptik yang kembali ke dalam persekutuan Katolik.
Kristos Anesti!
(Kristus Bangkit!)
Saudara-saudari dalam Kristus
Beberapa waktu lalu, saya telah menerima beberapa permintaan untuk menceritakan pengalaman perpindahan Gereja saja. Saya selalu merasa enggan melakukannya karena merasa tidak punya cukup waktu untuk itu. Bagaimanapun juga, perhatian utama saya adalah saya khawatir orang-orang akan berpikir mengenai sesuatu yang salah dengan iman Ortodoks Koptik saya. Namun, sejak saya kembali online sekitar dua minggu yang lalu, saya telah menerima sejumlah permintaan melalui pesan pribadi atau e-mail (kebanyakan adalah orang yang tak pernah saya temui di Catholic Answers Forum; saya menduga mereka memiliki status �sekedar pembaca� atau saya hanya tidak berjumpa dengan mereka), mereka ini adalah orang-orang Timur, Oriental, dan Barat yang ingin agar saya memberikan kesaksian tentang perpindahan saya. Setelah banyak berdoa, akhirnya saya memutuskan untuk memberikan kesaksian perpindahan saya. Saya sendiri tidak pernah berhenti untuk membela atau mewartakan iman Ortodoks Koptik di forum-forum yang saya ikuti, jadi saya pikir saya bisa berterus terang mengenai hal ini tanpa melanggar perhatian utama yang saya sampaikan di atas.
Sebelum mulai, saya ingin menyampaikan suatu pengamatan bahwa salah satu permintaan itu ada yang menyatakan �Saya belum pernah menemui seorang Oriental yang berpengetahuan dan tampak Romawi seperti Anda.� Dalam tradisi Koptik saya, belajar dipuji sebagai sarana yang penting untuk mengenal Allah, secara istimewa adalah mempelajari Kitab Suci, Bapa-bapa Gereja, dan kehidupan para kudus. Saya selalu berusaha untuk menjadi seorang pelajar yang serius (sayangnya belakangan ini tidak, karena tanggung jawab dunia nyata saya meningkat dengan sangat dramatis). Saya memiliki waktu tiga tahun unuk memutuskan kepindahan saya- karena mempelajari kesamaan antara Ortodoks Koptik dan Katolisisme Barat, rasanya setara dengan gelar Master bagi saya! Walaupun saya kira saya belum menerima gelar Doktor. Tetapi, sebenarnya, pernyataan saya mengenai kesamaan antara Ortodoks Koptik dan Katolisisme hanyalah masalah penelitian. Seelumnya saya tidak tahu apapun tentang Katolisisme selain dari apa yang dikatakan oleh orang-orang non-Katolik. Hanya melalui pembelajaran yang intensif saya menemukan betapa banyak hal yang dimiliki bersama oleh Ortodoks Koptik dan Katolisisme. Hal-hal itu mungkin membuat saya, entah bagaimana, terilah �Romawi�. Tetapi, saya hanya menundukkan pendirian saya tidak lebih daripada bersifat patristik. Ada banyak hal dimana ketika saya mempertahankan Kekatolikan sebenarnya adalah pembelaan terhadap warisan Ortodoks Koptik saya- ajaran Penebusan, spiritualitas penitensial (termasuk gagasan penderitaan dapat menuntun pada kesempurnaan), iman dan akal budi, sekerta eklesiologi yang bersifat yuridis/hierarkial, eklesiologi Agustinian (sejauh dibedakan dari Cyprian), sikap mengenai kewajiban suci terhadap Allah sebagaimana diarahkan oleh hierarki, kesederhanan Allah, penghargaan terhadap ungkapan teologis yang berbeda dan definisi-definisi dalam Gereja, pandangan ekumenis, tidak dapat putusnya perkawinan/pelaksanaan pembatalan perkawinan, kanon Kitab Suci yang identik, ajaran tentang kejatuhan manusia dari keadaan rahmat, tekanan akan keadilan Ilahi, dst.
Menariknya (sebuah kata euphemistic dibutuhkan di sini), orang-orang Ortodoks Timur/Byzantine (khususnya para polemis) melihat semua ini dengan semangat pertentangan, dan bahkan kebencian, ketika dihadapakan dengan Katolisisme, tetapi jika berhadapan dengan Ortodoks Koptik (dan Ortodoks Oriental secara umum), entah bagaimana kebencian itu hilang dan masalah bisa diatasi dengan mudah! Kita sering mendnegar gagasan bahwa perbedaan antara Ortodoks Timur dan Ortodoks Oriental adalah dua kodrat Kristus. SALAH. Saya menghargai ketika orang Ortodoks Timur memandang seorang Koptik (dan Ortodoks Oriental secara umum) sebagai saudara mereka dalam Ortodoksi, tetapi saya kira hal ini adalah hasil dari kurangnya pengetahuan mengenai Ortodoksi Oriental dan Katolisisme, dan setidaknya ada dua keberatan yang muncul dari ekumenisme palsu semacam ini: 1) Penolakan untuk mengakui perbedaan tradisi dan spiritualitas dari Gereja-gereja Ortodoks Oriental pada umumnya, dan Gereja Ortodoks Koptik pada khususnya; 2) Hal itu secara menyedihkan dan nyata semakin mengekalkan prasangka buruk terhadap Gereja Katolik. Hal yang terakhir ini bukan hanya sekedar fakta saja, tetapi juga menghalangi perwujudan dari DOA KRISTUS SENDIRI bagi kesatuan Tubuh-Nya. Maka, jika sekarang ini saya menyoroti perbedaan antara Ortodoks Timur dan Ortodoks Oriental, saya tidak bertujuan untuk mendukung sksima. Tidak ada niat untuk itu! Sebaliknya tujuan saya adalah agar orang mengenali tradisi dan spiritualitas Ortodoks Oriental yang khas, yang seringkali tidak terwakili dan tidak diakui, dan juga untuk mengajak orang-orang Ortodoks Timur agar berpikir- �Jika kalian bisa mengatasi perbedaan-perbedaan ini dengan saudara-saudara Orientalmu mengapa kamu tidak melakukannya dengan saudara-saudara Katolikmu? Mengapa menyorotinya (mungkin tanpa disengaja) akan memperpanjang skisma dengan Katolisisme, sementara kamu mengabaikan kesulitan-kesulitan itu ketika kamu berpikir tentang Ortodoksi Oriental?�
Hal semacam ini memiliki dampak yang besar dalam perpindahan saya ke Gereja Koptik Katolik. Saya tak pernah melihat usaha seorang Koptik Katolik untuk membujuk seorang Ortodoks Koptik berpindah Gereja, namun saya telah menemui orang Ortodoks Timur melakukannya terhadap orang Koptik, DAN bahkan seorang Ortodoks Timur yang berpindah ke Ortodoksi Oriental, justru berusaha memaksakan pandangan Timur tertentu kepada saudara-saudara non-Chalcedonian saya, khususnya mengenai pandangan yang berkaitan dengan (walaupun tidak terbatas pada) penebusan, kesederhanaan Allah, dan padangan non-ekumenis mereka terhadap Gereja Katolik. Saya menolak usaha apapun dari pihak Timur untuk memaksakan posisi mereka ke dalam identitas/tradisi Oriental yang khas (yang saya sebut sebagai helenisasi, dan tanda bagus untuk melihat seberapa jauh seorang Oriental ter-helenisasi adalah penghormatannya kepada Gregorius Palamas sebagai santo), sebagaimana orang Timur menolak Latinisasi.
Ortodoksi Timur telah memiliki terlalu banyak anggota yang menunjukkan intoleransi, ketidaktahuan, dan kesombongan, daripada buah-buah rohani kebaikan, pengertian, kebijaksanaan dan kerendahan hati. Saya memiliki kesan ini sejak saya masih seorang Ortodoks Oriental sebelum perpindahan saya ke Gereja Koptik Katolik; sedih memang, hanya sedikit bukti yang berkebalikan dengan hal itu telah saya lihat sebagai seorag Ortodoks Oriental yang memiliki persekutuan dengan Roma.
Jadi apa yang memulai perjalanan saya kepada Kekatolikan? Awalnya hanya perubahan sederhana dalam Liturgi Koptik yang hampir tidak dirasakan perubahannya, yaitu penghapusan frase �kepala para Rasul� dari gelar St. Petrus dan Paulus. saya ingin tahu alasan perubahannya, jadi saya menyelidiki Bapa-bapa Gereja. Hal ini dimulai sebagai sekedar penelitian ilmiah terhadap frase �kepala para Rasul� dalam Gereja perdana yang akhirnya mengantar kepada penerimaan yang nyata dna penuh akan Kebenaran yang diajarkan oleh Gereja Katolik.
Tentu saja ada hal-hal doktrinal yang memisahkan Ortodoksi Koptik dari Gereja Katolik- berbeda dari Kekatolikan, dan lebih dekat dengan Ortodoksi Timur, saya dapat menyebutkan sejumlah hal seperti: Pengandungan Tanpa Noda Bunda Allah, Filioque, Api Penyucian, dan Kepausan (sebagai masalah berbeda dari eklesiologi, karena eklesiologi Oriental lebih serupa dengan eklesiologi Katolik daripada eklesiologi Ortodoks Timur)- saya hanya menyebutkan hal ini karena hanya hal-hal itulah yang benar-benar bisa disebut masalah (hal lain seperti ikon, penggunaan roti tak beragi untuk Ekaristi, co-Mediatrik, dst. TIDAK TERMASUK). Saya tidak merasa bahwa saya harus masuk ke dalam masalah-masalah doktriner ini di sini, karena saya sudah melakukannya dalam banyak topik lain yang muncul di sini. Dan saya mengundang siapapun yang ingin mengetahui pandangan saya untuk mencari tanggan-tanggapan saya tentang topic-topik itu di forum ini. Dalam kesaksian, saya ingin membicarakan proses batin saya dalam memahami, menerima, dan merasa damai dengan apa yang saya (pada titik ini masih sebagai seorang Ortodoks Koptik TIDAK dalam persekutuan dengan Roma) tangkap sebagai perbedaan dalam hal ajaran.
1) Pertama dan terutama, dalam memahami masalah-masalah tertentu, hendaklah selalu memilih penjelasan dari mulut kuda dan bukan dari mulut sapi. Bedakan antara interpretasi yang mungkin dengan apa yang pada dasarnya dimaksud oeh ajaran itu. Dengan kata lain, terimalah ajaran-ajaran ini SEBAGAIMANA MEREKA ADA, bukan berdasarkan karikatur yang dikenakan kepada ajaran-ajaran itu oleh para polemis. Hal ini membutuhkan banyak pembelajaran dan pemahaman. Misalnya, mengenai masalah Filioque, keberatan umum yang disampaikan adalah bahwa ajaran ini mengaburkan pembedaan antara Pribadi Bapa dan Putera (beberapa polemic bahkan lebih jauh mengatakan bahwa ajaran ini mengaburkan SEMUA Pribadi Trinitas). Bagaimanapun, penafsiran semacam ini tidak dapat ditemukan dalam ajaran Gereja Katolik. Sebaliknya, Gereja Katolik malahan SECARA TEGAS mengajarkan pembedaan diantara Pribadi-pribadi Ilahi.
2) Dalam memahami sebuah masalah khusus, hendaklah selalu membiarkan argumen mengalir sampai selesai. Pada satu titik , pihak lain tidak akan dapat menjawabnya. Terimalah kata akhir, terutama JIKA hal itu logis. Misalnya, berkaitan dengan kepausan, tidak perduli dalam hal apa diskusi (atau argumen) mengenai kepausan dimulai, hal itu selalu berakhir dengan argumen dimana saya tidak pernah mendapatkan jawaban, �Kamu percaya akan prinsip apostolik tentang kerekanan (i.e. sebuah badan yuridis dengan kepala yuridis). lalu, apa yang membuatmu berpikir bahwa prinsip ini harus berhenti pada tingkat Kepatriarkan? Tidakkah hal itu juga harus diterapkan pada Gereja sebagai keseluruhan dan bukannya hanya pada Gereja-gereja lokal?� (Tentu, saya mengakui bahwa retorika semacam itu akan gagal untuk meyakinkan seorang Ortodoks Timur yang memiliki paradigm eklesiologi yang berbeda).
3) Saat menfsirkan suatu latar belakang sejarah, pilihlah yang mengakomodasi SEMUA fakta. Hal ini membutuhkan kebijaksanaan. Mislanya, dalam hal pendudukan Konstantinopel, biasanya orang-orang non-Katolik akan menyalahkan Paus atas seluruh kejadian ini. Para polemis ini tidak pernah memperdulikan bahwa Paus secara eksplisit melarang para prajurit perang salib untuk pergi ke Konstantinopel sebelum pergi ke tanah suci, dan bahwa penyebab langsung dari kehadiran tentara salib di Konstantinopel adalah seorang Yunani dari Konstantinopel sendiri.
4) Pelajarilah para Bapa Gereja awal. Hal ini memerlukan kesetiaan. Pembelajaran yang mendalam akan sejarah Gereja awal pada millennium pertama akan menunjukkan kebenaran yang menuntun kita menjadi satu sebagai Tubuh Kristus lagi. Pembelajaran ini akan menunjukkan semua Tradisi Aposolik yang kita miliki bersama daripada apa yang umumnya kita pahami atau salah pahami sebagai hal yang memisahkan kita.
5) Selalu menunda penilaian dan selalu mau untuk mendekati suatu masalah sebagai murid. Hal ini membutuhkan pengendalian diri dan kerendahan hati.
6) Selalu mau untuk mengakui bahwa Anda salah ketika fakta-fakta menunjukkan kita salah. Hal ini memerlukan kerendahan hati.
7) Pastikan hati nurani bersih dari segala tanda-tanda kemunafikan saat seseorang menuduh pihak lain atau semacanya. Hal ini membutuhkan pengertian dan kerendahan hati. Inilah pendekatan batin yang sungguh membantu saya. Semakin saya mampu melihat ke dalam dengan mata saya, saya semakin memahami bahwa saya tidak memiliki dasar yang kuat untuk sebagian besar, atau malah semua, kesalahpahaman saya mengenai Gereja Katolik. Misalnya, mengenai Maria dikandung tanpa noda. Saya dulu (sebelum perpindahan saya) pernah mengatakan kepada teman Katolik saya, �Jika pengandungan Maria tanpa noda menghindarkan Maria dari kemampuan berdosa, maka hal itu menghindarkannya dari kehendak bebas.� Ia menjawab, �Yesus tidak punya kemampuan berbuat dosa. Apakah kamu juga mempercayai bahwa Yesus tidak punya kehendak bebas? Hal ini tidak dapat dibantah adalah sesuatu yang sangat logis bagi saya. Sekarang saya sering menggunakan retorika itu, dan hasilnya selalu sama, entah pengakuan, atau kebungkaman. Tentu saja, cara berpikir ini tergantung pada poin 6 di atas- kemauan dan kerendahan hati untuk mengakui saat seseorang bersalah.
8) Mengampuni. Dalam pembelajaran saya akan Katolisisme, saya menerapkan setiap poin-poin ini, menghidupinya dengan banyak doa, dan menghasilkan buah-buah Roh. Saya mengakui bahwa momentum dari lahirnya sudut pandang ini adalah pengalaman saya sebagai seorang Arab-Amerika yang sejak masih kecil telah menerima banyak prasangka. Ketika saya tumbuh besar, saya dihadapkan pada pilihan: 1) Menyerah kepada kebencian, dan melakukan kepada orang lain seperti yang mereka lakukan padamu; 2) Menyerah pada apatisme; 3) Mencari kebaikan terlebih dahulu daripada menerima kejahatan, atau lakukan kepada orang lain apa yang kamu ingin mereka lakukan padamu. Berkat rahmat Allah, saya memilih pilihan yang terakhir. Contoh: Saat Bapa Suci Paus Yohanes Palus II dalam kenangan terberkati ingin mengunjungi Russia dengan Ikon dari Kazan (seingat saya itulah namanya), seorang pengamat Ortodoks Timur memberi dua kemungkinan: 1) Melihat kebaikan, dan memandang pemberian itu sebagai tindakan kerendahan hati; 2) Melihat yang jelek, dan melihat hadiah itu sekedar sebagai semacam sogokan. Saya menemukan banyak orang Ortodoks Timur yang memilih pilihan 1, tetapi yang memilih pilihan 2 lebih heboh dan menerima perhatian media. Karena pengalaman saya dengan prasangka, saya mencela kemunafikan dan ketidaktahuan.. Saya lebih bisa menerima keidaktahuan, dan selalu ingin mengoreksinya dengan pengetahuan yang disertai kesabaran, tetapi saat saya berhadapan dengan kemunafikan, saya aku, saya mendapat lebih banyak gairah untuk mempertahankan Gereja Katolik.
Saya juga sering ditanya mengenai perasaan saya tentang perubahan Liturgi di Gereja Barat. Bukankah ini suatu tanda bahwa Gereja Katolik mengkhianati tradisinya dan seharusnya mencegah saya dari menjadi Katolik? Hal ini, sekali lagi, menunjukkan kesamaan antara paradigm Katolik dan Koptik. Bagi orang Koptik, Uskup adalah penjaga jiwa kita, sebagaimana dinyatakan oleh Kitab Suci, dan dalam otoritas mereka ada kekuasaan untuk mengikat dan melepaskan untuk menentukan cara dan sarana yang melaluinya kita diilahikan; bentuk Liturgi ada dibawah pengawasan Uskup. Bagi orang Koptik dan Katolik, Liturgi terutama diarahkan untuk mendekatkan kita dengan Kristus., dan puncak dari Liturgi adalah Ekaristi, semua unsur lain dalam Liturgi diakui hanya sebagai sarana untuk menyiapkan diri atau merenungkan Ekaristi dengan cara yang layak. Dengan memperhatikan dua hal ini, sebagai orang Koptik saya tidak punya urusan untuk menilai Liturgi Barat. Dan jika saya harus menilainya, maka penilaian saya didasarkan pada dua kriteria di atas- 1) Apakah perubahan Liturgi ini dilakukan oleh otoritas yang berwenang; 2) apakah perbuahan ini untuk mempermudah atau meingkatkan persatuan dengan Kristus? Saya menemukan bahwa Gereja Katolik Barat telah memenuhi kedua kriteria ini (tentu saja perubahan ini tidak mengabaikan bahwa ada unsur-unsur tertentu dalam Misa/Liturgi yang mutlak harus ada agar Misa/Liturgi menjadi valid). Tuduhan sensasionalis terhadap gereja lokal yang melakukan ini dan itu jelas bukan kesalahan Magisterium Katolik, karena kesalahan-kesalahan ini muncul pada tingkat paroki (i.e. praktek-praktek ekstrim ini juga tidak diadakan oleh Uskup lokal).
Mungkin saja bahwa banyak orang Kristen Oriental terhelenisasi secara berlebihan. Hal ini terjadi karena kebanyakan literatur berjudul �Ortodoksi� yang dapat diperoleh datang dari Ortodoks Timur. Juga dipahami, bahwa orang-orang Kristen Oriental kerapkali melihat Ortodoksi Timur sebagai acuan bagi pemahaman spiritualitas, makna Liturgi, eskatologi, eklesiologi, dll. Hal yang menyedihkan adalah bersamaan dengan semua ini datanglah suatu cara pandang anti-Latin yang kuat. Segala sesuatu yang tampak dan berbau Latin, harus dianggap sebagai penyusupan terhadap tradisi Timur/Oriental yang �asli�. Hal ini JAAAAUHHH dari kebenarannya saudara-saudariku dalam Kristus. Orang Timur memiliki tradisi mereka sendiri yang terhormat, dan sebagai orang Oriental kita juga memiliki identitas khas kita sendiri, tanpa dipengaruhi oleh polemik Timur dan Barat dari abad 12 sampai abad 15.
Satu hal terakhir yang ingin saya sampaikan dan seringkali saya ulangi: Saya tidak datang ke dalam persekutuan Katolik dengan pandangan bahwa ada sesuatu yang salah dengan Ortodoksi Koptik. Saya tidak menolak apapun dari warisan Koptik saya untuk menjadi Katolik; saya hanya menolak kesalahpahaman dan ketakutan tentang Gereja Katolik yang dulu saya pegang. Inilah sebabnya saya tidak pernah dan tidak akan pernah menganggap keputusan saya menjadi Katolik sebagai suatu pertobatan, tetapi perpindahan. Perpindahan ini jelas merupakan suatu berkat khusus yang hanya dapat ditemukan dalam Gereja Katolik diantara keluarga Gereja-gereja Apostolik. Dan saya mengundang setiap orang untuk mempelajari Gereja Katolik dan menikmati damai Kristus yang tidak dapat dipahami.
Saya berdoa agar tulisan ini mencukupi sebagai jawaban bagi mereka yang meminta saya untuk memberikan kesaksian tentang harapan yang ada pada saya. Maafkanlah saya jika saya telah menyinggung seseorang. Dan silahkan menghubungi saya untuk pertanyaan lebih jauh.
Berkat,
Marduk.
Catholic Answer Forum: My Witness by mardukm
Keterangan Istilah:
Ortodoks Timur= Gereja-gereja Ortodoks yang mengakui 7 Konsili Oikumenis pertama dan berada dalam persekutuan dengan Patriarkh Konstantinopel, serta baru memisahkan diri dari Gereja Katolik sejak tahun 1054.
Ortodoks Oriental= Gereja-gereja Ortodoks yang memisahkan diri sejak Konsili Chalcedon, dan karenanya juga disebut sebagai non-Chalcedonian. Termasuk ke dalam Gereja-gereja ini adalah Gereja Ortodoks Koptik dan Gereja Ortodoks Syria.
Katolik Koptik= Salah satu dari 22 gereja otonom dalam persekutuan Gereja Katolik. Gereja ini terdiri dari orang-orang Koptik yang kembali ke dalam persekutuan Katolik.
Kristos Anesti!
(Kristus Bangkit!)
Saudara-saudari dalam Kristus
Beberapa waktu lalu, saya telah menerima beberapa permintaan untuk menceritakan pengalaman perpindahan Gereja saja. Saya selalu merasa enggan melakukannya karena merasa tidak punya cukup waktu untuk itu. Bagaimanapun juga, perhatian utama saya adalah saya khawatir orang-orang akan berpikir mengenai sesuatu yang salah dengan iman Ortodoks Koptik saya. Namun, sejak saya kembali online sekitar dua minggu yang lalu, saya telah menerima sejumlah permintaan melalui pesan pribadi atau e-mail (kebanyakan adalah orang yang tak pernah saya temui di Catholic Answers Forum; saya menduga mereka memiliki status �sekedar pembaca� atau saya hanya tidak berjumpa dengan mereka), mereka ini adalah orang-orang Timur, Oriental, dan Barat yang ingin agar saya memberikan kesaksian tentang perpindahan saya. Setelah banyak berdoa, akhirnya saya memutuskan untuk memberikan kesaksian perpindahan saya. Saya sendiri tidak pernah berhenti untuk membela atau mewartakan iman Ortodoks Koptik di forum-forum yang saya ikuti, jadi saya pikir saya bisa berterus terang mengenai hal ini tanpa melanggar perhatian utama yang saya sampaikan di atas.
Sebelum mulai, saya ingin menyampaikan suatu pengamatan bahwa salah satu permintaan itu ada yang menyatakan �Saya belum pernah menemui seorang Oriental yang berpengetahuan dan tampak Romawi seperti Anda.� Dalam tradisi Koptik saya, belajar dipuji sebagai sarana yang penting untuk mengenal Allah, secara istimewa adalah mempelajari Kitab Suci, Bapa-bapa Gereja, dan kehidupan para kudus. Saya selalu berusaha untuk menjadi seorang pelajar yang serius (sayangnya belakangan ini tidak, karena tanggung jawab dunia nyata saya meningkat dengan sangat dramatis). Saya memiliki waktu tiga tahun unuk memutuskan kepindahan saya- karena mempelajari kesamaan antara Ortodoks Koptik dan Katolisisme Barat, rasanya setara dengan gelar Master bagi saya! Walaupun saya kira saya belum menerima gelar Doktor. Tetapi, sebenarnya, pernyataan saya mengenai kesamaan antara Ortodoks Koptik dan Katolisisme hanyalah masalah penelitian. Seelumnya saya tidak tahu apapun tentang Katolisisme selain dari apa yang dikatakan oleh orang-orang non-Katolik. Hanya melalui pembelajaran yang intensif saya menemukan betapa banyak hal yang dimiliki bersama oleh Ortodoks Koptik dan Katolisisme. Hal-hal itu mungkin membuat saya, entah bagaimana, terilah �Romawi�. Tetapi, saya hanya menundukkan pendirian saya tidak lebih daripada bersifat patristik. Ada banyak hal dimana ketika saya mempertahankan Kekatolikan sebenarnya adalah pembelaan terhadap warisan Ortodoks Koptik saya- ajaran Penebusan, spiritualitas penitensial (termasuk gagasan penderitaan dapat menuntun pada kesempurnaan), iman dan akal budi, sekerta eklesiologi yang bersifat yuridis/hierarkial, eklesiologi Agustinian (sejauh dibedakan dari Cyprian), sikap mengenai kewajiban suci terhadap Allah sebagaimana diarahkan oleh hierarki, kesederhanan Allah, penghargaan terhadap ungkapan teologis yang berbeda dan definisi-definisi dalam Gereja, pandangan ekumenis, tidak dapat putusnya perkawinan/pelaksanaan pembatalan perkawinan, kanon Kitab Suci yang identik, ajaran tentang kejatuhan manusia dari keadaan rahmat, tekanan akan keadilan Ilahi, dst.
Menariknya (sebuah kata euphemistic dibutuhkan di sini), orang-orang Ortodoks Timur/Byzantine (khususnya para polemis) melihat semua ini dengan semangat pertentangan, dan bahkan kebencian, ketika dihadapakan dengan Katolisisme, tetapi jika berhadapan dengan Ortodoks Koptik (dan Ortodoks Oriental secara umum), entah bagaimana kebencian itu hilang dan masalah bisa diatasi dengan mudah! Kita sering mendnegar gagasan bahwa perbedaan antara Ortodoks Timur dan Ortodoks Oriental adalah dua kodrat Kristus. SALAH. Saya menghargai ketika orang Ortodoks Timur memandang seorang Koptik (dan Ortodoks Oriental secara umum) sebagai saudara mereka dalam Ortodoksi, tetapi saya kira hal ini adalah hasil dari kurangnya pengetahuan mengenai Ortodoksi Oriental dan Katolisisme, dan setidaknya ada dua keberatan yang muncul dari ekumenisme palsu semacam ini: 1) Penolakan untuk mengakui perbedaan tradisi dan spiritualitas dari Gereja-gereja Ortodoks Oriental pada umumnya, dan Gereja Ortodoks Koptik pada khususnya; 2) Hal itu secara menyedihkan dan nyata semakin mengekalkan prasangka buruk terhadap Gereja Katolik. Hal yang terakhir ini bukan hanya sekedar fakta saja, tetapi juga menghalangi perwujudan dari DOA KRISTUS SENDIRI bagi kesatuan Tubuh-Nya. Maka, jika sekarang ini saya menyoroti perbedaan antara Ortodoks Timur dan Ortodoks Oriental, saya tidak bertujuan untuk mendukung sksima. Tidak ada niat untuk itu! Sebaliknya tujuan saya adalah agar orang mengenali tradisi dan spiritualitas Ortodoks Oriental yang khas, yang seringkali tidak terwakili dan tidak diakui, dan juga untuk mengajak orang-orang Ortodoks Timur agar berpikir- �Jika kalian bisa mengatasi perbedaan-perbedaan ini dengan saudara-saudara Orientalmu mengapa kamu tidak melakukannya dengan saudara-saudara Katolikmu? Mengapa menyorotinya (mungkin tanpa disengaja) akan memperpanjang skisma dengan Katolisisme, sementara kamu mengabaikan kesulitan-kesulitan itu ketika kamu berpikir tentang Ortodoksi Oriental?�
Hal semacam ini memiliki dampak yang besar dalam perpindahan saya ke Gereja Koptik Katolik. Saya tak pernah melihat usaha seorang Koptik Katolik untuk membujuk seorang Ortodoks Koptik berpindah Gereja, namun saya telah menemui orang Ortodoks Timur melakukannya terhadap orang Koptik, DAN bahkan seorang Ortodoks Timur yang berpindah ke Ortodoksi Oriental, justru berusaha memaksakan pandangan Timur tertentu kepada saudara-saudara non-Chalcedonian saya, khususnya mengenai pandangan yang berkaitan dengan (walaupun tidak terbatas pada) penebusan, kesederhanaan Allah, dan padangan non-ekumenis mereka terhadap Gereja Katolik. Saya menolak usaha apapun dari pihak Timur untuk memaksakan posisi mereka ke dalam identitas/tradisi Oriental yang khas (yang saya sebut sebagai helenisasi, dan tanda bagus untuk melihat seberapa jauh seorang Oriental ter-helenisasi adalah penghormatannya kepada Gregorius Palamas sebagai santo), sebagaimana orang Timur menolak Latinisasi.
Ortodoksi Timur telah memiliki terlalu banyak anggota yang menunjukkan intoleransi, ketidaktahuan, dan kesombongan, daripada buah-buah rohani kebaikan, pengertian, kebijaksanaan dan kerendahan hati. Saya memiliki kesan ini sejak saya masih seorang Ortodoks Oriental sebelum perpindahan saya ke Gereja Koptik Katolik; sedih memang, hanya sedikit bukti yang berkebalikan dengan hal itu telah saya lihat sebagai seorag Ortodoks Oriental yang memiliki persekutuan dengan Roma.
Jadi apa yang memulai perjalanan saya kepada Kekatolikan? Awalnya hanya perubahan sederhana dalam Liturgi Koptik yang hampir tidak dirasakan perubahannya, yaitu penghapusan frase �kepala para Rasul� dari gelar St. Petrus dan Paulus. saya ingin tahu alasan perubahannya, jadi saya menyelidiki Bapa-bapa Gereja. Hal ini dimulai sebagai sekedar penelitian ilmiah terhadap frase �kepala para Rasul� dalam Gereja perdana yang akhirnya mengantar kepada penerimaan yang nyata dna penuh akan Kebenaran yang diajarkan oleh Gereja Katolik.
Tentu saja ada hal-hal doktrinal yang memisahkan Ortodoksi Koptik dari Gereja Katolik- berbeda dari Kekatolikan, dan lebih dekat dengan Ortodoksi Timur, saya dapat menyebutkan sejumlah hal seperti: Pengandungan Tanpa Noda Bunda Allah, Filioque, Api Penyucian, dan Kepausan (sebagai masalah berbeda dari eklesiologi, karena eklesiologi Oriental lebih serupa dengan eklesiologi Katolik daripada eklesiologi Ortodoks Timur)- saya hanya menyebutkan hal ini karena hanya hal-hal itulah yang benar-benar bisa disebut masalah (hal lain seperti ikon, penggunaan roti tak beragi untuk Ekaristi, co-Mediatrik, dst. TIDAK TERMASUK). Saya tidak merasa bahwa saya harus masuk ke dalam masalah-masalah doktriner ini di sini, karena saya sudah melakukannya dalam banyak topik lain yang muncul di sini. Dan saya mengundang siapapun yang ingin mengetahui pandangan saya untuk mencari tanggan-tanggapan saya tentang topic-topik itu di forum ini. Dalam kesaksian, saya ingin membicarakan proses batin saya dalam memahami, menerima, dan merasa damai dengan apa yang saya (pada titik ini masih sebagai seorang Ortodoks Koptik TIDAK dalam persekutuan dengan Roma) tangkap sebagai perbedaan dalam hal ajaran.
1) Pertama dan terutama, dalam memahami masalah-masalah tertentu, hendaklah selalu memilih penjelasan dari mulut kuda dan bukan dari mulut sapi. Bedakan antara interpretasi yang mungkin dengan apa yang pada dasarnya dimaksud oeh ajaran itu. Dengan kata lain, terimalah ajaran-ajaran ini SEBAGAIMANA MEREKA ADA, bukan berdasarkan karikatur yang dikenakan kepada ajaran-ajaran itu oleh para polemis. Hal ini membutuhkan banyak pembelajaran dan pemahaman. Misalnya, mengenai masalah Filioque, keberatan umum yang disampaikan adalah bahwa ajaran ini mengaburkan pembedaan antara Pribadi Bapa dan Putera (beberapa polemic bahkan lebih jauh mengatakan bahwa ajaran ini mengaburkan SEMUA Pribadi Trinitas). Bagaimanapun, penafsiran semacam ini tidak dapat ditemukan dalam ajaran Gereja Katolik. Sebaliknya, Gereja Katolik malahan SECARA TEGAS mengajarkan pembedaan diantara Pribadi-pribadi Ilahi.
2) Dalam memahami sebuah masalah khusus, hendaklah selalu membiarkan argumen mengalir sampai selesai. Pada satu titik , pihak lain tidak akan dapat menjawabnya. Terimalah kata akhir, terutama JIKA hal itu logis. Misalnya, berkaitan dengan kepausan, tidak perduli dalam hal apa diskusi (atau argumen) mengenai kepausan dimulai, hal itu selalu berakhir dengan argumen dimana saya tidak pernah mendapatkan jawaban, �Kamu percaya akan prinsip apostolik tentang kerekanan (i.e. sebuah badan yuridis dengan kepala yuridis). lalu, apa yang membuatmu berpikir bahwa prinsip ini harus berhenti pada tingkat Kepatriarkan? Tidakkah hal itu juga harus diterapkan pada Gereja sebagai keseluruhan dan bukannya hanya pada Gereja-gereja lokal?� (Tentu, saya mengakui bahwa retorika semacam itu akan gagal untuk meyakinkan seorang Ortodoks Timur yang memiliki paradigm eklesiologi yang berbeda).
3) Saat menfsirkan suatu latar belakang sejarah, pilihlah yang mengakomodasi SEMUA fakta. Hal ini membutuhkan kebijaksanaan. Mislanya, dalam hal pendudukan Konstantinopel, biasanya orang-orang non-Katolik akan menyalahkan Paus atas seluruh kejadian ini. Para polemis ini tidak pernah memperdulikan bahwa Paus secara eksplisit melarang para prajurit perang salib untuk pergi ke Konstantinopel sebelum pergi ke tanah suci, dan bahwa penyebab langsung dari kehadiran tentara salib di Konstantinopel adalah seorang Yunani dari Konstantinopel sendiri.
4) Pelajarilah para Bapa Gereja awal. Hal ini memerlukan kesetiaan. Pembelajaran yang mendalam akan sejarah Gereja awal pada millennium pertama akan menunjukkan kebenaran yang menuntun kita menjadi satu sebagai Tubuh Kristus lagi. Pembelajaran ini akan menunjukkan semua Tradisi Aposolik yang kita miliki bersama daripada apa yang umumnya kita pahami atau salah pahami sebagai hal yang memisahkan kita.
5) Selalu menunda penilaian dan selalu mau untuk mendekati suatu masalah sebagai murid. Hal ini membutuhkan pengendalian diri dan kerendahan hati.
6) Selalu mau untuk mengakui bahwa Anda salah ketika fakta-fakta menunjukkan kita salah. Hal ini memerlukan kerendahan hati.
7) Pastikan hati nurani bersih dari segala tanda-tanda kemunafikan saat seseorang menuduh pihak lain atau semacanya. Hal ini membutuhkan pengertian dan kerendahan hati. Inilah pendekatan batin yang sungguh membantu saya. Semakin saya mampu melihat ke dalam dengan mata saya, saya semakin memahami bahwa saya tidak memiliki dasar yang kuat untuk sebagian besar, atau malah semua, kesalahpahaman saya mengenai Gereja Katolik. Misalnya, mengenai Maria dikandung tanpa noda. Saya dulu (sebelum perpindahan saya) pernah mengatakan kepada teman Katolik saya, �Jika pengandungan Maria tanpa noda menghindarkan Maria dari kemampuan berdosa, maka hal itu menghindarkannya dari kehendak bebas.� Ia menjawab, �Yesus tidak punya kemampuan berbuat dosa. Apakah kamu juga mempercayai bahwa Yesus tidak punya kehendak bebas? Hal ini tidak dapat dibantah adalah sesuatu yang sangat logis bagi saya. Sekarang saya sering menggunakan retorika itu, dan hasilnya selalu sama, entah pengakuan, atau kebungkaman. Tentu saja, cara berpikir ini tergantung pada poin 6 di atas- kemauan dan kerendahan hati untuk mengakui saat seseorang bersalah.
8) Mengampuni. Dalam pembelajaran saya akan Katolisisme, saya menerapkan setiap poin-poin ini, menghidupinya dengan banyak doa, dan menghasilkan buah-buah Roh. Saya mengakui bahwa momentum dari lahirnya sudut pandang ini adalah pengalaman saya sebagai seorang Arab-Amerika yang sejak masih kecil telah menerima banyak prasangka. Ketika saya tumbuh besar, saya dihadapkan pada pilihan: 1) Menyerah kepada kebencian, dan melakukan kepada orang lain seperti yang mereka lakukan padamu; 2) Menyerah pada apatisme; 3) Mencari kebaikan terlebih dahulu daripada menerima kejahatan, atau lakukan kepada orang lain apa yang kamu ingin mereka lakukan padamu. Berkat rahmat Allah, saya memilih pilihan yang terakhir. Contoh: Saat Bapa Suci Paus Yohanes Palus II dalam kenangan terberkati ingin mengunjungi Russia dengan Ikon dari Kazan (seingat saya itulah namanya), seorang pengamat Ortodoks Timur memberi dua kemungkinan: 1) Melihat kebaikan, dan memandang pemberian itu sebagai tindakan kerendahan hati; 2) Melihat yang jelek, dan melihat hadiah itu sekedar sebagai semacam sogokan. Saya menemukan banyak orang Ortodoks Timur yang memilih pilihan 1, tetapi yang memilih pilihan 2 lebih heboh dan menerima perhatian media. Karena pengalaman saya dengan prasangka, saya mencela kemunafikan dan ketidaktahuan.. Saya lebih bisa menerima keidaktahuan, dan selalu ingin mengoreksinya dengan pengetahuan yang disertai kesabaran, tetapi saat saya berhadapan dengan kemunafikan, saya aku, saya mendapat lebih banyak gairah untuk mempertahankan Gereja Katolik.
Saya juga sering ditanya mengenai perasaan saya tentang perubahan Liturgi di Gereja Barat. Bukankah ini suatu tanda bahwa Gereja Katolik mengkhianati tradisinya dan seharusnya mencegah saya dari menjadi Katolik? Hal ini, sekali lagi, menunjukkan kesamaan antara paradigm Katolik dan Koptik. Bagi orang Koptik, Uskup adalah penjaga jiwa kita, sebagaimana dinyatakan oleh Kitab Suci, dan dalam otoritas mereka ada kekuasaan untuk mengikat dan melepaskan untuk menentukan cara dan sarana yang melaluinya kita diilahikan; bentuk Liturgi ada dibawah pengawasan Uskup. Bagi orang Koptik dan Katolik, Liturgi terutama diarahkan untuk mendekatkan kita dengan Kristus., dan puncak dari Liturgi adalah Ekaristi, semua unsur lain dalam Liturgi diakui hanya sebagai sarana untuk menyiapkan diri atau merenungkan Ekaristi dengan cara yang layak. Dengan memperhatikan dua hal ini, sebagai orang Koptik saya tidak punya urusan untuk menilai Liturgi Barat. Dan jika saya harus menilainya, maka penilaian saya didasarkan pada dua kriteria di atas- 1) Apakah perubahan Liturgi ini dilakukan oleh otoritas yang berwenang; 2) apakah perbuahan ini untuk mempermudah atau meingkatkan persatuan dengan Kristus? Saya menemukan bahwa Gereja Katolik Barat telah memenuhi kedua kriteria ini (tentu saja perubahan ini tidak mengabaikan bahwa ada unsur-unsur tertentu dalam Misa/Liturgi yang mutlak harus ada agar Misa/Liturgi menjadi valid). Tuduhan sensasionalis terhadap gereja lokal yang melakukan ini dan itu jelas bukan kesalahan Magisterium Katolik, karena kesalahan-kesalahan ini muncul pada tingkat paroki (i.e. praktek-praktek ekstrim ini juga tidak diadakan oleh Uskup lokal).
Mungkin saja bahwa banyak orang Kristen Oriental terhelenisasi secara berlebihan. Hal ini terjadi karena kebanyakan literatur berjudul �Ortodoksi� yang dapat diperoleh datang dari Ortodoks Timur. Juga dipahami, bahwa orang-orang Kristen Oriental kerapkali melihat Ortodoksi Timur sebagai acuan bagi pemahaman spiritualitas, makna Liturgi, eskatologi, eklesiologi, dll. Hal yang menyedihkan adalah bersamaan dengan semua ini datanglah suatu cara pandang anti-Latin yang kuat. Segala sesuatu yang tampak dan berbau Latin, harus dianggap sebagai penyusupan terhadap tradisi Timur/Oriental yang �asli�. Hal ini JAAAAUHHH dari kebenarannya saudara-saudariku dalam Kristus. Orang Timur memiliki tradisi mereka sendiri yang terhormat, dan sebagai orang Oriental kita juga memiliki identitas khas kita sendiri, tanpa dipengaruhi oleh polemik Timur dan Barat dari abad 12 sampai abad 15.
Satu hal terakhir yang ingin saya sampaikan dan seringkali saya ulangi: Saya tidak datang ke dalam persekutuan Katolik dengan pandangan bahwa ada sesuatu yang salah dengan Ortodoksi Koptik. Saya tidak menolak apapun dari warisan Koptik saya untuk menjadi Katolik; saya hanya menolak kesalahpahaman dan ketakutan tentang Gereja Katolik yang dulu saya pegang. Inilah sebabnya saya tidak pernah dan tidak akan pernah menganggap keputusan saya menjadi Katolik sebagai suatu pertobatan, tetapi perpindahan. Perpindahan ini jelas merupakan suatu berkat khusus yang hanya dapat ditemukan dalam Gereja Katolik diantara keluarga Gereja-gereja Apostolik. Dan saya mengundang setiap orang untuk mempelajari Gereja Katolik dan menikmati damai Kristus yang tidak dapat dipahami.
Saya berdoa agar tulisan ini mencukupi sebagai jawaban bagi mereka yang meminta saya untuk memberikan kesaksian tentang harapan yang ada pada saya. Maafkanlah saya jika saya telah menyinggung seseorang. Dan silahkan menghubungi saya untuk pertanyaan lebih jauh.
Berkat,
Marduk.
Thursday, October 29, 2009
Penjelasan Qurbono (Part 5)
Pra-Anafora
Pra-anafora terdiri dari sejumlah tindakan dan doa yang mengubungkan bagian pertama dan bagian kedua serta mempersiapkan bagian kedua, yaitu anafora, yang dalam bahasa Yunani berarti �persembahan Qurbono�. Bagian ini dibuka dengan Credo dan termasuk didalamnya adalah prosesi penyerahan persembahan, persembahannya di Altar, dan pendupaan Altar, persembahan dan umat.
Credo
Gereja Maronite menggunakan Credo Nicaea-Konstantinopel. Credo ini diperkenalkan dalam Ibadat Qurbono pada abad ke 5. Sebelumnya, Credo ini digunakan sebagai pengakuan katekumen yang dilakukan sebelum penerimaan mereka ke dalam Misteri Baptisan dan kemudian menjadi pengakuan umat terbaptis sebelum bagian liturgi Ekaristis, dulu pada bagian ini katekumen diutus dari Gereja.
Naik ke Altar
Selebran dan para pelayan yang membantunya menuju ke Altar, menyanyikan madah yang mengiringi mereka naik ke Altar. Madah ini berbeda dari dialog pembukaan pada awal Qurbono. Bagaimanapun juga, kedua madah ini memiliki arti yang sama. Dalam penggunaan madah ini kami tidak membedakan antara Uskup dan Imam, walaupun di waktu lampau madah ini dikhususkan hanya bagi Uskup. Naik ke Altar diikuti dengan tindakan mencium bagian tengah Altar, karena Altar adalah simbol Kristus sendiri; menghormatinya berarti menghormati Kristus sendiri.
Orientasi Selebran di Altar
Menurut tradisi Maronite dan menurut kesaksian Patriarkh Duwaihy, Altar harus dipisahkan dari tembok panti imam, agar selebran dapat mengelilinginya. Arsitektur gereja yang tradisional mengharuskan Altar menghadap ke timur. Jadi merupakan kebiasaan dimana selebran menghadap timur dan konggregasi di belakangnya menghadap arah yang sama.
Bagaimanapun, karena alasan-alasan pastoral dan pemahaman Ekaristi yang lebih baik, sebagaimana Perjamuan Malam Terakhir, cara baru perayaan telah muncul dalam Gereja, yaitu selebran menghadap jemaat. Berkat hal ini, umat yang lebih terdidik mengenai Qurbono telah menunjukkan partisipasi yang lebih besar.
Pada tanggal 6 Juni 1992, Sinode Patriarkhal para Uskup telah mendekritkan kemungkinan untuk merayakan baik menghadap umat, atau bersama umat menghadap timur. Pengaturan akhir mengenai masalah ini diserahkan kepada hierarki lokal. Sejumlah besar gereja baru telah dibangun untuk mengakomodasi arahan baru ini, yang dalam pandangan kami, menampilkan suatu pembaruan yang sejalan dengan semangat Qurbono (sebagaimana kenangan akan Perjamuan Malam Terakhir), dan juga memenuhi tuntutan kehidupan pastoral masa kini.
Pemindahan Persembahan
Persembahan diserahkan atau dipindahkan dari tempat persiapan ke Altar. Mereka dibawa dalam prosesi yang disertai lilin, dupa, dan nyanyian madah tradisional yang populer: �Tuhan bertahta berpakaian kemuliaan.� Banyak makna dikenakan kepada ritus ini, yaitu: pemisahan antara dua bagian Qurbono, Sabda Allah dalam Kitab Suci dan Sabda Allah dalam Ekaristi; juga undangan kepada jemaat untuk mempersembahkan diri dan dikuduskan bersama roti dan anggur yang dipersembahkan untuk menjadi Tubuh dan Darah Kristus.
Penyerahan Persembahan
Selebran menerima persembahan-persembahan, lalu mengangkatnya dalam sikap mempersembahkan persembahan kepada Allah sambil mengucapkan salah satu doa Maronite tertua dalam ritus ini.
Penempatan Persembahan di Altar
Penempatan persembahan di Altar adalah suatu tindakan liturgis imami; tindakan ini menandakan pemisahan bahan-bahan persembahan sebagai penyerahan resmi di Altar Allah. Ritus konsekrasi dimulai pada bagian ini. Melanjutkan penempatan di Altar, selebran melakukan sejumlah pengenangan, terutama: pengenangan akan Kristus dan rencana keselamatan-Nya dan pengenangan akan orang-orang kudus, terutama pelindung gereja dan orang kudus yang pestanya sedang dirayakan. Kemudian dia mewartakan intensi umum dan khusus yang bagi mereka persembahan ini disampaikan. Persembahan diletakkan di tengah Altar di atas sepotong kayu atau marmer yang dikonsekrasi (disebut tablet), atau di atas sepotong kain yang dikonsekrasi (seperti corporale dalam Gereja Latin).
Pendupaan
Untuk pertama kalinya selebran mendupai Altar yang disiapkan untuk mengurbankan persembahan yang ditempatkan di atasnya. Pendupaan sebelumnya, dalam doa mohon belas kasihan (Hoosoyo) sewaktu Ibadat Sabda, dilakukan diluar konteks Altar dan persembahan. Pendupaan ini disertai dengan madah peringatan, madah pendupaan �Pencinta mereka yang bertobat, dan madah lain seperti Salatooke Ma�na (Semoga doamu menyertai kami), atau madah lainnya.
Anaphora
Anaphora adalah kata dalam bahasa yunani yang berarti �persembahan atau �qurbono�. Di sini berarti serangkaian doa dan tindakan syukur; anaphora dimulai dengan ritus damai, konsekrasi dan komuni sampai penutupan ibadat. Bagian kedua dari Qurbono sekarang disebut dengan nama anaphora. Menurut tradisi Syriac Maronite kita, ada bermacam-macam anaphora; anaphora itu dikenakan kepada Dua Belas Rasul, atau salah satu Rasul dan Pengarang Injil, atau salah satu Patriarkh, Bapa Pendahulu, atau Uskup yang ternama. Jumlah anaphora dalam seluruh tradisi Syriac berjumlah sekitar tujuh puluh buah.
Anaphora Syriac Barat
Ada dua model anaphora dalam tradisi Maronite kita; beberapa diantaranya menggunakan model Syriac Barat, seperti Anaphora Santo Yakobus dari Yerusalem, sementara yang lainnya menggunakan model Syriac Timur seperti Anaphora Sharar dan Anaphora Addai dan Mari dari Assyria Chaldea.
Dalam edisi-edisi Qurbono sebelumnya (kecuali �Ritus Sederhana� terbitan Bkerke tahun 1973), sebagai tambahan dari model yang sepenuhnya Barat juga ada beberapa doa dari Anaphora Sharar yang termasuk model Syriac Timur. Anaphora ini kemudian menjadi perpaduan antara model Barat dan Timur. Dalam teks Qurbono baru ini, kami menghapuskan duplikasi semacam itu. Kami menyusun anaphora hanya menurut model Syriac Barat saja tanpa doa-doa Anaphora Sharar Maronite Timur. Bagaimanapun, hal ini tidak berarti kami sepenuhnya mengabaikan Anaphora Sharar (lihat bawah).
Ada banyak anaphora-anaphora Syriac Barat yang digunakan oleh Gereja Maronite. Kami menemukan beberapa diantaranya dalam manuskrip-manuskrip Maronite, terutama dalam kompilasi anaphora-anaphora yang disiapkan oleh Patriarkh Duwaihy. Kompilasi ini memuat tiga puluh nama, beberapa diantaranya memiliki nama non-Maronite. Teksnya bervariasi dari satu manuskrip dengan yang lainnya. Bagaimanapun, beberapa anaphora ini benar-beanr berasal dari sebelum abad ke 10; mereka juga dipakai dalam sejumlah manuskrip dan edisi-edisi Buku Qurbono selanjutnya.
Sementara itu, untuk edisi Qurbono ini, kami hanya membatasi jumlahnya menjadi enam anaphora saja, kami berharap nantinya kami dapat melengkapinya sampai sekurangnya ada dua puluh empat anaphora. Enam anaphora yang dipilih saat ini seluruhnya berasal dari tradisi Maronite sebelum abad ke sepuluh. Berikut kami tampilkan daftarnya sebagaimana urutan dalam buku Qurbono:
Anaphora Dua Belas Rasul;
Anaphora Santo Petrus, Pemimpin Para Rasul (Ya Allah Kedamaian)
Anaphora Santo Yakobus, Saudara Tuhan;
Anaphora Santo Yohanes Rasul;
Anaphora Santo Markus Pengarang Injil;
Anaphora Sixtus, Paus Roma.
Anaphora-anaphora ini telah menjadi subyek dari sejumlah penelitian, yang beberapa diantaranya diterbitkan sebagai karya illmiah. Kami mengacu kepada teks anaphora hasil penelitian ilmiah, atau, jika belum ada hasil penelitian ilmiah semacam itu, kami mengacu kepada teks liturgis yang umum dipakai.
Anaphora Sharar Syriac Timur
Anaphora ini memiliki berbagai nama, seperti Anaphora Para Rasul, Anaphora Santo Petrus (ketiga), dan Anaphora Sharar (Sharar adalah kata Syriac pertama dari anaphora ini dan berarti �meneguhkan�). Sejumlah penelitian atas anaphora Syriac Timur ini menunjukkan keserupaan dengan Anaphora Addai dan Mari yang digunakan oleh Gereja-gereja Assyria Chaldea. Kedua anaphora ini mungkin memiliki asal yang sama dari Edessia sekitar abad ke 5.
Dalam ritus Maronite, Anaphora Sharar memiliki susunan internal yang sama dalam Qurbono dalam dalam ritus konsekrasi krisma (Myron) dan untuk konsekrasi air baptis pada malam Epifani. Tidak diragukan bahwa Gereja Maronite menggunakan Anaphora Sharar dalam Qurbono sebelum abad ke 16, edisi pertama Buku Qurbono menempatkan anaphora ini setelah anaphora-anaphora yang lainnya, sementara edisi ke 2 (1716) tidak lagi menggunakannya. Kemudian anaphora ini menjadi Qurbono Penandaan Piala, yang merupakan ritus komuni pada hari Jumat Agung.
Anaphora Sharar telah memiliki susunannya sendiri yang tidak begitu jelas atau mudah dipahami. Pada saat ini, anaphora ini tidak dapat digunakan, tetapi harus dipelajari dan diberi susunan yang baru terlebih dahulu. Komisi Liturgi Patriarkal telah melakukan tugas ini dengan tujuan membawa anaphora ini kembali ke kehidupan liturgis Gereja maronite, dan secepat mungkin mengoreksi dan menyusun Anaphora Sharar secara jelas. Dari sini tapak jelas bahwa Liturgi Maronite memiliki akar-akarnya juga pada sumber-sumber Syriac Timur. Kami tidak perlu menyatakan bahwa tugas ini cukup sulit, yaitu untuk menyusun kembali suatu anaphora yang selama beratus-ratus tahun tidak lagi digunakan, dan juga untuk mempersiapkan ritus serupa untuk konsekrasi krisma (Myron) dan air baptis. Sekarang ini kami menunda pekerjaan ini sampai beberapa waktu kedepan, insha Allah.
Enam Anaphora Qurbono Baru
Kami menggunakan enam anaphora, sebagaimana ditunjukkan di atas, dengan sejumlah variasi, terutama:
Kata-kata konsekrasi, yaitu narasi penetapan Ekaristi saat Perjamuan Malam Terakhir, aslinya teks ini bervariasi dari anaphora yang satu dengan yang lainnya. Bagaimanapun kami tidak dapat kembali kepada teks literal tiap anaphora, karena teks kata-kata konsekrasi dalam situasi ritus Maronite sekarang telah mengambil bentuk yang baru, dalam isi dan bentuknya. Maka, kami membatasi pilihan kami dari semua anaphora satu teks saja untuk kata-kata konsekrasi bagi semua anaphora. Kami mengambil teks dari Anaphora Dua Belas Rasul dan menambahkannya sedikit sentuhan jika hal itu dianggap perlu untuk melancarkan alur bahasa dan bentuknya, selain juga untuk mengakomodasi melodi musik.
Dalam buku Qurbono semua anaphora ini dicetak berdampingan dalam bahasa Syriac dan Arab. Kami menginginkan agar terjemahan Arab ini elegan dan indah, terutama dalam pengenangan-pengenangan.
Pra-anafora terdiri dari sejumlah tindakan dan doa yang mengubungkan bagian pertama dan bagian kedua serta mempersiapkan bagian kedua, yaitu anafora, yang dalam bahasa Yunani berarti �persembahan Qurbono�. Bagian ini dibuka dengan Credo dan termasuk didalamnya adalah prosesi penyerahan persembahan, persembahannya di Altar, dan pendupaan Altar, persembahan dan umat.
Credo
Gereja Maronite menggunakan Credo Nicaea-Konstantinopel. Credo ini diperkenalkan dalam Ibadat Qurbono pada abad ke 5. Sebelumnya, Credo ini digunakan sebagai pengakuan katekumen yang dilakukan sebelum penerimaan mereka ke dalam Misteri Baptisan dan kemudian menjadi pengakuan umat terbaptis sebelum bagian liturgi Ekaristis, dulu pada bagian ini katekumen diutus dari Gereja.
Naik ke Altar
Selebran dan para pelayan yang membantunya menuju ke Altar, menyanyikan madah yang mengiringi mereka naik ke Altar. Madah ini berbeda dari dialog pembukaan pada awal Qurbono. Bagaimanapun juga, kedua madah ini memiliki arti yang sama. Dalam penggunaan madah ini kami tidak membedakan antara Uskup dan Imam, walaupun di waktu lampau madah ini dikhususkan hanya bagi Uskup. Naik ke Altar diikuti dengan tindakan mencium bagian tengah Altar, karena Altar adalah simbol Kristus sendiri; menghormatinya berarti menghormati Kristus sendiri.
Orientasi Selebran di Altar
Menurut tradisi Maronite dan menurut kesaksian Patriarkh Duwaihy, Altar harus dipisahkan dari tembok panti imam, agar selebran dapat mengelilinginya. Arsitektur gereja yang tradisional mengharuskan Altar menghadap ke timur. Jadi merupakan kebiasaan dimana selebran menghadap timur dan konggregasi di belakangnya menghadap arah yang sama.
Bagaimanapun, karena alasan-alasan pastoral dan pemahaman Ekaristi yang lebih baik, sebagaimana Perjamuan Malam Terakhir, cara baru perayaan telah muncul dalam Gereja, yaitu selebran menghadap jemaat. Berkat hal ini, umat yang lebih terdidik mengenai Qurbono telah menunjukkan partisipasi yang lebih besar.
Pada tanggal 6 Juni 1992, Sinode Patriarkhal para Uskup telah mendekritkan kemungkinan untuk merayakan baik menghadap umat, atau bersama umat menghadap timur. Pengaturan akhir mengenai masalah ini diserahkan kepada hierarki lokal. Sejumlah besar gereja baru telah dibangun untuk mengakomodasi arahan baru ini, yang dalam pandangan kami, menampilkan suatu pembaruan yang sejalan dengan semangat Qurbono (sebagaimana kenangan akan Perjamuan Malam Terakhir), dan juga memenuhi tuntutan kehidupan pastoral masa kini.
Pemindahan Persembahan
Persembahan diserahkan atau dipindahkan dari tempat persiapan ke Altar. Mereka dibawa dalam prosesi yang disertai lilin, dupa, dan nyanyian madah tradisional yang populer: �Tuhan bertahta berpakaian kemuliaan.� Banyak makna dikenakan kepada ritus ini, yaitu: pemisahan antara dua bagian Qurbono, Sabda Allah dalam Kitab Suci dan Sabda Allah dalam Ekaristi; juga undangan kepada jemaat untuk mempersembahkan diri dan dikuduskan bersama roti dan anggur yang dipersembahkan untuk menjadi Tubuh dan Darah Kristus.
Penyerahan Persembahan
Selebran menerima persembahan-persembahan, lalu mengangkatnya dalam sikap mempersembahkan persembahan kepada Allah sambil mengucapkan salah satu doa Maronite tertua dalam ritus ini.
Penempatan Persembahan di Altar
Penempatan persembahan di Altar adalah suatu tindakan liturgis imami; tindakan ini menandakan pemisahan bahan-bahan persembahan sebagai penyerahan resmi di Altar Allah. Ritus konsekrasi dimulai pada bagian ini. Melanjutkan penempatan di Altar, selebran melakukan sejumlah pengenangan, terutama: pengenangan akan Kristus dan rencana keselamatan-Nya dan pengenangan akan orang-orang kudus, terutama pelindung gereja dan orang kudus yang pestanya sedang dirayakan. Kemudian dia mewartakan intensi umum dan khusus yang bagi mereka persembahan ini disampaikan. Persembahan diletakkan di tengah Altar di atas sepotong kayu atau marmer yang dikonsekrasi (disebut tablet), atau di atas sepotong kain yang dikonsekrasi (seperti corporale dalam Gereja Latin).
Pendupaan
Untuk pertama kalinya selebran mendupai Altar yang disiapkan untuk mengurbankan persembahan yang ditempatkan di atasnya. Pendupaan sebelumnya, dalam doa mohon belas kasihan (Hoosoyo) sewaktu Ibadat Sabda, dilakukan diluar konteks Altar dan persembahan. Pendupaan ini disertai dengan madah peringatan, madah pendupaan �Pencinta mereka yang bertobat, dan madah lain seperti Salatooke Ma�na (Semoga doamu menyertai kami), atau madah lainnya.
Anaphora
Anaphora adalah kata dalam bahasa yunani yang berarti �persembahan atau �qurbono�. Di sini berarti serangkaian doa dan tindakan syukur; anaphora dimulai dengan ritus damai, konsekrasi dan komuni sampai penutupan ibadat. Bagian kedua dari Qurbono sekarang disebut dengan nama anaphora. Menurut tradisi Syriac Maronite kita, ada bermacam-macam anaphora; anaphora itu dikenakan kepada Dua Belas Rasul, atau salah satu Rasul dan Pengarang Injil, atau salah satu Patriarkh, Bapa Pendahulu, atau Uskup yang ternama. Jumlah anaphora dalam seluruh tradisi Syriac berjumlah sekitar tujuh puluh buah.
Anaphora Syriac Barat
Ada dua model anaphora dalam tradisi Maronite kita; beberapa diantaranya menggunakan model Syriac Barat, seperti Anaphora Santo Yakobus dari Yerusalem, sementara yang lainnya menggunakan model Syriac Timur seperti Anaphora Sharar dan Anaphora Addai dan Mari dari Assyria Chaldea.
Dalam edisi-edisi Qurbono sebelumnya (kecuali �Ritus Sederhana� terbitan Bkerke tahun 1973), sebagai tambahan dari model yang sepenuhnya Barat juga ada beberapa doa dari Anaphora Sharar yang termasuk model Syriac Timur. Anaphora ini kemudian menjadi perpaduan antara model Barat dan Timur. Dalam teks Qurbono baru ini, kami menghapuskan duplikasi semacam itu. Kami menyusun anaphora hanya menurut model Syriac Barat saja tanpa doa-doa Anaphora Sharar Maronite Timur. Bagaimanapun, hal ini tidak berarti kami sepenuhnya mengabaikan Anaphora Sharar (lihat bawah).
Ada banyak anaphora-anaphora Syriac Barat yang digunakan oleh Gereja Maronite. Kami menemukan beberapa diantaranya dalam manuskrip-manuskrip Maronite, terutama dalam kompilasi anaphora-anaphora yang disiapkan oleh Patriarkh Duwaihy. Kompilasi ini memuat tiga puluh nama, beberapa diantaranya memiliki nama non-Maronite. Teksnya bervariasi dari satu manuskrip dengan yang lainnya. Bagaimanapun, beberapa anaphora ini benar-beanr berasal dari sebelum abad ke 10; mereka juga dipakai dalam sejumlah manuskrip dan edisi-edisi Buku Qurbono selanjutnya.
Sementara itu, untuk edisi Qurbono ini, kami hanya membatasi jumlahnya menjadi enam anaphora saja, kami berharap nantinya kami dapat melengkapinya sampai sekurangnya ada dua puluh empat anaphora. Enam anaphora yang dipilih saat ini seluruhnya berasal dari tradisi Maronite sebelum abad ke sepuluh. Berikut kami tampilkan daftarnya sebagaimana urutan dalam buku Qurbono:
Anaphora Dua Belas Rasul;
Anaphora Santo Petrus, Pemimpin Para Rasul (Ya Allah Kedamaian)
Anaphora Santo Yakobus, Saudara Tuhan;
Anaphora Santo Yohanes Rasul;
Anaphora Santo Markus Pengarang Injil;
Anaphora Sixtus, Paus Roma.
Anaphora-anaphora ini telah menjadi subyek dari sejumlah penelitian, yang beberapa diantaranya diterbitkan sebagai karya illmiah. Kami mengacu kepada teks anaphora hasil penelitian ilmiah, atau, jika belum ada hasil penelitian ilmiah semacam itu, kami mengacu kepada teks liturgis yang umum dipakai.
Anaphora Sharar Syriac Timur
Anaphora ini memiliki berbagai nama, seperti Anaphora Para Rasul, Anaphora Santo Petrus (ketiga), dan Anaphora Sharar (Sharar adalah kata Syriac pertama dari anaphora ini dan berarti �meneguhkan�). Sejumlah penelitian atas anaphora Syriac Timur ini menunjukkan keserupaan dengan Anaphora Addai dan Mari yang digunakan oleh Gereja-gereja Assyria Chaldea. Kedua anaphora ini mungkin memiliki asal yang sama dari Edessia sekitar abad ke 5.
Dalam ritus Maronite, Anaphora Sharar memiliki susunan internal yang sama dalam Qurbono dalam dalam ritus konsekrasi krisma (Myron) dan untuk konsekrasi air baptis pada malam Epifani. Tidak diragukan bahwa Gereja Maronite menggunakan Anaphora Sharar dalam Qurbono sebelum abad ke 16, edisi pertama Buku Qurbono menempatkan anaphora ini setelah anaphora-anaphora yang lainnya, sementara edisi ke 2 (1716) tidak lagi menggunakannya. Kemudian anaphora ini menjadi Qurbono Penandaan Piala, yang merupakan ritus komuni pada hari Jumat Agung.
Anaphora Sharar telah memiliki susunannya sendiri yang tidak begitu jelas atau mudah dipahami. Pada saat ini, anaphora ini tidak dapat digunakan, tetapi harus dipelajari dan diberi susunan yang baru terlebih dahulu. Komisi Liturgi Patriarkal telah melakukan tugas ini dengan tujuan membawa anaphora ini kembali ke kehidupan liturgis Gereja maronite, dan secepat mungkin mengoreksi dan menyusun Anaphora Sharar secara jelas. Dari sini tapak jelas bahwa Liturgi Maronite memiliki akar-akarnya juga pada sumber-sumber Syriac Timur. Kami tidak perlu menyatakan bahwa tugas ini cukup sulit, yaitu untuk menyusun kembali suatu anaphora yang selama beratus-ratus tahun tidak lagi digunakan, dan juga untuk mempersiapkan ritus serupa untuk konsekrasi krisma (Myron) dan air baptis. Sekarang ini kami menunda pekerjaan ini sampai beberapa waktu kedepan, insha Allah.
Enam Anaphora Qurbono Baru
Kami menggunakan enam anaphora, sebagaimana ditunjukkan di atas, dengan sejumlah variasi, terutama:
Kata-kata konsekrasi, yaitu narasi penetapan Ekaristi saat Perjamuan Malam Terakhir, aslinya teks ini bervariasi dari anaphora yang satu dengan yang lainnya. Bagaimanapun kami tidak dapat kembali kepada teks literal tiap anaphora, karena teks kata-kata konsekrasi dalam situasi ritus Maronite sekarang telah mengambil bentuk yang baru, dalam isi dan bentuknya. Maka, kami membatasi pilihan kami dari semua anaphora satu teks saja untuk kata-kata konsekrasi bagi semua anaphora. Kami mengambil teks dari Anaphora Dua Belas Rasul dan menambahkannya sedikit sentuhan jika hal itu dianggap perlu untuk melancarkan alur bahasa dan bentuknya, selain juga untuk mengakomodasi melodi musik.
Dalam buku Qurbono semua anaphora ini dicetak berdampingan dalam bahasa Syriac dan Arab. Kami menginginkan agar terjemahan Arab ini elegan dan indah, terutama dalam pengenangan-pengenangan.
Sunday, October 18, 2009
Berkata-kata dan Berdoa Dalam Bahasa Roh
Oleh Leo Kardinal Suenens
A New Pentecost p. 74-76 (versi pdf).
Seorang pengunjung baru ke persekutuan doa seringkali merasa risih, untuk mendengar dari waktu ke waku, seseorang- atau seluruh kelompok- mulai berdoa atau bernyanyi dalam bahasa roh. kesan pertamanya adalah ketidaknyamanan yang dipicu oleh ungkapan verbal yang spontan, dimana suku-suku kata diucapkan membentuk suatu frase yang tidak dapat dimengerti. Maka, penting untuk memahami glossalalia, tanpa merendahkan atau melebih-lebihkan cara doa ini. Ini bukanlah mukjizat; juga bukan suatu kelainan.
Bukan Mukjizat
Banyak orang karismatik dari berbagai denominasi, tetapi secara khusus Pentakostal Klasik, menganggap glossalalia sebagai tanda mutlak bahwa seseorang telah menerima �baptisan Roh Kudus�. Juga mereka menganggap bahwa ini adalah suatu anugerah yang dicurahkan dan memampukan orang berdoa dalam sebuah bahasa yang tidak dipahaminya. Saya sudah menunjukkan bahwa cara pandang semacam itu tidak sejalan dengan teologi Katolik. Tapi kita tidak menyangkal kemungkinan dalam suatu kasus yang amat jarang dapat terjadi bahwa hal itu dapat terjadi, karena kita percaya akan mukjizat, dan fenomena semacam itu termasuk ke dalam tatanan �mukjizat� (dalam arti teologis). Tetapi saya mengakuinya bahwa hal itu sungguh merupakan pengecualian, dan kita harus menghindarkan segala bentuk �sensasionalisme�. Menurut pemahaman saya fenomena �bahasa roh� tidak ada kaitannya pencurahan bahasa misterius melalui penetapan ilahi. Dan signifikasinya seutuhnya berbeda.
Bukan Patologis
Pada ekstrim yang lain, kami menemukan orang, khususnya mereka yang pada tingkat tertentu familiar dengan ilmu psikiatri, mengenakan keadaan-keadaan patologis kepada fenomena ini, seperti: emosionalsime, hysteria massa. kelakukan infantil (infantile regression), dst. Inilah bukanlah pandangan yang berasal dari penelitian ilmiah yang memadai, juga hal ini bukanlah pandangan dari salah seorang yang sangat unggul dalam bidang ini yaitu William J. Samarin, professor antropolgi dan linguistic di Universitas Toronto. Profesor Samarin mengadakan suatu penelitian yang panjang dan luas, yang dilakukan di banyak negara, dan menyimpulkan bahwa fenomena ini tidak mengandung apapun yang abnormal atau patologis, dan dia menyampaikan bukti-buktinya(William J. SAMARIN, Tongues of Men and Angels (New York, 1972)). .
Jika berdoa dalam bahasa roh bukan mukjizat dan juga bukan patologis, jadi bagaimana kita memahaminya?
Jadi, Apa itu Glossalalia?
Pertama kita harus mengakui bahwa kita berhadapan dengan suatu fenomena yang disebutkan dalam Kitab suci: ada sekitar tiga puluh penyebutan tentang berdoa dalam bahasa roh. Dalam Perjanjian Baru kita memiliki kesaksian dari Kisah Para Rasul (2:4-11; 10:46; 19:6), Surat St. Paulus (1Kor 12:30; 13:1; 14: 2,39) dan juga janji Yesus dalam Injil St. Markus (16:7). Jadi jelas ada permasalahan eksegetis dalam hal ini, namun kita jangan membutakan diri dengan kenyataan sederhana bahwa Perjanjian Baru berbicara mengenai fenomena ini secara nyata dan cukup sering. St. Paulus mengatakan bahwa �karunia� ini adalah yang paling kurang penting dalam tatanan karunia; dia juga mengatakan bahwa ia memilikinya dan berharap hal yang sama bagi orang lain, walaupun ia menekankan bahwa dalam ibadat bersama, keteraturan harus diutamakan. Maka, kita tidak dapat mengatakan bahwa tidak ada bukti alkitabiah mengenai keberadaan karunia ini. Karunia ini juga ditemukan dalam tradisi Gereja, dibagikan secara luas pada mulanya dan kemudian menjadi lebih terbatas dalam biara-biara dan para santo-santa.
Di sini saya ingin menyampaikan suatu refleksi pribadi yang tidak bersifat definitif atau memuaskan.
Kita harus mengingat bahwa berkat anugerah Pembaptisan, setiap orang Kristen telah menerima Roh Kudus, dan secara potensial semua karunia Roh Kudus. Manifestasi lahiriah dari anugerah ini, penggunaannya yang aktif, menunjukkan kehadiran-Nya tetapi tidak menghasilkan suatu aungerah. Pembacaan fundamentalistik terhadap Perjanjian Baru mungkin akan membuat orang memperlakukan karunia-karunia Allah ini sebagai suatu �obyek�, suatu yang berada di luar diri kita. Pentingnya berbahasa roh tidak berkurang jika kita menempatkannya dalam tatanan alamiah yang mengenakan suatu karakter spiritual melalui intensi yang menjiwainya. Lebih jauh kita harus mengingat bahwa segalanya, dalam arti tertentu, adalah anugerah: �semuanya adalah rahmat�.
Bentuk doa non-diskursif ini- suatu ungkapan prakonseptual dari doa spontan- berada dalam jangkauan tubuh dan selalu berada dalam kendali kita. Ini adalah suatu cara pengungkapan yang juga dikenal dalam kebudayaan lain, jadi hal ini tidaklah begitu asing sebagaimana yang kita kira. Ingatlah, misalnya dalam madah Gregorian ada suatu jubilasi (nyanyian spontan dengan suku-suku kata yang lahir dari ungkapan sukacita yang sangat mendalam sehingga kata-kata biasa tidak lagi dapat menggambarkannya seperti fa-la-la-na-na atau semacamnya, banyak yang berpendapat bahwa jubilasi adalah identik dengan bahasa roh yang umum pada gerakan pembaruan karismatik di zaman modern ini, salah satu yang berpandangan demikian adalah Kardinal Suenens sendiri) yang melanjutkan �a� yang diperpanjang pada akhir Alleluia (misalnya pada Veni Sancte Spiritus, pada bagian akhir alleluia sesudah amen, nadanya dibuat naik dan menggantung sama seperti kebiasaan lagu-lagu penyembahan karismatik saat mau �naik� atau hendak bersenandung dalam roh/singing in the spirit). Ingatlah juga, bagaimana seorang anak kecil, sebelum belajar berbicara secara benar, menggunakan ungkapan bunyi-bunyian yang spontan dan tidak memiliki arti untuk mengungkapkan sukacitanya.
Seseorang telah mengatakan bahwa berdoa dalam bahasa roh dalam kaitannya dengan berdoa secara biasa diperbandingkan seperti seni figuratif dan seni abstrak; perbandingan ini saya kira memberikan beberapa pencerahan.
Karunia bahasa roh juga dapat dibandingkan dengan karunia air mata. Siapapun yang berada dalam keadaan yang emosional dapat menangis; aktor bisa menangis kapan saja naskah memintanya. Ini alami. Tetapi juga ada karunia air mata, yang diakui oleh tradisi spiritual sejak lama. Lebih lagi, dalam Rituale, ada anugerah untuk doa ini (mungkin sebenarnya Missale Romanum, dimana dalam Missale pra-Vatikan II ada teks misa votif memohon karunia air mata, yang intinya agar hati kita tersentuh oleh kebaikan Allah, menyesali dosa-dosa secara mendalam dan karenanya bertobat sungguh-sungguh). Tangisan disini menjadi suatu pengalaman keagamaan yang mendalam, dimana seseorang memberikan ungkapan kepada hal yang tidak terungkapkan, saat digerakan oleh rasa penyesalan, penyembahan atau syukur di hadapan Allah. Dalam hal ini, air mata, jika kita menganalisanya, tidak berbeda dari air mata tangisan biasa tetapi dampaknya jauh melampaui sekedar fenomena fisik semata. Maka, cukup tepat membandingkannya dengan bahasa roh.
A New Pentecost p. 74-76 (versi pdf).
Seorang pengunjung baru ke persekutuan doa seringkali merasa risih, untuk mendengar dari waktu ke waku, seseorang- atau seluruh kelompok- mulai berdoa atau bernyanyi dalam bahasa roh. kesan pertamanya adalah ketidaknyamanan yang dipicu oleh ungkapan verbal yang spontan, dimana suku-suku kata diucapkan membentuk suatu frase yang tidak dapat dimengerti. Maka, penting untuk memahami glossalalia, tanpa merendahkan atau melebih-lebihkan cara doa ini. Ini bukanlah mukjizat; juga bukan suatu kelainan.
Bukan Mukjizat
Banyak orang karismatik dari berbagai denominasi, tetapi secara khusus Pentakostal Klasik, menganggap glossalalia sebagai tanda mutlak bahwa seseorang telah menerima �baptisan Roh Kudus�. Juga mereka menganggap bahwa ini adalah suatu anugerah yang dicurahkan dan memampukan orang berdoa dalam sebuah bahasa yang tidak dipahaminya. Saya sudah menunjukkan bahwa cara pandang semacam itu tidak sejalan dengan teologi Katolik. Tapi kita tidak menyangkal kemungkinan dalam suatu kasus yang amat jarang dapat terjadi bahwa hal itu dapat terjadi, karena kita percaya akan mukjizat, dan fenomena semacam itu termasuk ke dalam tatanan �mukjizat� (dalam arti teologis). Tetapi saya mengakuinya bahwa hal itu sungguh merupakan pengecualian, dan kita harus menghindarkan segala bentuk �sensasionalisme�. Menurut pemahaman saya fenomena �bahasa roh� tidak ada kaitannya pencurahan bahasa misterius melalui penetapan ilahi. Dan signifikasinya seutuhnya berbeda.
Bukan Patologis
Pada ekstrim yang lain, kami menemukan orang, khususnya mereka yang pada tingkat tertentu familiar dengan ilmu psikiatri, mengenakan keadaan-keadaan patologis kepada fenomena ini, seperti: emosionalsime, hysteria massa. kelakukan infantil (infantile regression), dst. Inilah bukanlah pandangan yang berasal dari penelitian ilmiah yang memadai, juga hal ini bukanlah pandangan dari salah seorang yang sangat unggul dalam bidang ini yaitu William J. Samarin, professor antropolgi dan linguistic di Universitas Toronto. Profesor Samarin mengadakan suatu penelitian yang panjang dan luas, yang dilakukan di banyak negara, dan menyimpulkan bahwa fenomena ini tidak mengandung apapun yang abnormal atau patologis, dan dia menyampaikan bukti-buktinya(William J. SAMARIN, Tongues of Men and Angels (New York, 1972)). .
Jika berdoa dalam bahasa roh bukan mukjizat dan juga bukan patologis, jadi bagaimana kita memahaminya?
Jadi, Apa itu Glossalalia?
Pertama kita harus mengakui bahwa kita berhadapan dengan suatu fenomena yang disebutkan dalam Kitab suci: ada sekitar tiga puluh penyebutan tentang berdoa dalam bahasa roh. Dalam Perjanjian Baru kita memiliki kesaksian dari Kisah Para Rasul (2:4-11; 10:46; 19:6), Surat St. Paulus (1Kor 12:30; 13:1; 14: 2,39) dan juga janji Yesus dalam Injil St. Markus (16:7). Jadi jelas ada permasalahan eksegetis dalam hal ini, namun kita jangan membutakan diri dengan kenyataan sederhana bahwa Perjanjian Baru berbicara mengenai fenomena ini secara nyata dan cukup sering. St. Paulus mengatakan bahwa �karunia� ini adalah yang paling kurang penting dalam tatanan karunia; dia juga mengatakan bahwa ia memilikinya dan berharap hal yang sama bagi orang lain, walaupun ia menekankan bahwa dalam ibadat bersama, keteraturan harus diutamakan. Maka, kita tidak dapat mengatakan bahwa tidak ada bukti alkitabiah mengenai keberadaan karunia ini. Karunia ini juga ditemukan dalam tradisi Gereja, dibagikan secara luas pada mulanya dan kemudian menjadi lebih terbatas dalam biara-biara dan para santo-santa.
Di sini saya ingin menyampaikan suatu refleksi pribadi yang tidak bersifat definitif atau memuaskan.
Kita harus mengingat bahwa berkat anugerah Pembaptisan, setiap orang Kristen telah menerima Roh Kudus, dan secara potensial semua karunia Roh Kudus. Manifestasi lahiriah dari anugerah ini, penggunaannya yang aktif, menunjukkan kehadiran-Nya tetapi tidak menghasilkan suatu aungerah. Pembacaan fundamentalistik terhadap Perjanjian Baru mungkin akan membuat orang memperlakukan karunia-karunia Allah ini sebagai suatu �obyek�, suatu yang berada di luar diri kita. Pentingnya berbahasa roh tidak berkurang jika kita menempatkannya dalam tatanan alamiah yang mengenakan suatu karakter spiritual melalui intensi yang menjiwainya. Lebih jauh kita harus mengingat bahwa segalanya, dalam arti tertentu, adalah anugerah: �semuanya adalah rahmat�.
Bentuk doa non-diskursif ini- suatu ungkapan prakonseptual dari doa spontan- berada dalam jangkauan tubuh dan selalu berada dalam kendali kita. Ini adalah suatu cara pengungkapan yang juga dikenal dalam kebudayaan lain, jadi hal ini tidaklah begitu asing sebagaimana yang kita kira. Ingatlah, misalnya dalam madah Gregorian ada suatu jubilasi (nyanyian spontan dengan suku-suku kata yang lahir dari ungkapan sukacita yang sangat mendalam sehingga kata-kata biasa tidak lagi dapat menggambarkannya seperti fa-la-la-na-na atau semacamnya, banyak yang berpendapat bahwa jubilasi adalah identik dengan bahasa roh yang umum pada gerakan pembaruan karismatik di zaman modern ini, salah satu yang berpandangan demikian adalah Kardinal Suenens sendiri) yang melanjutkan �a� yang diperpanjang pada akhir Alleluia (misalnya pada Veni Sancte Spiritus, pada bagian akhir alleluia sesudah amen, nadanya dibuat naik dan menggantung sama seperti kebiasaan lagu-lagu penyembahan karismatik saat mau �naik� atau hendak bersenandung dalam roh/singing in the spirit). Ingatlah juga, bagaimana seorang anak kecil, sebelum belajar berbicara secara benar, menggunakan ungkapan bunyi-bunyian yang spontan dan tidak memiliki arti untuk mengungkapkan sukacitanya.
Seseorang telah mengatakan bahwa berdoa dalam bahasa roh dalam kaitannya dengan berdoa secara biasa diperbandingkan seperti seni figuratif dan seni abstrak; perbandingan ini saya kira memberikan beberapa pencerahan.
Karunia bahasa roh juga dapat dibandingkan dengan karunia air mata. Siapapun yang berada dalam keadaan yang emosional dapat menangis; aktor bisa menangis kapan saja naskah memintanya. Ini alami. Tetapi juga ada karunia air mata, yang diakui oleh tradisi spiritual sejak lama. Lebih lagi, dalam Rituale, ada anugerah untuk doa ini (mungkin sebenarnya Missale Romanum, dimana dalam Missale pra-Vatikan II ada teks misa votif memohon karunia air mata, yang intinya agar hati kita tersentuh oleh kebaikan Allah, menyesali dosa-dosa secara mendalam dan karenanya bertobat sungguh-sungguh). Tangisan disini menjadi suatu pengalaman keagamaan yang mendalam, dimana seseorang memberikan ungkapan kepada hal yang tidak terungkapkan, saat digerakan oleh rasa penyesalan, penyembahan atau syukur di hadapan Allah. Dalam hal ini, air mata, jika kita menganalisanya, tidak berbeda dari air mata tangisan biasa tetapi dampaknya jauh melampaui sekedar fenomena fisik semata. Maka, cukup tepat membandingkannya dengan bahasa roh.